Lika-liku kehidupan seorang tenaga pendidik disuguhkan melalui sebuah kisah sederhana dalam novelet “Pertemuan Dua Hati”. Dengan menautkan dua buah hati, sang pengarang, Nh. Dini berhasil mengupas berbagai macam isu yang berkembang di dalam kehidupan sosial masyarakat: kesalahan pola asuh orang tua terhadap anak, budaya patriarki yang memicu isu kesetaraan gender, perubahan seiring regenerasi, dan yang utama, novelet ini menceritakan asam dan garam guru sebagai seorang tenaga pendidik. Novelet ini didedikasikan untuk memuliakan pendidik sejagat raya disertai dengan sisipan petuah bagi setiap persona yang nantinya akan menjadi orang tua.
Novelet ini dimulakan dengan perjalanan hidup Bu Suci, seorang pemijak kota pinggiran yang akhirnya berhasil meningkatkan taraf hidupnya di perkotaan besar; dihidangkan dalam kebahasaan yang sederhana membuat pembaca mudah memahami perjuangan Bu Suci melalui sudut pandang dirinya sendiri.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, Nh. Dini merupakan seorang pengurai cerita yang apik. Ia dapat menuliskan satu bab penuh berisikan paparan suatu peristiwa tanpa sebuah dialog. Setiap peristiwa ia deskripsikan secara mendetail dalam paragraf yang tidak pernah singkat. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri yang dimiliki oleh Nh. Dini sebagai seorang pelakon cerita karangan.
Tetapi ukuran yang dipergunakan orang untuk menentukan tempat dalam masyarakat sering kali keadaan keuangan. Orang lebih mudah menentukannya dari segi kemewahan atau kemiskinan. (Dini, 2003: 15)
Dalam kesempatan ini sebelum memasuki konflik utama, Nh. Dini sedikit menyinggung mengenai bagaimana pola konstruksi perhubungan sosial pada masa itu berlangsung. Bagaimana stereotipe yang berkembang di dalam masyarakat secara jelas disuguhkan dalam uraian-uraian seperti contoh tersebut.
Kemunculan tokoh anak kecil bernama Waskito memulai kisah yang sesungguhnya menjadi sorotan utama oleh sang pengarang. Waskito menunjukkan sikap kesukaran pada wujudnya sebagai bocah kelas empat sekolah dasar, dengan melontarkan kata-kata tidak etis, melakukan kekerasan terhadap kawan dan perusakan terhadap fasilitas, dan masih banyak lagi.
Menurut cerita neneknya kepada guru-guru, ketika belum berumur satu setengah tahun, adiknya lahir. Langsung saja ibunya menumpahkan perhatian serta asuhan kepada anak yang kedua. Bapaknya jarang dirumah, sering kali bepergian keluar kota bahkan keluar negeri. Kalau pulang selalu membawa oleh-oleh. Tetapi, rupa-rupanya benda mewah tersebut kurang diperlukannya. Dia lebih menginginkan satu atau dua kalimat manis dari bapaknya. Usapan tangan di kepalanya, atau pandang penuh perhatian keibuan. (Dini, 2003: 31)
Kesukaran sosok Waskito bukanlah tanpa alasan. Nh. Dini menguak isu yang sering kali luput dari kacamata masyarakat, yaitu kekeliruan dalam pola asuh orang tua terhadap seorang anak. Waskito tumbuh dalam asuhan yang tidak sempurna dari orang tuanya sendiri. Orang tua Waskito menganggap kebahagiaan seorang anak hanya berasal dari kebutuhan materiel, yang mana hal itu adalah jalan yang salah.
Sang pengarang sekaligus mengupas sisi psikologis dari seorang anak di dalam novelet ini: bagaimana seorang anak yang sedang bertumbuh kembang memandang dunia melalui perspektifnya yang masih terbatas. Waskito terguncang di usianya yang belia, sehingga akhirnya ia membentuk defensi terhadap hal tersebut dengan tumbuh menjadi anak yang pembangkang dan pemberontak. Dengan ini, pengarang berusaha membuka pandangan dari kedua sisi terhadap hubungan orang tua dan anak.
Konon Waskito dihajar habis-habisan. Mukanya dipukul, badannya dicambuk dengan ikat pinggang. “Barangkali inilah kesalahannya. Ada anak-anak yang memerlukan perhatian, yang menganggap hukuman jasmaniah sebagai ganti perhatian yang diinginkan.” (Dini, 2003: 37)
“Saya akui bahwa bapaknya Waskito menjadi laki-laki seperti sekarang karena didikan serta pengaruh suami saya.” Semua keputusan mengenai anak, kata Nenek lagi, selalu melalui suaminya! Seolah-olah anak itu hendak dibentuknya menuruti satu model tertentu. (Dini, 2003: 38)
Melalui kutipan tersebut, pembaca kembali disadarkan mengenai pentingnya menanamkan pola pikir yang tepat kepada seorang anak. Hal yang dilakukan oleh Bapak Waskito pada kenyataannya adalah sebuah ihwal turun temurun dari ayahnya sendiri.
