Sebuah Dokumentasi Sosiobudaya yang Merekam Tragedi Mei 1998 di dalam Cerpen Karya Seno Gumira

Seno Gumira adalah seorang jurnalis sekaligus sastrawan yang tidak hanya mahir dalam menulis, tetapi juga memiliki keberanian luar biasa dalam ...

Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa salah satu fungsi karya sastra adalah sebagai media dokumentasi sosiobudaya suatu zaman atau periode tertentu. Di Indonesia sendiri karya sastra merekam banyak isu-isu sosial yang dibagi sesuai dengan periode tertentu dengan berbagai konflik panas di dalamnya. Patriarki, feodalisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan juga pejuang kemerdekaan menjadi salah satu isu yang sering kali diangkat bagi para penulis untuk merekam keadaan negeri pada periodenya masing-masing. Salah satu contoh karya sastra yang merekam isu mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia adalah cerpen berjudul “Clara” dan “Jakarta, 14 Februari 2039” karya Seno Gumira Ajidarma.

Seno Gumira adalah seorang jurnalis sekaligus sastrawan yang tidak hanya mahir dalam menulis, tetapi juga memiliki keberanian luar biasa dalam mengkritik kondisi sosial dan politik di Indonesia. Melalui tulisannya, ia kerap menyoroti berbagai isu yang dianggap sensitif dan berpotensi menimbulkan kontroversi. Dua cerpen buatannya itu adalah hasil dari kritik serta pandangannya terhadap peristiwa mengerikan yang sempat terjadi di Indonesia, yaitu tragedi Mei 1998. Tragedi mengerikan yang membawa luka mendalam bagi siapapun yang memiliki darah keturunan Tionghoa dan bagi siapapun yang memiliki rasa kemanusiaan. Saat itu, masyarakat pribumi dengan beringasnya membakar toko-toko, memperkosa para perempuan keturunan Tionghoa, serta membunuh dan juga membakarnya. Dokumentasi sejarah kelam tersebut dikenang oleh Seno Gumira ke dalam tulisannya yang sangat menarik untuk dibaca. Cerpen “Clara” berfokus pada pandangan korban, sedangkan cerpen “Jakarta, 14 Februari 2039” lebih memuat kepada trauma yang berbekas bagi seluruh yang terlibat dalam tragedi mengerikan tersebut.

Tragedi Mei 1998
Sumber: Kompas.com

Dewasa ini, media sosial dipenuhi oleh pemberitaan ketidakadilan yang terjadi di kalangan masyarakat tertentu di Indonesia. Sebagian dari pemberitaan tersebut pada akhirnya membawa diskusi panas di kalangan masyarakat dengan pandangan mereka akan pemberitaan yang dimaksud. Salah satu diskusi tersebut pada akhirnya menggiring kembali ke pada tragedi mengerikan di tahun 1998 yang sempat kita bahas sebelumnya. Ini juga yang kemudian malah membawa perpecahan serta saling menjatuhkan antar etnis dan juga agama di kalangan masyarakat.

Tidak hanya itu, masyarakat juga pada akhirnya hanya saling menyalahkan satu sama lain akan tragedi tersebut. Rasa takut masyarakat keturunan Tionghoa tersebut tidak jarang juga malah dimanfaatkan oleh beberapa oknum untuk memecah belah persatuan. Bayang-bayang mengerikan akan kejadian lampau tersebut ditambah dengan pandangan serta opini-opini masyarakat yang dinilai terlalu ofensif hanya akan menambah rasa kebencian pada etnis atau agama satu sama lain. Parahnya, hal tersebut memang benar terjadi adanya sehingga makin runyam saja konflik yang muncul dari diskusi sederhana di media sosial tersebut.

Lantas siapa yang patut untuk bertanggung jawab akan masalah kelam yang terjadi di tahun tersebut? Karena alasan rasa benci serta trauma yang ditanggung oleh mereka yang mengalami adalah suatu hal yang harus diperbaiki dengan tanggung jawab masyarakat yang terlibat. Jika bola api tersebut dibiarkan, dihujani kembali oleh opini ofensif, dan juga dimanfaatkan untuk memecah belah bangsa dengan sengaja, maka tinggal menunggu waktu saja masyarakat terpecah belah. Atau mungkin barangkali rasa perpecahan inilah yang pada akhirnya menjadi sebuah karma bagi Negeri Pertiwi untuk menebus dosa para penduduknya.

Shafaq Ghassani

Biodata Penulis:

Shafaq Ghassani lahir pada tanggal 18 Januari 2003 di Bandung. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.