Lebaran Pertama Umat Non-muslim di Perantauan

Meskipun suasana Lebaran dapat dirasakan oleh semua orang, namun suasana berlebaran di perantauan akan sangat berbeda dengan suasana berlebaran di ...

Lebaran atau juga dikenal sebagai Idulfitri, adalah hari raya keagamaan penting yang dirayakan oleh umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia. Perayaan ini menandai berakhirnya bulan Ramadan, bulan puasa, dan merupakan waktu untuk saling memaafkan, bersilaturahmi, dan merayakan bersama seluruh keluarga besar tercinta. Perayaan ini dimulai dengan penampakan bulan baru yang menandakan berakhirnya bulan Ramadan.

Namun, sebelum memasuki hari Lebaran, umat Muslim juga melakukan kegiatan malam sebelum lebaran yaitu malam takbiran. Suasana takbiran merupakan salah satu tradisi yang dilakukan menjelang perayaan lebaran Hari Raya Idulfitri, hal ini dianggap sebagai momentum yang menandai akhir Ramadan dan awal dari Hari Raya Idulfitri.

Pada pagi hari Lebaran, umat Islam melaksanakan ibadah khusus yang dikenal sebagai Salat Idulfitri secara berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan ceramah yang biasanya membahas tema-tema seperti rasa syukur, kasih sayang dan semangat kebersamaan.

Berbicara tentang bulan Idulfitri, tentunya tak terlepas dari kata liburan. Ya, ini adalah hari yang paling ditunggu-tunggu oleh semua orang untuk mudik atau pulang kampung. Namun, di tengah euphoria mudik dan kehangatan keluarga yang berkumpul menjelang Idulfitri, beberapa umat non-Muslim memilih untuk tetap tinggal di perantauan karena jarak kampung halaman yang jauh, salah satunya saya.

Lebaran Pertama Umat Non-muslim di Perantauan

Meskipun suasana Lebaran dapat dirasakan oleh semua orang, namun suasana berlebaran di perantauan akan sangat berbeda dengan suasana berlebaran di kampung halaman bersama keluarga besar. Lalu selama berlebaran di perantauan apa saja tantangan yang dihadapi oleh umat non-Muslim?

Meskipun tradisi Lebaran sering kali dikaitkan dengan kebersamaan keluarga dan keramaian, namun momen ini dapat menjadi tantangan tersendiri bagi umat non-Muslim. Salah satu tantangan utama yang dirasakan yaitu kesulitan dalam mencari makan, hal tersebut karena sekumpulan pemilik usaha warung berbondong-bondong mudik ke kampung halamannya sehingga menutup dagangannya.

Tantangan lain yang dialami adalah beberapa umat non-Muslim merasa kesepian karena jauh dari keluarga dan tidak bisa pulang ke rumah di saat semua orang berkumpul bersama keluarga mereka dan merayakan Hari Raya Idulfitri.

Selain itu, tantangan yang dihadapi adalah kehebohan macet di mana-mana karena orang-orang mudik sehingga menyebabkan berbagai tempat dan jalanan sangat ramai.

Untuk mengatasi setiap tantangan tersebut beberapa umat non-Muslim memutuskan mengisi hari libur lebaran untuk jalan-jalan ke tempat wisata untuk menghindari keramaian kota dan menghirup udara segar di alam bebas. Namun, terdapat juga beberapa umat non-Muslim yang lebih memilih untuk berlibur di tempat seperti Malioboro karena di sana suasana lebaran sangat meriah meskipun sangat macet.

Selain itu, umat non-Muslim mengikuti kegiatan rohani seperti pergi ibadah dan berkumpul bersama komunitas non-Muslim untuk menemukan kehangatan dalam solidaritas antarperantau. Cara lain bagi umat non-Muslim untuk mengatasi tantangan tersebut yaitu mengunjungi rumah tetangga dan teman untuk menyampaikan ucapan “Selamat Hari Raya Idulfitri” serta meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukan selama setahun terakhir. Tindakan saling memaafkan ini merupakan inti dari semangat Lebaran dan memperkuat ikatan sosial. Tindakan tersebut dapat dilakukan secara langsung maupun melalui sosial media untuk seluruh umat Muslim.

Sebagai umat non-Muslim, pengalaman Lebaran saya di perantauan merupakan pengalaman yang baru di hidup saya karena saya belum pernah merayakan Hari Raya Lebaran sebelumnya. Namun, setelah merantau di Kota Solo, saya mulai tahu apa itu Lebaran? Bagaimana umat Muslim merayakan hari tersebut? Saya mulai merasakan suasana Lebaran ketika saya berada di perantauan.

Pertama kali saya merayakan Lebaran yaitu ketika saya diundang oleh Guru BIPA saya untuk merayakan Lebaran bersama keluarga Beliau di Boyolali. Di sana saya merasakan kehangatan Lebaran dengan makan bersama dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga beliau. Meskipun berbeda kepercayaan, tetapi tetap semangat untuk merayakan kebersamaan dan menghormati acara Lebaran di perantauan.

Berbagai hidangan tradisional khas Indonesia seperti ketupat, rendang, opor ayam dan berbagai kue disiapkan dan dibagikan kepada orang-orang terkasih. Anak-anak menerima pakaian baru dan uang, yang dikenal sebagai Tunjangan Hari Raya atau disingkat THR. Mulai dari anak kecil hingga orang tua sangat antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Lebaran tidak hanya merupakan waktu untuk perayaan, tetapi juga merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk bersyukur atas kekuatan yang diberikan kepada mereka selama bulan Ramadan. Perayaan ini mewujudkan nilai-nilai amal, komunitas, dan refleksi diri, menjadikannya salah satu momen yang paling dinanti-nantikan oleh umat Muslim di seluruh dunia.

Meskipun berbeda keyakinan, momen tersebut mengajarkan umat non-Muslim betapa pentingnya untuk menyampaikan pesan kedamaian, salam toleransi, dan membagi kebahagiaan bersama orang-orang di sekitar yang penuh dengan keberagaman. Selamat Idulfitri bagi yang merayakan, semoga kebahagiaan dan kedamaian senantiasa menyertai kita semua!

Biodata Penulis:
Silvania das Dores Tosa Pereira lahir pada tanggal 19 Februari 2004. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, S1 Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.
© Sepenuhnya. All rights reserved.