Puisi: Nuh (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Nuh" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan sebuah perjalanan batin dan refleksi mendalam tentang kehidupan, pengembaraan, dan penyerahan ..
Nuh

Kadang-kadang
di tengah keramaian pesta
atau waktu sendiri berjalan di gurun
terdengar debur laut
menghempas karang

Aku tahu pasti
sehabis mengembara
dan bercengkerama di kota
aku akan kembali ke pantai
memenuhi janji

Sekali ini tidak akan ada pelarian
atau perlawanan

Kapal terakhir terdampar di pasir

Aku akan menyerah diam
waktu air membenam.

Sumber: Keroncong Motinggo (1975)

Analisis Puisi:

Puisi "Nuh" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan sebuah perjalanan batin dan refleksi mendalam tentang kehidupan, pengembaraan, dan penyerahan diri. Mengambil inspirasi dari kisah Nuh dalam Alkitab, puisi ini mengangkat tema-tema yang berhubungan dengan takdir, kesepian, dan penerimaan.

Tema dan Pesan

Tema utama dalam puisi ini adalah perjalanan hidup dan penyerahan kepada nasib yang tak terelakkan. Nuh dalam puisi ini bukan hanya seorang nabi yang dikenal dalam kisah bahtera besar, tetapi juga simbol dari setiap individu yang melakukan perjalanan spiritual dan fisik, mencari makna dan akhirnya menyerah pada kekuatan alam atau takdir.

Struktur dan Gaya Bahasa

Puisi ini ditulis dalam bentuk bebas tanpa rima yang jelas, mencerminkan kebebasan dalam berpikir dan merenung. Subagio menggunakan bahasa yang sederhana namun kuat, menggabungkan deskripsi visual dengan refleksi batin yang mendalam. Struktur puisi yang terbuka dan mengalir memberikan ruang bagi pembaca untuk merenungkan makna di balik kata-kata tersebut.

Simbolisme dan Citraan

  1. Laut dan Karang: Laut dan karang adalah simbol dari kekuatan alam yang besar dan tak terhindarkan. Deburan ombak yang menghempas karang menggambarkan benturan antara keinginan manusia dan realitas keras yang dihadapinya. Laut juga sering kali menjadi simbol dari ketidaktahuan dan ketidakpastian, sedangkan karang melambangkan rintangan dan ujian dalam hidup.
  2. Kota dan Gurun: Kota dan gurun adalah dua tempat yang kontras yang melambangkan keramaian dan kesepian. Kota sebagai tempat bercengkerama dan mengembara melambangkan kehidupan sosial dan interaksi manusia, sementara gurun menggambarkan kesendirian dan pencarian spiritual.
  3. Kapal Terakhir: Kapal terakhir yang terdampar di pasir melambangkan akhir dari perjalanan atau usaha. Ini juga bisa diinterpretasikan sebagai titik di mana seseorang berhenti melawan atau berlari dari takdirnya dan menerima kenyataan dengan pasrah.
  4. Air Membenam: Air yang membenam menggambarkan penyerahan diri dan akhir dari perjuangan. Ini adalah simbol dari ketenangan yang datang setelah menerima nasib dan takdir.

Narasi dan Emosi

Puisi ini menciptakan suasana yang introspektif dan melankolis. Melalui narasi yang menggabungkan pengembaraan fisik dan perjalanan batin, Subagio menggambarkan seorang individu yang pada akhirnya menyerah pada kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Emosi yang diangkat adalah campuran antara ketenangan, penerimaan, dan sedikit rasa takut akan ketidakpastian masa depan.

Puisi "Nuh" adalah puisi yang menggugah dan penuh dengan makna simbolis. Subagio Sastrowardoyo berhasil mengangkat tema tentang perjalanan hidup dan penyerahan diri melalui penggunaan simbolisme yang kuat dan deskripsi yang kaya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup mereka sendiri, pencarian makna, dan pada akhirnya, penerimaan terhadap nasib dan takdir yang tak terhindarkan. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun penuh makna, "Nuh" menjadi refleksi mendalam tentang hidup dan penyerahan diri.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Nuh
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.