Puisi: Kalajengking (Karya F. Aziz Manna)

Puisi "Kalajengking" karya F. Aziz Manna menyampaikan tema tentang penderitaan, kematian, dan kekosongan eksistensial.
Kalajengking

pemahat itu melihat
penghuni celah batu mangap

capit siap menyengat
meracun kulit jangat hingga rengat

waktu itu kau
menungging

pasrah yang menumbangkan
diri jati

hawa ini dari mana sumbernya
kala hari tiada bulan dan matahari

angin yang jahat
bunyi yang laknat

utekmu
utekku?

kita hanya debu
mainan abu

2016

Analisis Puisi:

Puisi "Kalajengking" karya F. Aziz Manna adalah karya yang menggunakan simbolisme kuat dan bahasa metaforis untuk menyampaikan tema tentang penderitaan, kematian, dan kekosongan eksistensial. Melalui gambaran visual dan emosi yang mendalam, puisi ini mengeksplorasi perasaan pasrah dan kehilangan dalam kehidupan manusia.

Puisi ini menciptakan suasana yang suram dan penuh dengan rasa sakit dan kematian. Dengan menggunakan simbol kalajengking dan unsur-unsur lingkungan yang tidak bersahabat, Aziz menyampaikan pesan tentang kerentanan manusia dan ketidakberdayaan menghadapi kekuatan tak terlihat yang membentuk nasib kita.

Eksplorasi Tema dan Simbolisme

  • Kalajengking dan Racun: "pemahat itu melihat / penghuni celah batu mangap / capit siap menyengat / meracun kulit jangat hingga rengat" menggunakan simbol kalajengking untuk melambangkan ancaman dan penderitaan yang tidak terhindarkan. Kalajengking, dengan sengatnya yang mematikan, menjadi metafora untuk kekuatan yang dapat menghancurkan dan merusak dengan tiba-tiba dan brutal.
  • Pasrah dan Jati Diri: "waktu itu kau / menungging / pasrah yang menumbangkan / diri jati" menggambarkan sikap pasrah dan kepasifan yang dihadapi seseorang ketika menghadapi penderitaan. Posisi "menungging" dan "pasrah" menandakan keadaan yang tidak berdaya dan kehilangan kendali atas nasib. Hal ini mencerminkan rasa putus asa dan keruntuhan identitas ketika menghadapi penderitaan yang parah.
  • Sumber Hawa dan Kekosongan: "hawa ini dari mana sumbernya / kala hari tiada bulan dan matahari" mengangkat pertanyaan tentang asal-usul dan sumber dari penderitaan atau keputusasaan yang dirasakan. Dalam konteks waktu yang tanpa bulan dan matahari, ada rasa kekosongan dan kegelapan yang menyelimuti kehidupan, menunjukkan ketidakpastian dan kesulitan untuk menemukan cahaya atau arah.
  • Angin Jahat dan Bunyi Laknat: "angin yang jahat / bunyi yang laknat" menambah dimensi kegelisahan dan ancaman dalam puisi ini. Angin dan bunyi menjadi simbol kekuatan destruktif dan tidak menyenangkan yang terus-menerus menyiksa dan mengganggu ketenangan, melambangkan situasi yang tidak pernah damai.
  • Debu dan Abu: "utekmu / utekku? / kita hanya debu / mainan abu" mengakhiri puisi dengan refleksi tentang kefanaan dan ketidakberartian eksistensi manusia. "Debu" dan "abu" melambangkan kerentanan dan kehampaan, menunjukkan bahwa dalam akhirannya, kita semua hanya menjadi bagian dari kekacauan dan kehampaan yang lebih besar.

Makna dan Interpretasi

Puisi "Kalajengking" menciptakan gambaran yang kuat tentang penderitaan dan ketidakberdayaan manusia. Melalui simbol kalajengking dan deskripsi lingkungan yang keras, Aziz mengeksplorasi tema kematian, kepasrahan, dan kekosongan. Penderitaan yang digambarkan dalam puisi ini tidak hanya bersifat fisik tetapi juga emosional dan eksistensial, mencerminkan perasaan putus asa dan ketidakberdayaan yang dialami ketika menghadapi kekuatan yang lebih besar dari diri sendiri.

Puisi "Kalajengking" karya F. Aziz Manna adalah karya yang penuh dengan simbolisme dan metafora yang mendalam. Dengan menggambarkan penderitaan dan kematian melalui simbol kalajengking dan lingkungan yang tidak bersahabat, Aziz berhasil menyampaikan pesan tentang ketidakberdayaan dan kekosongan eksistensial. Puisi ini merupakan refleksi tentang bagaimana manusia sering kali terjebak dalam situasi yang menghancurkan dan bagaimana kita semua akhirnya menjadi bagian dari kekacauan dan kehampaan yang lebih besar.

F. Aziz Manna
Puisi: Kalajengking
Karya: F. Aziz Manna

Biodata F. Aziz Manna:
  • F. Aziz Manna lahir pada tanggal 8 Desember 1978 di Sidoarjo, Jawa Timur.
© Sepenuhnya. All rights reserved.