Puisi: Kota yang Terkutuk (Karya Mardi Luhung)

Puisi "Kota yang Terkutuk" karya Mardi Luhung tidak hanya mengkritik kondisi sosial kota-kota modern tetapi juga menggambarkan kehancuran alam dan ...
Kota yang Terkutuk

Kota yang terkutuk adalah sekarung-tenung
yang galau oleh bisik-bisik dan bom
dan di atasnya, sekiat perut-matahari
mengeringkan seluruh sumber
yang tersisa di lipatan-ketiak
yang retak, bau dan beruap

dan bom (tepat di kelangkangnya) meledak
benih semburat, mengapung di antara pucuk
di bawah telapak malaikat yang mencangkung
sambil melipat sepasang sayapnya
karena angin tak lagi ingin, dan ingin
pelan-pelan meluruh ke lempung

kota yang terkutuk adakah tenung, adakah lempung?
di sepanjang sepanduk dan baliho yang mengkekar
orang-orang saling berlingkaran
dan menderas: "Mengapa kami dikutuk dengan
tenung, bisik-bisik dan bom!" Sepanduk dan baliho
yang mengkekar itu pun menggeliat

membeliak, dan seperti lubang atas lubang
pekik-pekik pun bergaungan, seperti zik-zak yang
selalu mengunyahi seluruh apa yang telah dilupakan
atas yang merayap, merangkak atau menggoser
dengan wujud pipih, lonjong atau bulat, dan
atas yang selalu mencabut-cabut bulu
yang bertumbuhan di sekujur tubuh:

"Kota yang terkutuk!"

Gresik, 2000

Sumber: Para Mambang di Kota Terkutuk (2000)

Analisis Puisi:

Puisi "Kota yang Terkutuk" karya Mardi Luhung adalah sebuah karya yang penuh dengan simbolisme dan gambaran apokaliptik. Melalui penggunaan bahasa yang kaya dan penuh makna, Luhung menggambarkan sebuah kota yang terperangkap dalam kutukan, kekacauan, dan kehancuran.

Tema dan Pesan

  • Kutukan dan Kehancuran: Puisi ini dibuka dengan gambaran kota yang terkutuk, seolah-olah dibungkus dalam sekarung tenung yang penuh dengan bisikan dan bom. Kutukan ini menjadi simbol kekacauan yang melanda kota tersebut, menggambarkan suasana yang penuh dengan ketidakpastian dan kehancuran.
  • Kehilangan dan Keputusasaan: Gambaran perut matahari yang mengeringkan seluruh sumber menunjukkan kehilangan yang dialami oleh kota tersebut. Sumber-sumber kehidupan menghilang, meninggalkan kota dalam kondisi yang terpecah-pecah, retak, dan bau. Keputusasaan semakin nyata dengan ledakan bom di kelangkang kota, menyebarkan benih kehancuran di seluruh penjuru.
  • Pencarian Makna: Orang-orang di kota tersebut saling berlingkaran, bertanya-tanya mengapa mereka dikutuk dengan tenung, bisikan, dan bom. Ini menunjukkan pencarian makna di tengah-tengah kekacauan. Mereka berusaha memahami alasan di balik kutukan yang menimpa kota mereka, namun yang mereka temukan hanya kebingungan dan ketidakpastian.

Gaya Bahasa dan Struktur

  • Simbolisme: Puisi ini dipenuhi dengan simbolisme yang kuat. Kota yang terkutuk digambarkan sebagai sekarung-tenung, perut matahari, ledakan bom, dan malaikat yang mencangkung. Semua simbol ini menggambarkan kekacauan, kehancuran, dan ketidakpastian yang melanda kota tersebut.
  • Bahasa Apokaliptik: Luhung menggunakan bahasa apokaliptik untuk menggambarkan suasana kota yang terkutuk. Gambaran tentang bom yang meledak, benih yang mengapung, malaikat yang mencangkung, dan angin yang meluruh ke lempung menciptakan suasana yang penuh dengan ketegangan dan kekacauan.
  • Repetisi dan Ritme: Penggunaan repetisi "kota yang terkutuk" memberikan ritme yang khas pada puisi ini. Repetisi ini tidak hanya memperkuat tema utama tetapi juga menciptakan efek yang menghantui dan menggugah perasaan pembaca.

Makna

  • Kritik Sosial: Puisi ini dapat dibaca sebagai kritik sosial terhadap kondisi kota-kota modern yang terperangkap dalam kekacauan, korupsi, dan kekerasan. Ledakan bom, bisikan-bisikan, dan baliho yang mengkekar menggambarkan realitas kota yang penuh dengan konflik dan ketidakadilan.
  • Kehancuran Alam dan Spiritual: Gambaran perut matahari yang mengeringkan seluruh sumber dan malaikat yang mencangkung menunjukkan kehancuran alam dan spiritual. Alam yang seharusnya menjadi sumber kehidupan menjadi rusak, sementara malaikat yang seharusnya melindungi justru tidak berdaya menghadapi kekacauan.
  • Kesadaran Kolektif: Orang-orang yang saling berlingkaran dan bertanya-tanya menunjukkan kesadaran kolektif tentang penderitaan mereka. Mereka menyadari bahwa mereka berada dalam situasi yang sulit dan berusaha mencari jalan keluar, meskipun yang mereka temukan hanyalah lebih banyak pertanyaan.
Puisi "Kota yang Terkutuk" karya Mardi Luhung adalah sebuah karya yang kuat dan menggugah, menggambarkan kondisi kota yang penuh dengan kutukan, kekacauan, dan kehancuran. Melalui penggunaan simbolisme, bahasa apokaliptik, dan repetisi, Luhung berhasil menciptakan suasana yang menghantui dan menggugah perasaan pembaca. Puisi ini tidak hanya mengkritik kondisi sosial kota-kota modern tetapi juga menggambarkan kehancuran alam dan spiritual yang melanda masyarakat. Dengan demikian, "Kota yang Terkutuk" menjadi sebuah karya yang relevan dan penuh makna, mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan ketidakpastian.

Mardi Luhung
Puisi: Kota yang Terkutuk
Karya: Mardi Luhung

Biodata Mardi Luhung:
  • Mardi Luhung lahir pada tanggal pada 5 Maret 1965 di Gresik, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.