Sumber: Hari dan Hara (1982)
Analisis Puisi:
Puisi "Leiden" karya Subagio Sastrowardoyo menggambarkan suasana hati yang tenang namun penuh dengan refleksi mendalam tentang usia, kenangan, dan keberadaan seni dalam kehidupan. Melalui bait-bait yang singkat namun padat makna, Subagio merangkum perasaan tentang proses penuaan dan bagaimana seni dan kenangan memudar seiring berjalannya waktu.
"Pada Ketinggian Usia": Refleksi tentang Puncak Kehidupan
Baris pertama puisi ini, "Pada ketinggian usia," langsung membawa pembaca ke dalam suasana refleksi seorang individu yang telah mencapai usia lanjut. "Ketinggian usia" bisa diartikan sebagai puncak dari perjalanan hidup, saat seseorang mulai merenungkan kembali apa yang telah dicapai dan apa yang telah hilang. Puncak usia ini bukan hanya tentang pencapaian, tetapi juga tentang jarak yang telah ditempuh dan beban kenangan yang semakin berat.
Pudar dan Tandus: Kehilangan Inspirasi
Baris berikutnya, "mimpi mulai pucat," menunjukkan bagaimana impian dan aspirasi yang dulu begitu jelas dan penuh warna kini mulai memudar. Seiring dengan bertambahnya usia, impian yang pernah begitu hidup kini kehilangan intensitasnya. Hal ini menandakan proses penuaan yang tidak hanya fisik, tetapi juga emosional dan spiritual. Perjalanan hidup yang panjang dan penuh tantangan mungkin telah mengikis semangat dan vitalitas yang pernah ada.
"Daerah tandus menapak ke pinggir kota" adalah metafora untuk kesuburan dan vitalitas yang surut. Daerah yang dulu subur kini menjadi tandus, sebuah gambaran dari jiwa yang mulai kehilangan energi dan inspirasi. Ini juga bisa diartikan sebagai bagaimana kehidupan, yang dulu penuh dengan potensi dan harapan, kini bergerak menuju akhir yang sunyi dan sepi.
Jejak dan Kenangan yang Hilang
"Jejak di pasir tak nampak" mengisyaratkan bahwa jejak langkah, tindakan, dan pencapaian seseorang dalam hidup mungkin tidak lagi meninggalkan bekas yang jelas. Jejak di pasir adalah sesuatu yang mudah terhapus oleh waktu dan angin, menggambarkan betapa rapuhnya keberadaan kita dan betapa mudahnya dilupakan.
"Kenangan habis tersadap dari dada" menggambarkan proses di mana kenangan yang dulunya memenuhi hati dan pikiran kini mulai menghilang. Kenangan, yang merupakan bagian penting dari identitas dan pengalaman hidup, secara perlahan mengering, seperti air yang tersedot dari tanah tandus.
Membeku dan Dilupakan: Nasib Karya dan Seni
"Membeku darah kata" adalah gambaran dari kata-kata yang kehilangan daya hidupnya. Dalam konteks seni, ini bisa berarti bahwa karya-karya yang dulu hidup dan penuh makna kini mulai kehilangan relevansinya. "Anak yang baru lahir / masih mengenalnya sebagai sajak" mengindikasikan bahwa generasi baru mungkin masih melihat karya seni sebagai sesuatu yang berharga, tetapi makna dan kehangatan dari karya tersebut mungkin sudah hilang seiring berjalannya waktu.
"Orang lain membiarkannya tergeletak / di antara buku-buku tak terbaca" adalah gambaran dari karya seni yang mulai dilupakan. Buku-buku yang tak terbaca adalah simbol dari ide-ide, kenangan, dan pengalaman yang terabaikan, yang tidak lagi mendapat perhatian dari masyarakat. Ini adalah refleksi yang pahit tentang bagaimana karya seni, yang mungkin pernah menjadi pusat perhatian, kini terpinggirkan dan tak lagi dipedulikan.
Kepergian Shakespeare dan Hilangnya Inspirasi
Baris "barangkali hanya Shakespeare sempat menyimak / tetapi dia pun kini sudah tak ada" memberikan penekanan pada hilangnya tokoh-tokoh besar yang pernah menjadi sumber inspirasi. Shakespeare, simbol dari keagungan seni dan sastra, di sini digambarkan sebagai satu-satunya yang mungkin masih memahami atau menghargai karya tersebut. Namun, dengan kepergiannya, bahkan sosok yang paling dihormati pun tak lagi ada untuk memberikan arti pada karya yang semakin dilupakan.
Ini adalah pengingat bahwa waktu menghapus semuanya, termasuk apresiasi terhadap seni dan tokoh-tokoh besar yang pernah menjadi penyangga budaya dan kreativitas. Ketika bahkan Shakespeare "sudah tak ada," ini menandakan kehampaan yang ditinggalkan oleh ketiadaan makna dan penghargaan terhadap seni di dunia yang semakin berubah dan bergerak cepat.
Puisi sebagai Renungan Tentang Kehidupan dan Kesenian
Puisi "Leiden" karya Subagio Sastrowardoyo adalah sebuah refleksi mendalam tentang penuaan, kehilangan, dan nasib karya seni dalam perjalanan waktu. Melalui simbolisme yang kuat dan penggunaan bahasa yang padat, Subagio berhasil menangkap esensi dari kerentanan manusia di hadapan waktu dan bagaimana seni, meskipun abadi dalam penciptaannya, dapat kehilangan makna dan relevansinya.
Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan tentang makna dari jejak yang kita tinggalkan dalam hidup, baik sebagai individu maupun sebagai seniman. Subagio, melalui "Leiden," tidak hanya berbicara tentang perjalanan hidup yang mencapai puncaknya, tetapi juga tentang bagaimana seni dan kenangan bisa memudar, mengingatkan kita akan kefanaan dari semua yang kita ciptakan dan hargai.
Karya: Subagio Sastrowardoyo
Biodata Subagio Sastrowardoyo:
- Subagio Sastrowardoyo lahir pada tanggal 1 Februari 1924 di Madiun, Jawa Timur.
- Subagio Sastrowardoyo meninggal dunia pada tanggal 18 Juli 1996 (pada umur 72 tahun) di Jakarta.