Puisi: Duka (Karya Darwanto)

Puisi "Duka" karya Darwanto menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam dan bagaimana waktu terus berlalu meskipun kita menghadapi duka.

Duka

Sejenak kita menundukkan kepala
waktu seorang telah berkabung
beribu kata dalam sekat duka
waktu seorang telah berujung
meninggalkan jalan dunia
adakah yang mesti kita hitung
segala akan padam tak terduga
hari akan semakin layung
begitu cepat waktu mencapainya

2024

Analisis Puisi:

Puisi "Duka" karya Darwanto adalah sebuah karya yang menggambarkan rasa kehilangan dan kesedihan yang mendalam. Dengan gaya bahasa yang puitis dan reflektif, puisi ini menyampaikan perasaan mendalam mengenai kematian dan duka yang menyertainya.

Struktur Puisi

Puisi ini menggunakan struktur yang sederhana namun efektif, dengan pengaturan baris yang mempertegas perasaan duka dan refleksi. Setiap baris menyampaikan pemikiran yang mendalam mengenai kematian dan bagaimana manusia menghadapi kehilangan. Struktur ini memudahkan pembaca untuk meresapi setiap kata dan makna yang terkandung di dalamnya.

Gaya Bahasa

  • Penggunaan Bahasa Kiasan: Darwanto menggunakan bahasa kiasan untuk mengekspresikan rasa duka yang mendalam. Frasa seperti "waktu seorang telah berkabung" dan "beribu kata dalam sekat duka" menggambarkan bagaimana waktu dan kata-kata tidak dapat sepenuhnya mengungkapkan kesedihan yang dirasakan.
  • Metafora dan Simbolisme: Metafora seperti "hari akan semakin layung" dan "begitu cepat waktu mencapainya" menggambarkan sifat tidak terduga dari kematian dan bagaimana waktu terus berjalan tanpa henti. Simbolisme ini memperkuat tema kematian dan duka yang meliputi puisi.

Kematian dan Duka

Tema utama dalam puisi ini adalah kematian dan duka yang menyertainya. Darwanto mengangkat topik ini dengan cara yang reflektif, merenungkan bagaimana kematian seorang individu meninggalkan bekas yang mendalam pada orang-orang yang ditinggalkan.
  • Kehilangan dan Kesedihan: Puisi ini menggambarkan perasaan duka yang dirasakan ketika seseorang meninggal dunia. "Sejenak kita menundukkan kepala" menunjukkan penghormatan dan rasa hormat terhadap yang telah pergi, sementara "beribu kata dalam sekat duka" menggambarkan betapa sulitnya mengungkapkan rasa kehilangan melalui kata-kata.

Waktu dan Ketidakpastian

Puisi ini juga mengeksplorasi konsep waktu dan ketidakpastian yang berkaitan dengan kematian. "Hari akan semakin layung" menggambarkan bagaimana waktu terus berlalu, bahkan saat kita menghadapi kehilangan. Frasa ini menunjukkan bahwa kehidupan terus berlanjut meskipun seseorang telah meninggalkan dunia ini.
  • Keterbatasan Manusia: "Adakah yang mesti kita hitung" menggambarkan keterbatasan manusia dalam menghadapi kematian. Kita tidak dapat menghitung atau memahami sepenuhnya dampak dari kehilangan seseorang, dan segala sesuatu akan padam tanpa terduga.

Refleksi dan Kehilangan

Puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan betapa cepatnya waktu berlalu dan bagaimana setiap individu harus menghadapi kehilangan. Dengan "waktu mencapainya" sebagai penutup, Darwanto menekankan betapa cepatnya kematian bisa datang dan bagaimana kita harus belajar untuk menerima dan melanjutkan hidup meskipun mengalami duka.

Emosional

Puisi ini memancarkan perasaan duka dan refleksi yang mendalam. Dengan gaya bahasa yang sederhana namun kuat, Darwanto berhasil menyampaikan perasaan kehilangan dan kesedihan secara mendalam. Pembaca dapat merasakan betapa sulitnya mengungkapkan perasaan setelah kehilangan seseorang yang berarti, serta bagaimana waktu terus berjalan meskipun kita berduka.

Puisi "Duka" karya Darwanto adalah karya yang menyentuh mengenai kematian dan duka. Dengan menggunakan bahasa puitis dan simbolis, puisi ini menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam dan bagaimana waktu terus berlalu meskipun kita menghadapi duka. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan sifat tidak terduga dari kematian dan bagaimana kita harus menghadapi dan menerima kehilangan dalam kehidupan kita.

Darwanto
Puisi: Duka
Karya: Darwanto

Biodata Darwanto:
  • Darwanto lahir pada tanggal 6 Maret 1994.
© Sepenuhnya. All rights reserved.