Puisi: Jiwa Tiga Gunung (Karya Ahmadun Yosi Herfanda)

Puisi "Jiwa Tiga Gunung" karya Ahmadun Yosi Herfanda mengeksplorasi tema ketahanan dan perjuangan manusia dalam menghadapi bencana alam serta ...
Jiwa Tiga Gunung

Jiwa tiga gunung mengental di Ciliwung
Mengendapkan lumpur di tujuh kanal
Dalam bahasa hujan, J.P. Coen berkata,
"Akan kutegakkan gedung-gedung atas lumpur
Dan kutaklukkan banjir dengan kanal."

Orang-orang pun berlayar bersama cuaca
Membangun kota di ranah bencana
Orang-orang pun berlabuh bersama hujan
Membangun harapan di ranah impian
Orang-orang pun menanam dalam ombak
Mengail ikan di kanal seberang

Jiwa tiga gunung mengendap di muara
meninggalkan banjir di lima penjuru kota
Orang-orang lalu berenang ke hulu
Sambil berkata, "Merdeka atau mati."
"Merdeka," teriak sampah
Sambil menari-nari di kanal kota.

Jakarta, 2022

Sumber: Jawa Pos (2022)

Analisis Puisi:

Puisi "Jiwa Tiga Gunung" karya Ahmadun Yosi Herfanda mengeksplorasi tema ketahanan dan perjuangan manusia dalam menghadapi bencana alam serta tantangan yang dihadapi dalam membangun peradaban. Dengan latar belakang sejarah dan geografi yang kuat, puisi ini memadukan unsur-unsur mitos dan sejarah dengan realitas kehidupan sehari-hari, menciptakan gambaran yang kompleks dan mendalam tentang hubungan antara manusia, lingkungan, dan kekuasaan.

Puisi ini menggambarkan perjalanan simbolis manusia dalam menghadapi bencana alam dan upaya mereka untuk membangun peradaban di tengah-tengah tantangan yang dihadapi. Melalui bahasa yang kaya dan metafora yang kuat, Ahmadun Yosi Herfanda menyampaikan pesan tentang ketahanan, harapan, dan perjuangan.

Metafora dan Simbolisme

"Jiwa tiga gunung mengental di Ciliwung" - Metafora "jiwa tiga gunung" menggambarkan kekuatan dan ketahanan yang melatarbelakangi manusia dalam menghadapi tantangan. Ciliwung, sebagai sungai yang mengalir di Jakarta, menjadi simbol dari aliran sejarah dan perjuangan yang membentuk kota tersebut. Jiwa gunung yang mengental menunjukkan kekuatan alami dan spiritual yang mengendap dalam tanah dan air, menggambarkan ketahanan terhadap bencana.

"Mengendapkan lumpur di tujuh kanal" - Lumpur yang mengendap di kanal-kanal menggambarkan dampak dari bencana alam dan pembangunan manusia. Kanal-kanal yang membanjiri tanah menunjukkan bagaimana usaha untuk mengatasi bencana sering kali menambah masalah baru, seperti penumpukan lumpur yang menghalangi aliran air dan menciptakan tantangan tambahan.

Konteks Sejarah dan Sosial

"Dalam bahasa hujan, J.P. Coen berkata, 'Akan kutegakkan gedung-gedung atas lumpur Dan kutaklukkan banjir dengan kanal.'" - Penggunaan nama J.P. Coen, seorang gubernur jenderal Belanda yang terkenal dalam sejarah kolonial Indonesia, menambah dimensi historis pada puisi ini. Kalimat ini menunjukkan ambisi dan tantangan kolonial dalam mengendalikan alam dan membangun peradaban di atas fondasi yang rapuh. Melalui penggambaran ini, puisi mencerminkan upaya dan dampak dari kekuasaan kolonial terhadap lingkungan dan masyarakat lokal.

Kehidupan Sehari-Hari dan Harapan

"Orang-orang pun berlayar bersama cuaca Membangun kota di ranah bencana" - Gambaran orang-orang yang berlayar dan membangun kota menunjukkan tekad manusia untuk bertahan dan berkembang meskipun berada dalam kondisi yang tidak ideal. Ranah bencana mencerminkan kondisi lingkungan yang sulit, sementara membangun kota mengisyaratkan usaha manusia untuk menciptakan harapan dan masa depan di tengah kesulitan.

"Orang-orang pun menanam dalam ombak Mengail ikan di kanal seberang" - Menanam dalam ombak dan mengail ikan di kanal mencerminkan adaptasi dan kreativitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia meskipun dalam situasi yang tidak mudah. Ini menunjukkan bagaimana masyarakat berusaha untuk bertahan hidup dan berkembang meskipun tantangan yang ada.

"Jiwa tiga gunung mengendap di muara meninggalkan banjir di lima penjuru kota" - Penutup puisi ini menggambarkan bagaimana kekuatan dan ketahanan alam meninggalkan dampak yang luas dan mendalam di kota-kota. Banjir yang menggenangi lima penjuru kota mencerminkan dampak jangka panjang dari bencana alam dan ketidakmampuan untuk sepenuhnya mengatasi masalah tersebut.

"Orang-orang lalu berenang ke hulu Sambil berkata, 'Merdeka atau mati.' 'Merdeka,' teriak sampah Sambil menari-nari di kanal kota." - Pernyataan "merdeka atau mati" menekankan tekad dan keberanian masyarakat dalam menghadapi kesulitan. Teriakan sampah yang menari-nari di kanal kota menambahkan lapisan ironi dan kesadaran tentang realitas kehidupan yang terabaikan dan tertinggal.

Puisi "Jiwa Tiga Gunung" karya Ahmadun Yosi Herfanda menyajikan gambaran yang kuat dan kompleks tentang perjuangan manusia dalam menghadapi bencana alam dan tantangan pembangunan. Melalui penggunaan metafora, simbolisme, dan konteks historis, puisi ini mengungkapkan kedalaman pengalaman manusia dan ketahanan dalam menghadapi kesulitan.

Ahmadun Yosi Herfanda
Puisi: Jiwa Tiga Gunung
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

Biodata Ahmadun Yosi Herfanda:
  • Ahmadun Yosi Herfanda (kadang ditulis Ahmadun Y. Herfanda atau Ahmadun YH) adalah seorang penulis puisi, cerpen, esai, sekaligus berprofesi sebagai jurnalis dan editor berkebangsaan Indonesia yang lahir pada tanggal 17 Januari 1958.
  • Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media-media massa, semisal: Horison, Kompas, Media Indonesia, Republika, Bahana, dan Ulumul Qur'an.
© Sepenuhnya. All rights reserved.