Pro dan Kontra Thrifting: Mengupas Sisi Positif dan Negatif Belanja Barang Bekas

Dari segi lingkungan, thrifting berkontribusi signifikan dalam mengurangi limbah tekstil. Industri fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang ...

Thrifting, atau belanja barang bekas, telah menjadi tren yang semakin populer dalam beberapa tahun terakhir. Dari pakaian vintage hingga perabotan unik, thrifting menawarkan pengalaman belanja yang berbeda dari toko-toko ritel konvensional.

Banyak orang menikmati sensasi menemukan barang-barang langka dengan harga terjangkau, sementara yang lain tertarik pada aspek keberlanjutan dan pengurangan limbah yang dihasilkan oleh industri fashion cepat. Namun, di balik popularitasnya, thrifting juga menghadirkan berbagai kontroversi dan perdebatan.

Pada kesempatan kali ini kami akan coba mengupas sisi positif dan negatif dari perilaku thrifting, mengajak pembaca untuk memahami berbagai perspektif sebelum memutuskan apakah thrifting adalah pilihan yang tepat untuk mereka.

Fenomena thrifting di Indonesia saat ini meledak di mana-mana, meskipun jual beli barang bekas sudah ada sejak lama. Thrifting mulai terkenal lagi ketika Indonesia mengalami pandemi Covid-19.

Pro dan Kontra Thrifting

Pada masa pandemi, semua orang dituntut untuk menghemat pengeluaran dan mencari cara untuk memperoleh penghasilan dengan biaya yang minim. Sejak saat itu, thrifting kembali muncul dan menjadi populer, terutama di kalangan anak muda, terutama mahasiswa.

Dari akhir tahun 2021 hingga sekarang, usaha thrifting terus berkembang dan meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), angka impor pakaian bekas selama tahun 2018-2020 sempat melonjak hingga ratusan ton.

Pada tahun 2019, volumenya mencapai 392 ton. Volume impor pakaian bekas ke Indonesia pada tahun 2022 meningkat 227,75% dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 8 ton. Angka tersebut setara dengan Rp4,21 miliar.

Negara yang mengimpor pakaian bekas tertinggi ke Indonesia adalah Jepang, dengan total mencapai 12 ton. Namun, pada tanggal 20 Maret 2023, Presiden Joko Widodo melarang kegiatan impor pakaian bekas (thrifting) karena dianggap mengganggu industri tekstil dalam negeri.

Larangan thrifting di Indonesia ini juga didasarkan pada peraturan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2011 mengenai Pengelolaan Barang Bekas Elektronik dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut peraturan tersebut, impor barang bekas, termasuk elektronik bekas, harus memenuhi standar tertentu dan harus diimpor oleh perusahaan yang memiliki izin khusus dari pemerintah. 

Thrifting, meskipun populer dan sering dianggap sebagai alternatif belanja yang ramah lingkungan, juga memiliki sejumlah dampak negatif yang perlu diperhatikan. Salah satu dampak negatif utamanya adalah terhadap industri tekstil dalam negeri.

Kegiatan impor pakaian bekas dapat mengurangi permintaan terhadap produk tekstil lokal, yang pada akhirnya dapat mengancam kelangsungan hidup para produsen dan pekerja di sektor ini.

Industri tekstil dalam negeri, yang sudah menghadapi berbagai tantangan seperti persaingan harga dan kualitas dari produk impor, harus berjuang lebih keras untuk tetap bertahan di tengah maraknya thrifting. Dengan semakin banyaknya konsumen yang beralih ke barang-barang bekas impor, produsen lokal kehilangan peluang pasar, yang bisa berujung pada penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja, dan bahkan penutupan pabrik. Dampak negatif lainnya adalah masalah lingkungan dan kesehatan.

Meskipun thrifting sering dikaitkan dengan pengurangan limbah tekstil, impor pakaian bekas juga membawa risiko lingkungan yang signifikan. Pakaian bekas yang diimpor sering kali tidak melalui proses penyaringan yang ketat, sehingga dapat membawa bahan kimia berbahaya atau bakteri yang dapat mencemari lingkungan setempat.

Selain itu, limbah tekstil yang dihasilkan dari pakaian bekas yang tidak terjual atau tidak dapat digunakan lagi dapat berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), menambah beban sampah yang harus dikelola.

Di sisi lain, pakaian bekas yang tidak memenuhi standar kebersihan dapat berdampak negatif pada kesehatan konsumen, seperti menyebabkan alergi atau penyakit kulit. Oleh karena itu, regulasi ketat dan pengawasan yang baik diperlukan untuk memastikan bahwa thrifting tidak membawa lebih banyak masalah daripada manfaat.

Adapun dampak positif yang signifikan dari thrifting, baik dari segi ekonomi maupun lingkungan. Dari segi ekonomi, thrifting membantu masyarakat menghemat uang dengan menawarkan barang-barang berkualitas dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan barang baru. Hal ini sangat bermanfaat, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan mahasiswa yang seringkali memiliki anggaran terbatas.

Selain itu, thrifting membuka peluang bisnis baru bagi banyak orang. Dengan semakin populernya thrifting, banyak pengusaha kecil yang memulai usaha toko barang bekas, baik secara offline maupun online, sehingga menciptakan lapangan kerja baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

Bisnis thrifting juga memungkinkan para pengusaha untuk memperoleh margin keuntungan yang cukup besar karena biaya perolehan barang yang relatif rendah.

Dari segi lingkungan, thrifting berkontribusi signifikan dalam mengurangi limbah tekstil. Industri fashion dikenal sebagai salah satu penyumbang limbah terbesar di dunia, dan dengan membeli barang bekas, konsumen membantu memperpanjang siklus hidup pakaian dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan akhir.

Selain itu, thrifting mendukung prinsip ekonomi sirkular yang mendorong penggunaan kembali barang-barang yang masih layak pakai daripada membuangnya dan membeli yang baru. Hal ini juga mengurangi permintaan akan produksi pakaian baru, yang pada gilirannya mengurangi konsumsi sumber daya alam seperti air dan energi, serta mengurangi emisi karbon yang terkait dengan produksi tekstil. Dengan demikian, thrifting tidak hanya membantu individu menghemat uang tetapi juga berkontribusi positif terhadap pelestarian lingkungan.

Secara keseluruhan, thrifting memiliki berbagai sisi positif dan negatif yang perlu dipertimbangkan. Di satu sisi, thrifting menawarkan solusi ekonomis dan ramah lingkungan dengan mengurangi limbah tekstil dan membuka peluang usaha baru. Ini bermanfaat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan mendukung prinsip ekonomi sirkular. Namun, di sisi lain, thrifting juga dapat mengancam industri tekstil dalam negeri dan membawa risiko kesehatan serta lingkungan jika tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu, penting untuk menemukan keseimbangan antara memanfaatkan manfaat thrifting dan meminimalkan dampak negatifnya melalui regulasi yang tepat dan kesadaran konsumen.

Biodata Penulis:

Davina Alifia Tsurayya lahir pada tanggal 7 Juli 2004.

© Sepenuhnya. All rights reserved.