Pramoedya merekam gejolak revolusi dalam romannya melalui perspektif wanita dalam novel “Larasati”. Lumrahnya kita dapat melihat proses revolusi dari sudut pandang politik, dimana biasanya terdapat banyak tokoh yang dilibatkan, seperti pemimpin negara, jenderal-jenderal, kritikus, dan lain sebagainya. Dalam novel ini, Pramoedya menyajikan pandangan baru dari wanita yang berdiri sebagai seorang aktris panggung, Larasati sang bintang jelita. Tokoh Larasati membuka gambaran mengenai betapa rusaknya keadaan Indonesia pascaproklamasi. Apakah dengan menggelorakan proklamasi, bangsa ini selanjutnya merdeka? Tentu tidak.
Kapan dunia dulu datang kembali? Dunia yang kaya akan warna? Dunia tanpa peluru? Dunia yang hanya berisi sukses, tepuk tangan, rayuan, dan perjanjian-perjanjian malam yang menyenangkan? (Toer, 2003: 10)
Sebuah teriakan dan ledakan kerabin terdengar lagi. Jangan-jangan besok atau lusa senjata itu diledakkan untukku, dan teriakan itu dijeritkan untuk kematianku. (Toer, 2003: 15)
Melalui Larasati, bangsa kita diekspos kehancurannya: habis Jepang terbitlah Sekutu. Proklamasi tidak disertai dengan berakhirnya penjajahan. Perjalanan dari Yogyakarta hingga Jakarta saja, tokoh Larasati masih mendapati kejadian mencekam, pertumpahan darah masih terjadi dimana-mana.
Pramoedya sebagai sang penulis hanya ingin mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka. Larasati mewakilkan apa yang Pramoedya kemukakan perihal keberanian. Larasati dibentuk dengan begitu berani untuk melawan penguasa-penguasa yang busuk. Kalau mati, dengan berani; kalau hidup dengan berani. Kalau keberanian tidak ada—itulah sebabnya setiap bangsa asing bisa jajah kita.
Terdengar sekali lagi Larasati meradang karang, “Ayoh, sentuh kalau berani. Aku garuk mukamu yang jelek sampai dadal!” Setelah menggabungkan diri dengan yang lain-lain ia menggerutu. “Sangkanya kalau sudah punya pestol, lantas boleh sembarangi setiap orang. Kurangajar!” (Toer, 2003: 34)
Keberanian Larasati menggambarkan semangat perjuangan yang dimiliki oleh pejuang Revolusi pada saat itu. Larasati berguru kepada Revolusi. Pramoedya dengan segenap hatinya mendukung Revolusi lewat novel ini dengan terus memberikan kesan yang kuat lewat tokoh Larasati.
Tidak hanya itu, Pramoedya juga memberikan kritikan halus kepada pemerintah bangsa yang tak kalah busuk. Sang penulis mengekspos keburukan pemerintah Indonesia yang hanya ingin bermain aman dan mengambil untung di tengah kesengsaraan yang rakyatnya miliki. Pemerintah yang tidak adil dan tidak tahu malu bekerja sama dengan Sekutu demi kepentingan pribadi.
“Memang aku hanya seorang pelacur, tuan kolonel. Tapi aku masih berhak mempunyai kehormatan. Karena, aku tidak pernah menjual warisan nenekmoyang pada orang asing.” (Toer, 2003: 36)
Proklamasi tidak dapat menghentikan peluncuran bola meriam. Pramoedya kemudian kembali menunjukkan kengerian yang dialami oleh rakyat (yang saat itu hanya bermodalkan senjata seadanya, didorong oleh semangat perjuangan kemerdekaan) yang harus menghadapi puluhan bahkan ratusan ledakan setiap harinya. Perjuangan belum berakhir sampai Indonesia bisa benar-benar lepas dari penjajahan bangsa asing.
