Puisi: Kemarau (Karya Bakdi Soemanto)

Puisi "Kemarau" karya Bakdi Soemanto mengajak pembaca untuk merenungkan makna dari penantian, perubahan, dan keberlanjutan dalam kehidupan manusia.
Kemarau

Kemarau menggulung tikar
waktu mendung bergantung
di ujung hari.

Apakah kehidupan seperti musim
melap keringat duka dan
berteduh di meriah pesta?

Jika begitu
apa pula makna menunggu
sesudah jera
pusing di tungku.

Ada yang berlanjut
di antara yang rontok dan berganti
ada yang tumbuh
di antara yang buyar dan mati.

Mencari
yang selalu memulai
suatu kelanjutan;
kelanjutan dalam permulaan
meski (ah!)
entah akhirnya.

1974

Sumber: Kata (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Kemarau" karya Bakdi Soemanto adalah sebuah karya yang mengeksplorasi tema-tema kehidupan, kesabaran, dan siklus alami melalui metafora dan refleksi yang mendalam. Dengan menggambarkan kemarau sebagai simbol waktu dan pengalaman hidup, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna dari penantian, perubahan, dan keberlanjutan dalam kehidupan manusia.

Struktur Puisi

  • Pembukaan dan Tema Utama: Puisi dimulai dengan gambaran langsung tentang kemarau yang menggulung tikar, menciptakan suasana yang kering dan menunggu. Struktur ini menyajikan kemarau sebagai latar yang melambangkan siklus kehidupan dan kesabaran. Contoh: "Kemarau menggulung tikar / waktu mendung bergantung / di ujung hari."
  • Pernyataan Reflektif: Puisi kemudian berlanjut dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif tentang kehidupan, penantian, dan makna perubahan. Contoh: "Apakah kehidupan seperti musim / melap keringat duka dan / berteduh di meriah pesta?"

Gaya Bahasa

  • Metafora Alam: Penulis menggunakan metafora alam, seperti kemarau, mendung, dan pesta, untuk menggambarkan kondisi emosional dan filosofis manusia. Metafora ini membantu menyampaikan pesan-pesan yang lebih dalam tentang kehidupan dan perubahan. Contoh: "Kemarau menggulung tikar / waktu mendung bergantung / di ujung hari."
  • Pertanyaan Retoris dan Refleksi: Penggunaan pertanyaan retoris dalam puisi ini mendorong pembaca untuk merenungkan makna dan pengalaman mereka sendiri. Ini menciptakan dialog internal dan eksistensial. Contoh: "Jika begitu / apa pula makna menunggu / sesudah jera / pusing di tungku."
  • Kontras dan Paradox: Puisi ini memanfaatkan kontras antara yang berlanjut dan yang rontok, serta antara yang tumbuh dan yang mati, untuk menggambarkan siklus kehidupan dan perubahan yang terus-menerus. Contoh: "Ada yang berlanjut / di antara yang rontok dan berganti / ada yang tumbuh / di antara yang buyar dan mati."

Tema dan Makna

  • Kemarau sebagai Simbol: Kemarau dalam puisi ini berfungsi sebagai simbol dari fase kehidupan yang kering dan menunggu. Ini menggambarkan periode di mana seseorang mungkin merasa terjebak atau stagnan, tetapi juga mengingatkan bahwa perubahan adalah bagian dari siklus alami. Contoh: "Kemarau menggulung tikar / waktu mendung bergantung / di ujung hari."
  • Penantian dan Kesabaran: Penantian dan kesabaran adalah tema sentral dalam puisi ini. Penulis menanyakan makna dari menunggu dan kesabaran, serta bagaimana hal tersebut berhubungan dengan pengalaman hidup dan perubahan. Contoh: "Apakah kehidupan seperti musim / melap keringat duka dan / berteduh di meriah pesta?"
  • Perubahan sebagai Proses: Puisi ini menyoroti bagaimana perubahan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Perubahan yang terjadi di antara yang rontok dan yang tumbuh mencerminkan dinamika yang terus-menerus dalam kehidupan manusia. Contoh: "Ada yang berlanjut / di antara yang rontok dan berganti / ada yang tumbuh / di antara yang buyar dan mati."
  • Keberlanjutan dalam Permulaan: Penulis menggarisbawahi ide bahwa setiap permulaan membawa kelanjutan, meskipun hasil akhirnya tidak selalu jelas. Ini mencerminkan siklus hidup yang berkelanjutan dan tidak pasti. Contoh: "Mencari / yang selalu memulai / suatu kelanjutan; / kelanjutan dalam permulaan."

Emosional

Puisi ini menampilkan suasana yang reflektif dan introspektif dengan gaya bahasa yang merenung. Penggunaan metafora alam dan pertanyaan retoris menciptakan ruang bagi pembaca untuk mempertimbangkan pengalaman pribadi mereka dalam konteks yang lebih luas. Penulis menyajikan kemarau tidak hanya sebagai fenomena alam, tetapi sebagai simbol dari keadaan emosional dan filosofi hidup.

Puisi "Kemarau" karya Bakdi Soemanto adalah karya yang mendalam dan reflektif yang menggunakan metafora alam untuk mengeksplorasi tema-tema kehidupan, perubahan, dan penantian. Melalui gaya bahasa yang penuh dengan metafora dan pertanyaan retoris, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan siklus kehidupan, makna dari penantian, dan bagaimana perubahan terus-menerus membentuk dan mempengaruhi eksistensi manusia. Penulis menunjukkan bahwa meskipun kehidupan sering kali menghadapi kemarau dan ketidakpastian, ada keindahan dan keberlanjutan dalam setiap permulaan dan perubahan.

Bakdi Soemanto
Puisi: Kemarau
Karya: Bakdi Soemanto

Biodata Bakdi Soemanto:
  • Prof. Dr. Christophorus Soebakdi Soemanto, S.U lahir pada tanggal 29 Oktober 1941 di Solo, Jawa Tengah.
  • Prof. Dr. Christophorus Soebakdi Soemanto, S.U meninggal dunia pada tanggal 11 Oktober 2014 (pada umur 72 tahun) di Yogyakarta.
© Sepenuhnya. All rights reserved.