Nh. Dini seakan menyerukan ajakan kepada pembacanya untuk mengentikan rantai kekeliruan tersebut melalui paham-paham yang ia sisipkan di dalam novelet “Pertemuan Dua Hati”. Dengan diberikan perbandingan mengenai hal yang benar dan salah, sudah semestinya pembaca novelet ini membuka pandangannya lebih luas lagi terhadap isu ini.
Di sisi lain, pengarang juga menyelingi dan memadupadankan isu ini dengan isu kesetaraan gender akibat budaya patriarki yang berkembang.
“Maklumlah, kita wanita, selalu menjadi tumpuan kesalahan. Kalau suami-isteri tidak punya anak, katanya si isteri yang gabuk, steril. Kalau terus menerus, katanya kandungannya yang lemah.” Nyata bahwa dia sendiri keluar dari lingkungan keluarga yang sangat membesarkan peranan laki-laki. Diletakkan jauh di atas derajat kaum perempuan. (Dini, 2003: 40)
Sedemikian lemahnya pun hukumanku yang berupa pukulan, anak-anak zaman sekarang sangat berlainan dengan di masa mudaku. (Dini, 2003: 61)
Dapat disadari bahwa isu kesetaraan gender tidak pernah lepas dari konstruksi sosial masyarakat seiring perubahan generasi. Sebagai ihwal yang belum memiliki perubahan besar hingga detik ini, isu ini sangat berbanding terbalik dengan perubahan yang terjadi terhadap cara setiap generasi menyikapi suatu hal. Hal ini menunjukkan bahwa benar adanya sebuah isu dapat hidup selama mungkin di dalam masyarakat, namun responsi setiap generasi pasti berbeda. Cara generasi modern yang hidup di masa kini untuk menyikapi isu kesetaraan gender tentunya berbeda dengan generasi lama seperti yang terdapat di dalam novelet ini.
Kembali kepada Waskito, sang pengarang menjelaskan alasan mengapa dirinya begitu sukar diatur di sekolah. Kesukarannya itu berakar dari rasa iri seorang anak kecil yang melihat temannya berbahagia dengan keluarganya sendiri. Tokoh Bu Suci berhasil menunjukkan kedewasaan dalam pola pikirnya sebagai seorang pendidik dalam menyikapi hal tersebut. Bu Suci adalah seorang tokoh yang tahu cara untuk menghadapi murid yang sukar: melakukan pendekatan dari hati ke hati, meluluhkan melalui perasaan.
Di samping itu, profesionalitas seorang guru pun ditunjukkannya dengan tidak mencampurkan urusan pekerjaan dengan urusan rumah tangganya, serta dengan tidak melakukan favoritisme terhadap salah satu murid saja, melainkan membagi fokusnya secara adil untuk masing-masing terdidik.
Peristiwa itu menggoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito. Terus terang banyak rekan guru yang mengusulkan agar murid itu dikeluarkan saja. (Dini, 2003: 69)
Karena nila setitik, rusak susuk sebelanga. Peribahasa ini pantas untuk menggambarkan peristiwa yang terjadi pada Waskito. Bagai diberi hukuman, satu kesalahan yang dilakukan Waskito dapat mengubah pandangan seluruh orang terhadapnya tanpa mempertimbangkan kelakuan baik yang sudah ia pupuk selama beberapa bulan.
Pengarang mencoba menunjukkan perhubungan sosial dalam masyarakat yang seperti itu melalui kisah rekaannya, bahwa hal itu benar terjadi. Manusia cenderung melihat setitik kesalahan untuk menggeneralisasi tabiat seseorang, tanpa melihat seberapa banyak kebaikan dan keunggulan yang telah dilakukan.
Kujelaskan bahwa mengakui kekurangannya sendiri sama seperti mengakui kesalahan. Itu sifat satria, sportif. Jangan dikira kesegananan dan hormat orang mengurang karena pengakuan kita tersebut. (Dini, 2003: 84)
“Tidak ada orang yang baik atau pandai atau cekatan dalam segala-galanya. Kamu terampil dalam hal pertukangan, otakmu cerdas meskipun pelajaranmu biasa-biasa saja. Bukankah itu sudah sangat mencukupi?” (Dini, 2003: 84)
Melalui hal ini, Nh. Dini kembali mengambil kesempatan untuk mengedukasi pembacanya; bahwasanya setiap anak memiliki keterampilan dalam bidangnya masing-masing. Manusia tiada sempurna. Oleh karena itu, memiliki sebuah kekurangan adalah hal yang sangat diwajarkan; demikian Tuhan menciptakan hamba-Nya. Dialog Bu Suci kepada Waskito sudah seharusnya meluaskan pandangan pembaca terhadap hal tersebut.
Pengarang mungkin juga menaruhkan harapannya kepada pembaca agar kelak di masa mendatang menjadi orang tua yang lebih baik melalui ilmu-ilmu yang diberikan di dalam novelet ini. Penghujung kata, novelet ini disertai dengan rasa simpati kepada seluruh kalangan pendidik baik seorang guru yang mendidik murid di sekolah maupun orang tua yang mendidik anak di rumah. Semoga senantiasa dimuliakan entitasnya, disertakan pertolongan Tuhan dalam setiap tugasnya.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.