Pemikiran Pramoedya Ananta Toer dalam Novel Bukan Pasar Malam

Meskipun banyak karyanya yang dibredel karena dianggap kontroversial, Pramoedya tetap dianggap sebagai salah satu penulis terbesar Indonesia dan ...

Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1951, kemudian dinyatakan terlarang pada tahun 1965, dan pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Bara Budaya. Novel ini ditulis Pramoedya untuk mengkritik permasalahan-permasalahan yang ada pada masa Orde Baru ketika Indonesia sudah merdeka, dan juga menggambarkan suasana kehidupan zaman Belanda serta Jepang melalui bayang-bayang dalam pikiran tokoh Aku.

1. Revolusi

Dikisahkan bagaimana keperwiraan seorang dalam revolusi pada akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari. Secara tersirat tokoh Aku merupakan seorang mantan tentara muda revolusi. Setelah dua minggu keluar dari penjara ia menerima telegram dari pamannya untuk segera pulang kampung ke Blora karena ayahnya jatuh sakit.

Di sepanjang jalan menuju Blora tokoh Aku mengenang peristiwa dan keadaan yang terjadi pada masa penjajahan, tentang banyaknya prajurit perang yang tidak mendapatkan tempat tinggal terakhir, tentang Lemah Abang yang dahulu merupakan tempat penembakan Belanda serta kenangan lainnya yang memilukan.

Dalam novel ini Pramoedya juga menggambarkan akan tidak berakhirnya kesengsaraan yang dialami oleh masyarakat hanya karena Indonesia sudah merdeka terlebih lagi kepada golongan yang tidak punya uang. Hal itu juga masih dirasakan oleh masyarakat masa kini yaitu banyaknya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.

“Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bila saja masih dalam lingkungan batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh menonton barang yang engkau ingini itu.” (Toer, 1951:8-9)

2. Pengorbanan

Tokoh sang Ayah merupakan seorang nasionalis, ia mengorbankan segalanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bahkan mengesampingkan keluarga. Tokoh Ayah juga lebih banyak mengorbankan diri, tidak menempatkan dirinya sebagai prioritas utama yang menjadikan tokoh Aku dalam cerita kesal karena selalu menomorsatukan kepentingan dan kebahagiaan orang lain.

Tokoh Aku juga sempat mengira Ayahnya membantu koloni Belanda karena ia merupakan seorang guru. Ayah mengorbankan tawaran menjadi anggota perwakilan daerah karena menurutnya mereka hanyalah sekelompok orang pencari keuntungan dan sibuk mencari muka pada atasan seperti badut besar, ia lebih memilih menjadi guru.

Melalui tokoh Ayah bisa disimpulkan bahwa kita bisa saja membantu orang lain tapi tak juga lupa untuk memprioritaskan diri sendiri dan keluarga. Tindakan yang kita lakukan tak selamanya akan dipandang baik oleh semua orang seperti Ayah yang memilih menjadi guru.

Pekerjaan seorang guru sering kali dianggap remeh bagi sebagian orang karena memiliki penghasilan yang tidak besar katanya, padahal beban seorang guru sangatlah besar tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan dari susahnya menanamkan pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Pemerintahlah yang harus memperbaiki nasib guru, karena bangsa kita tidak boleh kehilangan sosok guru.

“Siapakah yang mau jadi guru selain kita-kita ini? Guru tetap jadi guru – untuk selama-lamanya. Sedang selama itu murid-murid telah jadi orang-orang besar.” (Toer, 1951:51-52)

“Tapi aku rela jadi nasionalis. Aku rela jadi korban semua ini.” (Toer, 1951:90)

3. Kehidupan Sosial

Banyaknya permasalahan sosial yang terjadi, seperti kondisi masyarakat pedesaan yang miskin dan gersang yang tidak mendapat perhatian pemerintah di berbagai aspek kehidupan yaitu dari aspek ekonomi, kesehatan, dan sosial serta fasilitas mendukung yang lain. Khususnya keluarga Aku juga sangat merasakan penderitaan akibat masa penjajahan diibaratkan dengan bangunan rumah yang sudah rusak tidak kokoh lagi, sedangkan para wakil rakyat hanya memperkaya diri mereka sendiri tanpa memedulikan masyarakat yang merupakan tanggung jawabnya.

“Dan di daerah kami yang kering, sumur adalah pusat perhatian manusia dalam hidupnya di samping beras dan garam. Karena itu – sekalipun pembuatan sumur itu atas ongkos sendiri – akhirnya dia menjadi hak umum.” (Toer, 1951:44)

4. Bukan Pasar Malam

Judul novel ini sangatlah unik namun memiliki makna yang mendalam. Kita di dunia ini tidak selamanya dan hanya singgah, sayangnya hidup tidak seperti pasar malam, manusia dapat datang dan pergi secara bersama-sama untuk sebatas bersenang-senang. Sama halnya seperti tokoh Ayah yang meninggal seorang diri meninggalkan kawan seperjuangannya dan meninggalkan kebaikan-kebaikan yang telah diperbuatnya untuk kemerdekaan.

“Dan di dunia ini, manusia bukan berdayun-dayun lahir di dunia dan berdayun-dayun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.” (Toer, 1951:107-108)

Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer

Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer bisa dipesan di Gramedia, dengan harga: Rp 45.000.

Dalam novel ini, terdapat hal yang menarik seperti tidak ada atau jarangnya penggunaan nama pada tokoh, penceritaan pikiran tokoh Aku kepada pembaca yang sangat baik, dan juga isu yang dituliskan. Terdapat juga kesamaan novel ini dengan kehidupan Pramoedya yang aslinya, karena tulisan juga merupakan tempat untuk menyuarakan pendapat akan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.

Meskipun banyak karyanya yang dibredel karena dianggap kontroversial, Pramoedya tetap dianggap sebagai salah satu penulis terbesar Indonesia dan karyanya menjadi inspirasi bagi banyak orang hingga saat ini.

Talitha Aurelia Mulyadi

Biodata Penulis:

Talitha Aurelia Mulyadi lahir pada tanggal 2 Maret 2004. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswi, FIB, di Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.