Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta: Kompleksitas Manusia Metropolis

Hal yang menarik dari buku "Sebuah Pertanyaan untuk Cinta", pengarang memberikan perbandingan antara hubungan yang terlarang dengan hubungan yang ...

Romansa di kota metropolis digambarkan oleh Seno Gumira layaknya sebuah lakon sandiwara. Dalam “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta”, Seno berkesempatan untuk melahirkan ekspresi baru atas kompleksitas jalinan asmara manusia-manusia modern. Buku ini memuat empat belas kisah pendek dengan tema yang sama, yaitu cinta. Gagasan-gagasan mengenai cinta yang dikemukakan Seno memanglah bukan sepenuhnya ide yang orisinal, namun dunia rekaannya menampilkan gatra pangkal percintaan yang elegan dan elok. Perenungannya di sini adalah intensi sang pengarang.

Apa yang coba disampaikannya melalui penjalinan asmara yang begitu banyak ragamnya di dalam buku ini? Bukan roman dari negeri dongeng yang ia kisahkan, melainkan hanya setimbun kisah-kisah busuk yang mengekspos betapa haram dan jahanamnya jagat semesta. Mengulik lebih dalam mengenai hal tersebut, rupanya Seno menyimpan berbagai pembelajaran baru di dalam setiap kisahnya.

“Masih cintakah kamu pada istrimu?” (Ajidarma, 1996: 4)

“Bangunlah, pacar!” Maya berbisik di telinganya, “istrimu sudah menunggu di rumah.” (Ajidarma, 1996: 7)

Sudah terlalu lama ia mengingkari siapa Kasih. Seperti Sureni, wajah Kasih pun mengingatkannya pada sesuatu yang menyakitkan. Namun, sekarang Nyonya tahu, ia sangat mencintai Kasih, anak haram suaminya. (Ajidarma, 1996: 30-31)

Suatu ketika dalam hidupku yang cuma begini-begini saja, aku menjumpai seorang lelaki yang terindah di dunia. Meskipun aku seorang lelaki, setiap kali aku terbayang wajahnya, semakin kusadari betapa cantiknya wajah itu, dan betapa ia memandangku dengan penuh cinta. (Ajidarma, 1996: 50)

Kutipan-kutipan yang rasanya amoral tersebut hanyalah sedikit dari sekian banyaknya kisah yang Seno reka dalam semesta “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta”. Wanita yang mencintai suami orang lain, sepasang suami istri yang saling menyelingkuhi satu sama lain, kisah kasih dua manusia sesama jenis; begitupula kisah-kisah yang mengundang duka seperti kehilangan yang terkasih, kecintaan terhadap anak di luar pernikahan, kecintaan terhadap seseorang yang tak kunjung pulang, dan masih banyak lagi. Seluruh rangkaian kisah ini dihimpun oleh sang pengarang untuk membuka pandangan orang-orang mengenai maujud dari cinta itu sendiri. Cinta itu luas ragamnya.

Sebuah Pertanyaan untuk Cinta

Hal yang menarik dari buku ini, pengarang memberikan perbandingan antara hubungan yang terlarang dengan hubungan yang semestinya yang kemudian menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya sebagai pembaca. Ternyata sepasang suami istri yang sah di mata hukum, ataupun pasangan lain yang berterima lewat sudut pandang sosial pun belum tentu beres. Sehingga muncul kembali renungan berkenaan hal tersebut, apakah yang selamanya dilarang sudah pasti lebih buruk dengan yang tidak dilarang? Sebaliknya, apakah hubungan yang dijalani dengan restu hukum dan sosial selalu menjadi hal yang benar untuk dilakukan?

Berangkat dari hal tersebut, saya menyadari bahwa manusia merupakan wujud yang diciptakan dengan kompleksitas yang rumit. Hal-hal berkenaan dengan perasaan tidak pernah bisa dengan mudah untuk diprediksi dan dikendalikan sesuai hati. Cinta adalah salah satunya. Untuk memahami pola pikir manusia, begitu penting untuk kita tidak langsung menembak terka tanpa mengurai kemungkinan-kemungkinan yang ada dari berbagai sudut pandang.

Singkatnya, hadapi kerumitan semesta dengan pola pikir yang matang. Dengan begitu, tindakan yang dilakonkan di dalam buku ini nantinya tidak hanya terlihat sebagai sekadar tindakan dursila.

Melalui sudut pandang yang lebih luas, saya bisa memahami alasan di balik hal tersebut. Namun, bukan berarti tindakan seperti ini diperbolehkan. Penumbuhan rasa saling hormat dan saling menghargai sangat diperlukan, tidak berarti manusia dapat dengan bebas bertindak merajam norma-norma yang berlaku. Manusia tidak dapat hidup tanpa norma yang kukuh. Sehingga sikap yang diperlukan setelah mengambil nilai ajar dari buku ini ialah untuk hidup menyesuaikan diri dengan norma yang berlaku. Eksplorasi aksi bisa dilakukan dengan memegang prinsip dan batasan-batasan yang sudah seharusnya dipahami oleh masing-masing persona.

Sedikit pandangan yang pernah saya dengar dari teman-teman sejawat saya mengenai tema sebuah buku. Mereka berkata bahwa kebanyakan cerita yang mengambil tema percintaan sebagai topik utama banyak menarik audiens, karena membaca sebuah cerita adalah hal untuk melepas penat. Lantas, apakah cerita yang mengangkat isu-isu lebih berat selain percintaan seperti politik, sosial, hukum, dan sebagainya menarik lebih sedikit audiens? Saya berpikir kembali tentang hal tersebut sampai saya sampai pada satu titik simpul. Isu-isu seperti ini bukannya tidak ada, namun menjadi isu sisipan yang sering kali disampaikan oleh seorang pengarang cerita secara tersirat. Bahkan di buku yang penuh dengan percintaan seperti buku “Sebuah Pertanyaan untuk Cinta” ini, Seno menyisipkan banyak isu-isu lain di berbagai bagian; hampir tidak disadari oleh pembaca apabila tidak membaca dengan lebih cermat. Seperti dalam kutipan berikut, “Alangkah celakanya kalau kita hanya layak berbahagia jika punya Baby Benz dan memakai dasi.” Kutipan tersebut seakan menyinggung strata sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat modern saat ini.

Debu cinta bertebaran (Ajidarma, 1996: 51)

Maka, kami pun bercinta dengan kealpaan alam semesta. (Ajidarma, 1996: 57)

Maafkanlah daku, lupakanlah kita pernah saling cinta. (Ajidarma, 1996: 61)

Perlu diketahui pula bahwa Seno menyisipkan berbagai kutipan-ikutipan ikonis dari berbagai sastrawan lainnya, baik itu berasal dari sajak ataupun novel. Sehingga menutup dengan apresiasi Seno terhadap sastrawan lain, sebesar apapun apresiasi itu saya tujukan kembali kepada sosok Seno Gumira Ajidarma, yang dalam karyanya berhasil membukakan jalan bagi saya untuk memperluas pengetahuan akan kesusastraan.

Qhasdinna Syifa Alfiyanni

Biodata Singkat:

Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.



© Sepenuhnya. All rights reserved.