Rasisme: Sang Eksekutor Manusia dalam Cerpen "Pencakar Langit" Karya N.H Dini

Buku Pencakar Langit merupakan cerita yang berasal dari kenyataan yang dialami oleh penulis. Banyak nilai sosial dan budaya yang bisa dipetik, ...

Pertama kali terbit tahun 1982 dengan judul "Tuileries", lalu pada tahun 2003 berganti judul menjadi "Pencakar Langit". Buku ini terdiri dari 12 judul cerpen yang mengesankan dan memiliki makna tersendiri di setiap ceritanya. Setelah membaca buku ini, ada beberapa cerpen yang saya sukai di antaranya “Pencakar Langit”, “Warga Kota”, “Tuileries”, dan “Burung Putih”, memberikan kesan yang sangat mendalam bagi saya.

Buku ini merupakan cerita yang berasal dari kenyataan yang dialami oleh penulis. Banyak nilai sosial dan budaya yang bisa dipetik, misalnya kasih sayang seorang kakak yang merelakan kehidupan remajanya untuk mengurus kedua adiknya sampai akhir hayat dalam cerpen “Burung Putih” yang pernah mendapatkan penghargaan majalah Femina, kesetiaan yang ditunjukkan oleh seekor anjing hingga dikenang masyarakat dalam cerpen “Warga Kota”, kisah Jamila yang menikmati hidupnya walaupun mengalami jatuh bangun dalam cerpen “Tuileries”, dan cerpen lain yang memberikan nilai mendalam bagi pembaca.

Saya akan membahas satu cerpen yang menurut saya memiliki gagasan dan pembelajaran yang penting bagi pembaca, yaitu “Pencakar Langit” cerpen pertama dalam buku dan dijadikan sebagai judul buku. Penulis menggambarkan kesusahan seorang laki-laki bernama Jack yang lelah dengan statusnya sebagai pengangguran, hingga Jack memutuskan untuk bunuh diri karena tidak sanggup pulang dengan tangan hampa setiap harinya. Namun, yang menarik Jack memilih bunuh diri di tempat yang berada di Pencakar Langit kota New York, yaitu di atap sebuah gedung bernama World Trade Centre. Mungkin dengan bunuh diri di atap gedung itu Jack bisa cepat sampai menuju surga.

Cerpen Pencakar Langit Karya N.H Dini

Berita bunuh diri Jack sudah ada di mana-mana bahkan di televisi, banyak orang menonton di bawah gedung. Namun bukannya khawatir, masyarakat cenderung memilih mengabadikan kejadian tersebut, mengatakan bahwa Jack sedang mencari perhatian, dan sengaja memilih bunuh diri di atap gedung We- Te- Ce agar membuka mata para petinggi dan ada sekelompok orang yang sering disebut provokator, memilih untuk menjadikan aksi bunuh diri Jack sebagai bahan pertaruhan dan mengajak orang-orang untuk bertaruh apakah Jack akhirnya bunuh diri atau tidak.

Saat manusia-manusia yang menjadi penonton sedang sibuk bertaruh, datanglah keponakan Jack yang bernama Ben dan berhasil menghentikan aksi bunuh diri pamannya. Setelah kejadian itu banyak orang mengutuk Jack dan menyalahkannya.

Cerpen ini adalah bukti ketidakpedulian masyarakat kepada sesama yang kurang beruntung. Selagi orang lain kesulitan dan berjuang untuk hidup, sekelompok orang lebih memilih memanfaatkannya, menghina, serta mencaci maki dengan sebutan yang tidak senonoh.

“Dasar anjing Portoriko! Pengecut kamu ya! Tidak bekerja, tidak berani mati! Apa yang kamu mau berada di sini!”

“Betul, pulang saja sana ke negerimu, bangsat!”

Sebutan Puerto Rico adalah sebutan untuk sebuah negara yang masyarakatnya yang berpindah lalu tinggal di Amerika Serikat. Tapi, sebagian besar dari kaum ini memiliki kekurangan finansial dan dianggap sebagai kelas bawah. Oleh karena itu, Jack dalam cerita disebut anjing Portoriko karena dianggap orang "miskin".

Buku ini juga menjelaskan perilaku para orang berkulit putih yang membatasi dan masih menganggap rendah para orang berkulit hitam. Orang berkulit hitam tinggal berhimpitan dengan tikus-tikus raksasa, bersama timbunan sampah, yang kadang-kadang tidak ada air di sana. Sedangkan orang berkulit putih yang disebut ‘orang beradab’ tinggal nyaman dan dihargai.

Yang membuat saya kaget adalah ada salah satu bagian dalam buku, yaitu pernah terjadi kebakaran di sebuah bangunan, namun para petugas hanya memantau, tidak memadamkan api tersebut. Petugas hanya diam untuk memastikan bahwa api tersebut tidak menyentuh pemukiman yang mereka anggap sebagai daerah ‘beradab’. Kejadian ini menunjukkan pada pembaca bahwa keadilan dan kekuasaan hanya dimiliki oleh mayoritas penduduk dan memiliki kekayaan saja. Tak heran sampai sekarang manusia banyak yang tidak memiliki rasa empati dan masih banyak masalah tentang ras, suku, serta agama yang terjadi.

Daftar Pustaka:

  • Jurnal Penelitian Bab I. (Tanpa Tahun). Diakses pada 16 Mei 2023. http://scholar.unand.ac.id/105751/2/BAB%20I%20up.pdf

Mila Kurnia Putri
Biodata Penulis:
Mila Kurnia Putri (kerap disapa Mila) lahir pada tanggal 10 Juni 2003 di Sukabumi. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, program studi Sastra Indonesia, di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.