Suasana Lebaran di Rumah Nenek: Melelahkan Tetapi Sangat Terkenang di Dalam Hati dan Ingatan

Tahun ini lebaran terasa cukup singkat, tidak terlalu banyak persiapan, hanya membuat kue dan membeli sedikit baju. Libur lebaran juga terasa ...

Tahun ini lebaran terasa cukup singkat, tidak terlalu banyak persiapan, hanya membuat kue dan membeli sedikit baju. Libur lebaran juga terasa sangat singkat, ditambah lagi saya teringat akan momen-momen dahulu saat libur lebaran di rumah nenek di Surabaya, momen yang tidak akan terulang lagi tetapi selalu terkenang di hati dan ingatan saya.

Saat itu, saya selalu merasa dimanja oleh nenek setiap kali pulang kampung, apa pun yang saya inginkan selalu dianggap wajib bagi nenek untuk membelikannya. Setiap hari, saat nenek pergi ke pasar, saya selalu ikut, dibonceng menggunakan sepeda tuanya itu. Di pasar, selalu dibelikan telur puyuh favorit saya saat kecil, pukis, hingga sandal atau mainan. Oleh karena itu, saya sangat betah ketika kecil harus menginap di rumah nenek meski harus berminggu-minggu.

Dahulu, saya yakin hampir semua orang merasakan pulang kampung ke rumah nenek, tidur di depan televisi menggunakan karpet beramai-ramai bersama sepupu dan saudara. Meski, saat bangun badan terasa sakit tetapi merasa terobati karena melihat nenek yang juga sangat senang ketika anak serta cucunya kumpul di rumah.

Setiap hari selalu ditanya ingin dibuatkan apa untuk buka puasa, bahkan ketika kami menjawab masakan yang sulit sekali pun pasti akan tetap dibuatkan. Bahkan, diberi THR oleh nenek yang cukup untuk membeli 1-3 setel baju. Hal itu tentunya tidak didapat secara gratis. Dahulu saya harus membantu nenek untuk menyiapkan takjil yang akan dijual, takjilnya adalah martabak telur dan lumpia.

Saat nenek menerima pesanan dengan porsi yang sangat jumbo, bisa membuat hingga ratusan lumpia dan martabak. Sangat lelah jika diingat, tetapi betapa mengejutkannya nenek yang sudah biasa memproduksi martabak dan lumpia sebanyak itu sendirian.

Suasana Lebaran di Rumah Nenek

Sehari sebelum lebaran banyak sekali hal yang harus disiapkan, mulai dari ketupat, opor, rendang, sambal goreng, sayur lodeh, dan masih banyak lagi hidangan wajib saat lebaran, ditambah lagi harus membersihkan setiap sudut rumah tanpa ada yang tertinggal, menyiapkan THR untuk tetangga di sekitar rumah juga wajib hukumnya. 

Keesokan hari, saya sangat bersemangat untuk mencicipi masakan nenek yang tentunya sangat lezat. Tidak lupa sebelum makan, sungkem dengan nenek dan orang tua. Entah mengapa, nenek selalu menitikkan air mata saat anak dan cucunya sungkem. Namun, saat ditanya katanya itu adalah tangisan kebahagiaan, sangking bahagianya nenek sampai menangis. Kami sekeluarga tidak pernah berfoto bersama karena setelah sungkem dengan keluarga, sibuk menyambut tamu. Jadi, malah tidak sempat untuk berfoto.

Saat itu, saya berpikir bahwa momen seperti ini akan terus dirasakan. Namun, ternyata dugaan saya salah besar. Hal-hal seperti itu belum tentu akan terulang lagi di tahun berikutnya. Saya menyesal karena momen-momen menyenangkan seperti itu tidak saya abadikan dalam bentuk foto atau video, entah apa yang saya pikirkan saat itu sampai tidak mengambil foto bersama sama sekali.

Tetapi untungnya, di tahun terakhir merayakan lebaran bersama nenek di Surabaya, Kami sempat mengabadikan setidaknya satu foto dan video bersama. Semenjak itu, saya belajar bahwa hal-hal yang kita anggap rutinitas, akan selalu ada masanya. Mulai saat itu, saya tidak segan-segan untuk mengambil gambar hingga vidio apapun yang membuat saya senang, agar ketika masanya sudah berakhir, setidaknya saya dapat mengenangnya lagi melalui foto ataupun vidio. Meski hal-hal yang saya alami tersebut tidak sempat difoto, saya akan terus menyimpan kenangan indah tersebut dihati dan pikiran saya.

Lebaran tahun ini tetap terasa senangnya, karena dapat berkumpul dengan keluarga jauh. Makan lontong, opor, sambal goreng favorit saya, juga beberapa kue lebaran buatan ibu saya. Bersalaman dengan banyak orang, dan menerima THR dari keluarga. Meskipun, sedikit terkejut karena meski sudah dewasa tetapi tetap mendapatkan THR. Tidak lupa juga mengabadikan foto dengan keluarga besar.

Biodata Penulis:

Aurelia Ivana Naomi lahir pada tanggal 24 Oktober 2004 di Jakarta. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di Universitas Sebelas Maret, program studi Agribisnis, Fakultas Pertanian.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Pernahkah kalian melihat tindak diskriminasi secara tidak langsung di kehidupan sehari-hari? Ya, tindak diskriminasi, pembedaan perlakuan terhadap sesama dari segi golongan ekonomi…
  • Sudah 12 tahun yang lalu, peristiwa itu masih melekat di pikiran saya, peristiwa yang memberi pelajaran sekaligus pengetahuan baru bagi saya, karena waktu itu saya berusia 7 tahun …
  • Waktu aku kecil, aku sempat berpikir 'wah jadi dewasa pasti akan bahagia, pasti bisa beli apapun yang kita mau, bebas pergi kemana aja dan melakukan apa saja'.Itulah yang pernah ak…
  • Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktikum, laporannya yang panjang dan banyak banget baik yang ketik maupun tulisan, merupakan tim oposisi utama yang menjadikan mahasiswa pertania…
  • Dari dulu, dari umur 10 tahun tepatnya masih SD kelas 4 di situ saya selalu ditanya sama teman, guru, bahkan dari keluarga saya sendiri dengan pertanyaan "Apa cita-cita kamu?"Mungk…
  • Datang dan pergi telah menjadi bagian dari kehidupan. Terkadang kedatangan seseorang dalam hidup kita ini hanyalah bersifat sementara. Di balik makna “People Come and Go” kita dapa…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.