Pagi ini aku bersiap untuk beranjak dari kota rantauanku. Menaiki bis ekonomi dari Solo menuju kampung halaman, transitnya hingga 4 kali. Kata “Lelah” sengaja aku kesampingkan demi momen yang satu ini.
Momen lebaran menjadi fenomena sosial yang heboh di Indonesia setiap tahunnya. Suasana desa maupun kota seketika menjadi riuh bersamaan. Tren-tren unik dan baru selalu saja bermunculan dimana-mana. Kurang lebih itu gambaran “lebaran” di negara seribu pulau ini.
Menginjak umur 19 tahun, makna lebaran di mataku menjadi hal yang cukup berbeda. Diriku di masa anak-anak dengan saat ini, rasanya memang sudah terpaut lama. Apakah ada yang salah dengan lebaran tahun ini, atau justru Aku?
Lebaran versi Anak-Anak
10 tahun yang lalu aku masih belum mengenal dunia perantauan. Jangankanlah dunia perantauan, sekolah dasar saja masih belum usai. Namun, kala itu aku benar benar memahami makna asik lebaran versi masa kecilku.
Bagi anak kabupaten atau desa sepertinya tidak asing dengan kegiatan takbir keliling. Sehari sebelum lebaran, aku dan warga desa bejalan bersama mengelilingi desa. Bukan tanpa alasan, melainkan seraya mengumandangkan takbir “Allahuakbar”. Kami semua kompak membawa perlengkapan obor atau lampu warna-warni malam itu.
Malam terlalu singkat hingga tersisa aku dan baju baruku di ranjang. Beberapa kali memandangi baju itu, seakan sudah tidak sabar mengenakannya. Dalam pikiranku hanyalah tampil keren sepanjang hari, tanpa ada mata yang melewati.
Hari lebaran telah tiba, saatnya aku menjalankan strategi. Mendapatkan THR paling banyak dibandingkan anak lain, adalah kebanggaan tersendiri. Siapa sangka dompetku setebal buku paket di momen ini.
Lebaran versi Dewasa
Saat ini aku berada jauh dari keluarga dan saudaraku. Tidak lain sedang berjuang untuk menata masa depan lebih baik. Di kota perantauan, rindu seakan ingin meluap saat mendekati momen lebaran. Aku tersenyum sendiri membayangkan kebersamaan yang akan datang.
Malam sebelum lebaran kali ini, rasanya tenang tapi sunyi. Tenang karena tidak ada hal buruk yang perlu dikhawatirkan. Tapi sunyi karena terlalu hening dan dirundung kesepian. Bukan lagi bermain obor bersama warga desa, melainkan mematung di kereta.
Hari lebaran telah tiba, strategi lama sepertinya sudah aku lupakan. Bukan lagi berburu THR, melainkan berburu momen dengan keluarga dan saudara. Lebaran hanya setahun sekali, anak rantau mana yang rela menyia-nyiakannya.
Aku tersenyum haru memandangi wajah-wajah itu. Berpikir bahwa apakah waktu bisa berhenti sejenak untukku. Baju baru, uang THR, nastar lezat, sedang tidak ada artinya bagiku. Diriku merenung tentang arti kekeluargaan dan persaudaraan. Bersyukur karena masih diberikan kesempatan menikmati lebaran tahun ini.
Lebaran Selalu Istimewa
Lebaran tetap penuh arti, berbeda arti mengikuti siapa penikmatnya. Sebagai anak-anak, lebaran menjadi momentum yang mengasikkan dan menyenangkan. Sedangkan dewasa, lebaran menjadi momentum mengharukan dan membahagiakan. Kita tidak pernah tau kapan transisi dalam diri kita akan terjadi.
Kita bisa saja membolak-balikkan esensi lebaran kapanpun kita mau. Tapi waktu akan terus berjalan, dan risiko penyesalan akan selalu mengikuti. Menjadi sebuah anugerah ketika semakin awal menyadari nilai istimewa lebaran. Tentu akan bisa lebih bijaksana mengambil tindakan dan keputusan.
Lebaran menjadi momen fenomenal di Indonesia setiap tahunnya. Lebaran menjadi momen berarti bagi setiap individu yang menikmatinya. Lebaran menjadi pintu terbuka untuk saling merekatkan tali silaturahmi antar sesama.
Biodata Penulis:
Achmad Abdul Azizil Chasan Lukito lahir pada 1 Maret 2005. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, Agribisnis Fakultas Pertanian, di Universitas Sebelas Maret. Aziz memiliki hobi menulis dan cukup update dengan kehidupan modern Gen Z.