Puisi: Angklung (Karya Dhimas Pangeswara)

Dalam puisi "Angklung" karya Dhimas Pangeswara, kita dibawa masuk ke dalam labirin emosi yang mendalam, menggambarkan betapa seni angklung kini ...

Angklung


tangis bambu merintih sumbang, teman hilang menepi digerus jaman. 
sepi gigit menyakitkan, kian lama hilang, realita tak kuasa dilawan

rampak kaki dendang kian sunyi, hilang tak bernyali. Sedu tangis tak keluar suara, air mata kering pada pelupuk mata. 

pelan dan pasti, bambu tinggal cerita lara, langka jadi bala. suara indah seni angklung merana, sisakan cerita senja.

tersisa dalam tanya, tangan tampuk kuasa di mana? Ketika seni budaya tak berdaya, punah segera tiba

Jakarta, 06 Agustus 2024
Catatan:
Pikiran Rakyat, Seni Angklung akan Punah, 19 Desember 2018.
Sam Udjo berpendapat, kesenian angklung tidak bertahan sampai 10 tahun, karena selain bahan baku makin langka, pemerintah tidak serius memberikan dukungan bagi kelestariannya.

Analisis Puisi:

Ada yang tak lekang oleh waktu: seni dan budaya kita. Namun, ada juga yang terseok-seok melawan arus zaman. Berbicara soal angklung, rasanya seperti nostalgia akan suara bambu yang indah, namun lambat laun kian sayup terdengar. Dalam puisi "Angklung" karya Dhimas Pangeswara, kita dibawa masuk ke dalam labirin emosi yang mendalam, menggambarkan betapa seni angklung kini berada di ambang kepunahan.

Mengacu pada artikel Pikiran Rakyat bertajuk "Seni Angklung akan Punah" yang terbit pada 19 Desember 2018, Sam Udjo mengutarakan kekhawatirannya dengan sangat jelas. Ia menyatakan bahwa kesenian angklung mungkin tidak akan bertahan sampai sepuluh tahun ke depan. Alasannya cukup gamblang: bahan baku makin langka dan dukungan pemerintah tak pernah serius.

Tangis Bambu Merintih Sumbang

Dhimas Pangeswara memulai puisinya dengan kata-kata yang dalam dan menyayat hati: "tangis bambu merintih sumbang, teman hilang menepi digerus jaman." Kalimat ini menggambarkan betapa kesenian angklung sudah mulai kehilangan tempatnya, terdengar samar dan semakin jauh dari ingatan masyarakat.

Ketika mendengar kata "merintih," kita jadi terbayang akan bambu yang dahulu berayun harmonis dalam tarian angklung kini hanya bisa merintih pasrah. Anda pasti bisa merasakan kesedihan mendalam ini, bukan?

Sepi Menghantui, Bambu Kian Memudar

Bagian puisi yang berbunyi: "sepi gigit menyakitkan, kian lama hilang, realita tak kuasa dilawan," menggambarkan realita yang pahit. Seni yang dahulu menjadi identitas kini kian sepi pengunjungnya. Bagaimana tidak, bahan baku makin langka dan perhatian semakin minim.

Bayangkanlah saat anda mendatangi sebuah pertunjukan angklung yang dulu ramai, sekarang menjadi sunyi dan sesak oleh perasaan kehilangan.

Rampak Kaki dan Tangisan yang Tak Bersuar

"Rampak kaki dendang kian sunyi, hilang tak bernyali. Sedu tangis tak keluar suara, air mata kering pada pelupuk mata." Betapa kuat metafora yang digunakan Dhimas. Sepi yang digambarkan sampai membuat kita bergidik.

Kesedihan yang tak terkatakan, air mata yang tak bisa lagi mengalir, seolah-olah mereka sudah kering oleh kelelahan. Ini menggambarkan bagaimana kinerja keras para seniman yang tidak lagi dihargai—perasaan yang menyakitkan namun sangat nyata.

Bambu Tinggal Cerita Lara

"Pelan dan pasti, bambu tinggal cerita lara, langka jadi bala." Semakin lama, kita akan mendengar angklung hanya sebagai cerita, bukan musik yang mewarnai kehidupan kita sehari-hari. Ini adalah potret realita yang tak terbantahkan jika kita tidak melakukan sesuatu.

Anda bisa bayangkan bagaimana perasaan orang-orang yang tumbuh dengan seni angklung, melihatnya kini hanya tinggal cerita?

Seni Angklung Merana, Tangan Tampuk Kuasa di Mana?

Terakhir, Dhimas menutup puisinya dengan pertanyaan yang pedas namun sangat relevan: "suara indah seni angklung merana, sisakan cerita senja. tersisa dalam tanya, tangan tampuk kuasa di mana? Ketika seni budaya tak berdaya, punah segera tiba."

Memang, dimana peran pemerintah? Dukungan yang sangat dinantikan tak kunjung datang hingga kini. Budaya yang seharusnya menjadi kebanggaan malah diabaikan. Jika terus begini, masa depan angklung sangat suram.

Ada satu fakta menarik yang bisa kita renungkan bersama: Angklung telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan. Ironisnya, meski dunia menghargai, kita sendiri yang tak menjaga.

Dhimas Pangeswara
Puisi: Angklung
Karya: Dhimas Pangeswara

Biodata Dhimas Pangeswara:
  • Dhimas Pangeswara lahir pada tanggal 31 Desember di Jakarta. Selain suka membaca, ia juga memiliki hobi fotografi dan penyayang binatang.
  • Dhimas mulai aktif menulis puisi sejak 2015 dan ikut terlibat di berbagai event menulis prosa dan puisi, termasuk di Asqa Imagination School (AIS) #46.
© Sepenuhnya. All rights reserved.