Jalan Selamat
: Maria Klotilda Safrina
Di Câlin Café-Ruteng malam membagikan dingin dalam diam,
Kau paham malam adalah waktu perpisahan yang paling kejam.
Itulah sebabnya rindu kita bekerja keras, dan menyelam ke dasar laut yang paling dalam.
Sambil berusah paya bertarung melawan dingin malam, kita menuju Natas Labar Motang Rua yang hampir tak diam.
Kau bertanya-tanya mengapa telinga dan mata tetangga tak ingin pejam:
Kita adalah mangsa tetangga yang siap diterkam 24 jam,
Seperti bola panas kita di antara lidah tetangga yang suka pendam,
Lalu di penghujung pertemuan kau mengucapkan: selamat jalan. Mengapa kau tak bilang: jalanlah dengan keselamatan. Kuyakin jalan adalah pembebasan dan keselamatan. Keselamatan berkonspirasi dengan alam semesta mengantarku kembali ke jalan awal.
Katamu: jangan lupa dengan kenangan. Bukankah kenangan diciptakan rindu kita yang menyelam makin mendalam dan mulut tetangga yang tak suka diam?
Pulanglah sebelum angin petang menghapus kenangan dan lembayung senja memudarkan rindu kita yang indah sekali di antara mercusuar malam.
Jakarta, 24 Juli 2024
Analisis Puisi:
Saat kita menyeruput kopi di Câlin Café-Ruteng, ada pesona malam yang sering kali membangkitkan romantika dan kesedihan yang mendalam. Di tengah suasana dingin yang hening, puisi "Jalan Selamat" karya Melki Deni muncul sebagai karya sastra yang penuh dengan makna dan rindu. Puisi ini, yang ditulis untuk Maria Klotilda Safrina, bukan hanya sekadar rangkaian kata, tetapi juga jendela menuju perasaan terdalam kita saat berhadapan dengan perpisahan dan kenangan.
Apa yang membuat puisi ini begitu menarik adalah kemampuan Melki Deni untuk menciptakan suasana yang begitu hidup dan penuh emosi. Dengan permainan kata-kata yang piawai, Melki mengajak kita berjalan menyusuri senja, merasakan dinginnya malam, dan bertarung dengan rindu yang tak pernah berhenti.
Malam sebagai Simbol Perpisahan
Puisi ini dimulai dengan penggambaran malam yang membagikan dingin dalam diam. Ada sesuatu yang mendalam dan menyakitkan tentang malam yang dijadikan waktu perpisahan. Malam, dengan kegelapan dan keheningannya, menjadi simbol perpisahan yang paling kejam. Di sini, kita bisa merasakan betapa pahitnya momen perpisahan yang sering kali digambarkan dengan suasana malam yang sunyi.
Kenangan yang bekerja keras menyelam ke dasar laut yang paling dalam seolah-olah menjelajahi kedalaman hati kita yang penuh dengan rindu. Sensasi dingin malam yang harus kita lawan menggambarkan betapa besar tantangan yang kita hadapi dalam menghadapi perpisahan.
Tantangan Rindu dan Kenangan
Saat kita melawan dingin malam, kita mengarah ke Natas Labar Motang Rua yang hampir tak diam. Kalimat ini menggambarkan perjalanan emosional yang kita lalui dalam pencarian makna dan arah hidup yang sering kali penuh dengan kegelisahan. Di sini Melki Deni berhasil membawa kita memasuki dunia yang penuh dengan pergulatan batin.
Tetangga menjadi sosok yang mewakili penasaran dan mulut yang tak pernah diam, mengawasi dan menilai setiap langkah kita. Seperti bola panas di antara lidah tetangga, kita menjadi sasaran empuk komentar dan pengamatan. Ini menambah lapisan kompleksitas dalam puisi yang mencerminkan realitas sosial kita.
Pesan Perpisahan dan Keselamatan
Di akhir pertemuan, kata 'selamat jalan' diucapkan, namun pertanyaan mengapa tidak 'jalanlah dengan keselamatan' muncul. Ini bukan hanya permainan kata, tetapi juga pengungkapan keyakinan bahwa jalan yang kita tempuh adalah jalan menuju pembebasan dan keselamatan. Keselamatan yang berkonspirasi dengan alam semesta mengantarkan kita kembali ke jalan awal, menggambarkan siklus hidup yang selalu berputar.
Kata-kata "jangan lupa dengan kenangan" dari persona puisi ini mengingatkan kita bahwa kenangan adalah hasil dari rindu yang dalam dan mulut tetangga yang tak pernah berhenti bergerak. Itu adalah refleksi dari bagaimana kenangan dibangun melalui pengalaman dan pengamatan sosial.
Pengaruh Alam dan Waktu
Pulang sebelum angin petang menghapus kenangan dan lembayung senja memudarkan rindu mengajak kita untuk menghargai momen-momen kecil dalam hidup. Sebuah panggilan untuk kembali sebelum kenangan kita memudar oleh waktu dan perubahan. Alam dan waktu bersatu dalam harmoni yang mengingatkan kita tentang kefanaan segala sesuatu.
Secara keseluruhan, puisi "Jalan Selamat" karya Melki Deni adalah karya yang penuh dengan kekayaan makna dan emosi. Dari dinginnya malam hingga rasa rindu yang mendalam, puisi ini membawa kita melalui perjalanan emosional yang reflektif dan kerap kali menyentuh hati. Dengan kata-kata yang indah dan pengamatan sosial yang tajam, Melki Deni berhasil menciptakan sebuah karya yang tidak hanya menceritakan cerita pribadi tetapi juga menggambarkan fenomena universal perpisahan dan kerinduan.
Puisi: Jalan Selamat
Karya: Melki Deni
Biodata Melki Deni:
- Melki Deni adalah mahasiswa STFK Ledalero, Maumere, Flores, NTT.
- Melki Deni menjuarai beberapa lomba penulisan karya sastra, musikalisasi puisi, dan sayembara karya ilmiah baik lokal maupun tingkat nasional.
- Buku Antologi Puisi pertamanya berjudul TikTok. Aku Tidak Klik Maka Aku Paceklik (Yogyakarta: Moya Zam Zam, 2022).
- Saat ini ia tinggal di Madrid, Spanyol.