Janji Politik:
Mimpi yang Tak Terwujud
Di kota sarat kotoran
Pesing di hidung
Ribut di telinga
Debu membaju
Daki keringat beku
Di kota berhias poster janji
Seribu senyum aksi
Tangan tengadah
Tanda memohon iba
Menggincu pemilu
Dalam pilihan ayu atau palsu
Harap atau pilu
Mata bosan melihat semuanya itu
Sering kali tertipu
Janji yang terungkap
Namun tak terlaksanakan
Yang ada hanya tangisan pilu
Orang tertipu
Kenyataan saat ini
Bisakah dinamakan pesta kebohongan?
2024
Analisis Puisi:
Puisi "Janji Politik, Mimpi yang Tak Terwujud" karya Okto Son menggambarkan kekecewaan dan frustrasi masyarakat terhadap janji-janji politik yang tidak pernah terwujud. Melalui penggunaan bahasa yang lugas dan simbolis, penyair menyampaikan kritik tajam terhadap situasi politik yang penuh dengan kepalsuan dan ketidakjujuran.
Tema
Tema utama dalam puisi ini adalah kebohongan politik dan kekecewaan masyarakat. Puisi ini menggambarkan kondisi kota yang kotor dan penuh dengan janji-janji politik yang tidak pernah terwujud. Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan realitas pahit dari janji-janji manis yang sering kali dilontarkan oleh para politisi selama masa pemilu, namun jarang sekali direalisasikan.
Gaya Bahasa
Okto Son menggunakan berbagai teknik gaya bahasa untuk menyampaikan pesan kritikannya. Di antaranya adalah:
- Simbolisme: Kota yang "sarat kotoran" dan "pesing di hidung" melambangkan kerusakan moral dan lingkungan yang diakibatkan oleh politik yang korup. Poster janji yang menghiasi kota menunjukkan bagaimana janji-janji politik hanya menjadi hiasan yang tidak bermakna.
- Personifikasi: Penyair mempersonifikasikan kota sebagai entitas yang merasakan dampak dari politik yang buruk. "Tangan tengadah" dan "tanda memohon iba" menggambarkan masyarakat yang berharap namun sering kali hanya menjadi korban janji-janji palsu.
- Kontras: Penggunaan kontras antara "ayu atau palsu" dan "harap atau pilu" menunjukkan dualitas pilihan yang dihadapi masyarakat. Ini memperkuat pesan tentang ketidakpastian dan ketidakpercayaan terhadap politik.
- Repetisi: Kata-kata seperti "janji" dan "pilu" diulang untuk menekankan kekecewaan yang dirasakan masyarakat. Repetisi ini memperkuat tema utama puisi.
Makna Mendalam
Puisi ini menggambarkan realitas pahit dari politik yang penuh dengan janji-janji manis namun kosong. Kota yang kotor dan penuh dengan poster janji melambangkan bagaimana janji-janji politik hanya menjadi hiasan yang tidak bermakna. Masyarakat yang "sering kali tertipu" dan "tangisan pilu" menunjukkan dampak dari janji-janji yang tidak pernah terealisasi.
Melalui pertanyaan retoris "Bisakah dinamakan pesta kebohongan?", penyair mengajak pembaca untuk merenungkan apakah proses pemilu yang penuh dengan janji palsu ini benar-benar merupakan pesta demokrasi atau justru sebuah kebohongan besar. Ini menunjukkan kritik tajam terhadap sistem politik yang sering kali hanya memanfaatkan rakyat tanpa memberikan hasil yang nyata.
Puisi "Janji Politik, Mimpi yang Tak Terwujud" karya Okto Son adalah karya yang kuat dan penuh kritik terhadap janji-janji politik yang tidak pernah terwujud. Melalui penggunaan bahasa simbolis dan kontras, penyair menyampaikan pesan tentang kekecewaan dan frustrasi masyarakat terhadap situasi politik yang penuh dengan kepalsuan. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan realitas pahit dari politik dan mempertanyakan kejujuran dan integritas dari para pemimpin yang mereka pilih. Ini adalah karya yang relevan dan menggugah, terutama dalam konteks situasi politik saat ini.