“Tinggi rendahnya nilai republikein akan diuji dengan baterai ini. Besok atau lusa kalau tongkat ini kuayunkan ke atas, semua meriam ini akan berbunyi berbareng untuk empat lima jam.” (Toer, 2003: 38)
“Dunia modern ini,” kolonel itu memulai, “dibangunkan di atas pucuk meriam.” (Toer, 2003: 39)
Kemudian ada tokoh Mardjohan, yang dibentuk sang penulis untuk menggambarkan orang-orang egois yang hanya mau menang sendiri, selamat sendiri, berada di atas angin sendirian. Djohan seorang pengecut, Pramoedya ingin para pembaca tahu bahwa manusia sepertinyalah yang mengganggu Revolusi, mengganggu perjuangan sang herois.
Di samping pergolakan panas yang revolusionis, penulis juga menampilkan nilai seni di dalam novel ini. Dimulai dari dialog yang menyuratkan seni untuk seni hingga kemunculan tokoh penyair serta kritikus sastra yang namanya disamarkan, Pramoedya menyisipkan nilai patriotik dari bidang kesusastraan di dalam “Larasati”. Hal ini dimaksudkan untuk mengingatkan para pembacanya, bahwa Revolusi dapat diperjuangkan dari mana saja, tidak hanya melalui politik ataupun militer. Bahkan, tokoh Larasati sendiri dibuat menjadi seorang pejuang berlatarkan seniman.
“Kau seniman. Seniman mesti netral kalau ada sengketa politik atau militer. Seni selamanya untuk seni.” (Toer, 2003: 38)
“Chaidir. Masa tidak kenal? Aku penyair.” (Toer, 2003:136)
“Mari kita temui Jassir, kritikus sastra kita.” (Toer, 2003: 139)
Begitu disayangkan bahwa Larasati harus mengalami pahitnya kejahatan seksual di dalam novel ini. Pramoedya tidak melupakan isu yang selalu menjadi fokus masyarakat, dimana wanita saat itu tidak lebih dari seorang pemuas. Dengan kemunculan tokoh Jusman, penulis menyisipkan isu tersebut melalui adegan yang disiratkan. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Pramoedya tidak sekedar menunjukkan bagaimana perjuangan revolusi secara garis besar: revolusi untuk mencapai kemerdekaan bangsa, melainkan revolusi untuk masing-masing pribadi manusia. Setiap warga adalah revolusi tersebut. Revolusi diperjuangkan tidak hanya untuk terlepas dari penjajahan bangsa asing, melainkan untuk memperjuangkan hak-hak perseorangan terlepas dari kungkungan kasta, gender, ras, dan lain sebagainya. Kaum revolusioner memang dipenuhi kemunafikan sana sini, namun setidaknya masih banyak orang yang berjuang untuk keadilan.
Pemuda itu menepuk kembali bahu Larasati dan berbisik hampir-hampir tak terdengar, “Buat setiap bayi yang sudah, dan yang belum dilahirkan, kita semua rela tewas —bayi-bayi yang kita semua sama sekali tidak kenal, tidak pernah lihat, tidak pernah dengar tangisnya.” (Toer, 2003: 100)
Seperti tokoh pemimpin remaja yang sempat dimunculkan Pramoedya di tengah novel, pahlawan revolusi yang sebenarnya adalah seseorang yang rela mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan keadilan bagi orang-orang yang bahkan tidak ia kenal. Tanpa pamrih, seorang pahlawan sudah seharusnya melindungi martabat bangsa demi kehidupan yang lebih baik bagi seluruh masyarakat bangsa Indonesia.
Pada akhirnya, roman ini menampilkan kemenangan revolusi dengan begitu elegan: Indonesia merdeka. Begitu banyak kepahitan yang sudah dilewati para pejuang negeri kita di masa lampau; seluruhnya terpotretkan di dalam satu buku karya Pramoedya ini. Sudah sebaiknya kita sebagai pembaca, menyikapi hal ini dengan penuh rasa hormat, penuh penghargaan kepada para prajurit yang telah gugur. Tanpa ada diskriminasi, kita harus cerdik dalam menyadari bahwa seluruh pejuang revolusioner wajib dihargai karena mereka telah mengambil andil masing-masing dalam perjuangannya, baik itu pejuang politik, militer, seni, maupun pejuang-pejuang lainnya. Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus memulai dengan sebuah keberanian. Dari sebuah keberanianlah, kehidupan dapat dimaknai.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.