Maut
Dari daun terserak di tanah kutahu
penantianku tak sia-sia. Kudengar
langkahnya menghilang tergesa bersama
angin yang menyentuh ranting kemboja.
Maut, ilham yang kucari.
Cakrawala yang menghindar setiap
kali aku menapak menyebabkan perjalananku
makin hambar. Kelam yang mengaburkan
penglihatanku ke ujung jalan memungkinkan
timbul suatu dimensi.
Maut, makna yang tersembunyi.
Nyeri lama yang terus terasa tidak bisa
diatasi selama kehadiran sehari di bumi.
Derita akan terlupa jika nyawa sudah
tertangkap kekal dalam pelukannya.
Maut, kekasih yang menanti.
Sumber: Horison (November, 1988)
Analisis Puisi:
Puisi "Maut" karya Subagio Sastrowardoyo adalah karya yang memanfaatkan simbolisme dan bahasa metaforis untuk mengeksplorasi tema kematian, pencarian makna, dan penderitaan. Melalui gambaran alam dan refleksi pribadi, puisi ini menggambarkan hubungan kompleks antara manusia dan kematian sebagai sesuatu yang misterius dan mendalam.
Pencarian dan Penantian
Puisi ini dibuka dengan "Dari daun terserak di tanah kutahu / penantianku tak sia-sia." Daun yang terserak di tanah melambangkan sesuatu yang telah berlalu atau yang telah hilang, sementara penantian yang tidak sia-sia menunjukkan harapan atau pencarian yang dianggap berharga. Ini menciptakan suasana awal yang melankolis namun penuh harapan akan sesuatu yang lebih besar.
Maut sebagai Ilham
Selanjutnya, penulis menyebutkan, "Kudengar / langkahnya menghilang tergesa bersama / angin yang menyentuh ranting kemboja." Di sini, kematian (Maut) digambarkan sebagai sesuatu yang elusif dan hampir tidak dapat dijangkau, seperti langkah yang menghilang dan angin yang lembut. Kematian dianggap sebagai ilham yang dicari, menekankan sifat misterius dan tidak dapat diprediksi dari kematian.
Cakrawala dan Dimensi
Cakrawala yang "menghindar setiap kali aku menapak" menunjukkan perasaan bahwa makna atau tujuan hidup selalu tampak jauh dan tidak dapat dicapai. "Kelam yang mengaburkan penglihatanku" menciptakan suasana kebingungan dan kesulitan dalam melihat arah hidup. Penggunaan istilah "dimensi" di sini menunjukkan bahwa kematian mungkin membuka pemahaman atau eksistensi baru yang tidak dapat dijangkau dalam kehidupan sehari-hari.
Maut sebagai Makna dan Penderitaan
Dalam baris "Maut, makna yang tersembunyi. / Nyeri lama yang terus terasa tidak bisa diatasi selama kehadiran sehari di bumi," kematian digambarkan sebagai makna yang tersembunyi di balik penderitaan hidup. Penderitaan yang tak tertahan selama hidup dianggap akan berakhir dan terlupakan ketika nyawa tertangkap dalam pelukan kematian. Ini menyoroti kematian sebagai akhir dari penderitaan dan sebagai bentuk penemuan makna yang lebih dalam.
Maut sebagai Kekasih
Puisi ini diakhiri dengan "Maut, kekasih yang menanti." Di sini, kematian digambarkan sebagai kekasih yang menunggu, memberikan gambaran bahwa kematian bukan hanya sesuatu yang menakutkan, tetapi juga sesuatu yang diinginkan atau diterima sebagai bagian dari pengalaman hidup. Ini menunjukkan ambivalensi terhadap kematian—sebuah pengakuan bahwa kematian memiliki peran yang signifikan dalam eksistensi manusia.
Kompleksitas Hubungan dengan Maut
Puisi "Maut" karya Subagio Sastrowardoyo adalah eksplorasi mendalam mengenai bagaimana manusia menghadapi dan memandang kematian. Melalui simbolisme alam dan refleksi pribadi, puisi ini menggambarkan kematian sebagai sesuatu yang misterius dan penuh makna, serta sebagai akhir dari penderitaan dan pencarian makna dalam hidup.
Dengan bahasa yang puitis dan metafora yang kuat, Subagio menyajikan kematian tidak hanya sebagai akhir dari hidup tetapi juga sebagai sebuah perjalanan spiritual dan emosional. Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan hubungan mereka dengan kematian dan bagaimana kematian dapat mengubah pemahaman mereka tentang hidup dan penderitaan.
Karya: Subagio Sastrowardoyo
Biodata Subagio Sastrowardoyo:
- Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
- Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.