Gerhana di Tepi Sungai Matamu
Aku melihat riak, aku melihat perahu, aku melihat
sebatang bambu tertancap menjulang ditengah sungai.
Telanjang tanpa daun, tanpa pegangan
Senja telah menjadi jarum
runcing, dengan cahaya karat keemasan berpendar
melukai dirimu
Perahu, riak, dan bambu.
air yang mengalir ke hilir. Menjauh menuju waktu.
Meninggalkan batu-batu, bersama pasir yang mendesir
di kedalaman dingin
dan beku.
Ada angin di rumpun perdu
menyalakan hari dan burung yang tebang pulang
ke rahim sunyi. Menunggu malam
dalam diam.
Pontianak, 2016
Analisis Puisi:
Puisi "Gerhana di Tepi Sungai Matamu" karya Hanna Fransisca adalah sebuah karya yang memadukan keindahan alam dengan kedalaman emosi dan refleksi kehidupan. Melalui rangkaian kata-kata yang sederhana namun kuat, Hanna Fransisca berhasil menyampaikan suasana melankolis dan perenungan tentang waktu, kehilangan, dan kesunyian.
Simbolisme Alam dalam Puisi
Puisi ini dibuka dengan penggambaran visual yang kuat: riak, perahu, dan sebatang bambu yang tertancap di tengah sungai. Ketiga elemen ini bukan sekadar deskripsi alam, tetapi memiliki makna simbolis yang mendalam. Riak air yang terus bergerak mencerminkan perjalanan waktu yang tak terhentikan, sementara perahu dan bambu yang terdiam menggambarkan ketidakberdayaan manusia di hadapan arus kehidupan yang mengalir tanpa henti.
Bambu yang "telanjang tanpa daun, tanpa pegangan" menyiratkan kerapuhan dan keterasingan. Ia berdiri sendiri di tengah aliran sungai, tanpa pelindung atau tempat bergantung. Gambaran ini bisa diinterpretasikan sebagai refleksi dari perasaan kehilangan atau keterasingan dalam kehidupan.
Senja dan Waktu: Metafora Kehidupan
Hanna Fransisca menggunakan senja sebagai metafora dalam puisi ini, menggambarkannya sebagai "jarum runcing" yang "melukai dirimu" dengan cahaya "karat keemasan". Senja sering kali dikaitkan dengan akhir dari suatu hari, simbol dari transisi antara terang dan gelap, antara kehidupan dan kematian. Dalam konteks ini, senja yang melukai mencerminkan perasaan perih yang ditinggalkan oleh kenangan atau waktu yang berlalu.
Cahaya yang berpendar dengan warna keemasan juga dapat diartikan sebagai sisa-sisa keindahan yang masih terlihat meski hari menjelang malam. Ini menggambarkan bagaimana momen-momen indah dalam hidup tetap membekas meski waktu terus berjalan, meninggalkan jejak yang menyakitkan namun berharga.
Air yang Mengalir: Simbol Ketidakterbalikan Waktu
Di bait berikutnya, air sungai yang mengalir ke hilir menjadi simbol kuat dari waktu yang bergerak maju. Air tersebut "menjauh menuju waktu", meninggalkan batu-batu dan pasir di belakang, menggambarkan bagaimana masa lalu perlahan-lahan tertinggal, membawa serta kenangan dan perasaan yang pernah ada.
Hanna Fransisca menggambarkan kedalaman air sebagai "dingin dan beku", mencerminkan perasaan beku yang sering kali menyertai kenangan yang menyakitkan. Meski waktu terus berjalan, perasaan dingin dan beku ini tetap ada, menciptakan kontras dengan riak air yang terus bergerak.
Kesunyian dan Penantian Malam
Bait terakhir puisi ini menyoroti suasana kesunyian dan penantian. "Angin di rumpun perdu" yang "menyalakan hari" dan burung-burung yang terbang pulang ke "rahim sunyi" menggambarkan perasaan penantian yang hening, menunggu malam datang. Malam, dalam konteks ini, bisa diartikan sebagai momen refleksi, saat segala aktivitas berhenti dan hanya kesunyian yang tersisa.
Kesunyian ini juga menandakan kembalinya ke asal, ke rahim yang sunyi, yang mungkin menggambarkan kembalinya ke keadaan batiniah yang tenang setelah perjalanan panjang. Penantian malam adalah penantian terhadap ketenangan dan kedamaian setelah berlalunya waktu.
Refleksi Kehidupan dan Waktu dalam "Gerhana di Tepi Sungai Matamu"
Puisi "Gerhana di Tepi Sungai Matamu" adalah sebuah karya yang kaya akan simbolisme dan makna. Hanna Fransisca berhasil menggabungkan elemen-elemen alam seperti sungai, senja, dan angin untuk menggambarkan perasaan mendalam tentang waktu, kehilangan, dan kesunyian. Melalui deskripsi visual yang kuat dan penggunaan metafora yang tepat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjalanan hidup, hubungan dengan waktu, dan arti dari kesunyian.
Puisi ini bukan hanya sebuah gambaran tentang alam, tetapi juga refleksi batin yang mengajak kita untuk merenungkan makna dari setiap momen yang berlalu, serta pentingnya menemukan kedamaian dalam kesunyian. Hanna Fransisca dengan indah menulis puisi yang melampaui kata-kata, menggugah emosi dan pemikiran tentang kehidupan, waktu, dan ketidakberdayaan manusia di hadapannya.
Karya: Hanna Fransisca
Biodata Hanna Fransisca:
- Hanna Fransisca lahir pada tanggal 30 Mei 1979 di Singkawang, Kalimantan Barat.