Puisi: Monolith (Karya Subagio Sastrowardoyo)

Puisi "Monolith" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan sebuah objek monumental dengan intensitas emosional dan simbolisme yang mendalam.
Monolith

Hebat
tiang utuh
menjulang di gigir langit
suram
sebuah bukit
terbentuk dari satu batu
oleh tangan beku.

Sebuah
monolith
lingga

God!

Analisis Puisi:

Puisi "Monolith" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah karya yang menggambarkan sebuah objek monumental dengan intensitas emosional dan simbolisme yang mendalam. Dengan penggunaan bahasa yang padat dan deskriptif, Subagio menciptakan sebuah gambar visual dan konseptual dari sebuah monolit yang berdiri tegak di tengah lanskap yang suram. Puisi ini menyajikan refleksi tentang kekuatan, keabadian, dan kehadiran yang hampir mistis dari monolit itu sendiri.

Menggambarkan Monolit sebagai Simbol Kekuatan dan Keabadian

Puisi ini dimulai dengan pernyataan yang kuat, "Hebat tiang utuh menjulang di gigir langit." Kalimat ini segera menekankan kesan keagungan dan kekuatan dari monolit. Sebuah monolit, sebagai struktur yang besar dan terbuat dari satu batu, mewakili kekuatan dan keabadian. Dalam puisi ini, monolit digambarkan sebagai sesuatu yang sangat besar dan kokoh, berdiri tegak di langit, yang memberikan kesan bahwa itu adalah sesuatu yang kekal dan tidak tergoyahkan.

Monolit sebagai simbol kekuatan dan keabadian tidak hanya terletak pada bentuk fisiknya, tetapi juga pada makna metaforisnya. Tiang yang "utuh" dan "menjulang" menggambarkan sesuatu yang memiliki kekuatan intrinsik dan ketahanan yang tidak terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya.

Kontras dengan Lanskap yang Suram

Pernyataan berikutnya, "suram sebuah bukit terbentuk dari satu batu oleh tangan beku," menghadirkan kontras antara monolit dan lanskap sekelilingnya. Lanskap suram dan tangan beku menambah dimensi tambahan pada monolit. Kontras ini menunjukkan bahwa meskipun monolit berdiri sebagai simbol kekuatan dan keabadian, ia berada di dalam konteks yang dingin dan tidak ramah.

Konsep "tangan beku" yang membentuk monolit juga menambahkan elemen misterius dan sedikit menakutkan. Ini bisa melambangkan kekuatan yang tidak hidup, atau mungkin kekuatan yang sudah lama ada dan tidak lagi terasa hidup atau penuh semangat.

Makna Lingga dan Konotasi Spiritual

Dalam puisi ini, monolit juga disebut sebagai "lingga." Lingga adalah simbol yang memiliki makna spiritual dan religius dalam banyak budaya, terutama dalam Hindu dan Budha, di mana ia melambangkan energi kreatif dan kekuatan ilahi. Dengan menyebut monolit sebagai lingga, Subagio menghubungkan struktur fisik ini dengan aspek-aspek spiritual dan metafisik.

Penyebutan "God!" di akhir puisi memperkuat konotasi spiritual dari monolit. Ini bisa dibaca sebagai ungkapan kekaguman atau rasa hormat terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan dan keabadian yang melebihi pemahaman manusia biasa. Ini juga mungkin mengindikasikan bahwa monolit, sebagai simbol lingga, adalah sesuatu yang dianggap sebagai representasi dari kekuatan ilahi atau energi yang lebih tinggi.

Penggunaan Bahasa dan Gaya dalam Puisi

Subagio menggunakan gaya bahasa yang sederhana namun kuat dalam puisi ini. Dengan kata-kata yang langsung dan deskriptif, dia menciptakan gambaran visual yang jelas dan kuat dari monolit. Penggunaan kata-kata seperti "Hebat," "utuh," dan "menjulang" memberikan kesan monumental dan megah, sementara kata-kata seperti "suram," "batu," dan "tangan beku" menambahkan dimensi yang lebih gelap dan kompleks.

Gaya penulisan Subagio mencerminkan keteguhan dan keabadian dari monolit, serta menggarisbawahi kontras antara kekuatan dan kelemahan, keabadian dan kefanaan.

Monolit sebagai Simbol Kekuatan dan Spiritualitas

Puisi "Monolith" karya Subagio Sastrowardoyo adalah karya yang kaya akan simbolisme dan makna. Melalui deskripsi monolit yang kokoh dan kontras dengan lanskap yang suram, Subagio menggambarkan kekuatan, keabadian, dan dimensi spiritual dari objek tersebut. Dengan menggunakan istilah "lingga" dan penekanan pada kekuatan ilahi, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan antara bentuk fisik dan makna spiritual.

Puisi ini tidak hanya menggambarkan sebuah struktur fisik, tetapi juga menyelidiki kedalaman makna dan konotasi yang terkait dengan objek tersebut. Monolit dalam puisi ini berdiri sebagai simbol dari sesuatu yang lebih besar dari kehidupan sehari-hari, sesuatu yang menghubungkan dunia fisik dengan dimensi spiritual yang lebih dalam.

Puisi Subagio Sastrowardoyo
Puisi: Monolith
Karya: Subagio Sastrowardoyo

Biodata Subagio Sastrowardoyo:
  • Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
  • Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.