Eksistensi Perempuan dalam Budaya Feodalisme Jawa pada Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer

Pada novel "Gadis Pantai", terdapat dua tokoh yang sangat kontras, yakni Gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan, miskin, tidak tahu agama, ...

Novel ini bercerita tentang Gadis Pantai yang dipersunting sebagai istri seorang priyayi besar, yaitu Bendoro. Namun pada novel ini, Gadis Pantai hanyalah menjadi abdi atau sahaya, sedangkan Bendoro adalah tuan atau raja. Ia hanya diambil sebagai gundik atau istri percobaan pembesar. Meskipun gelarnya adalah Mas Nganten, namun tugasnya adalah sebagai pemuas seks pembesar sebelum pembesar itu memutuskan untuk menikah dengan wanita yang setara atau sederajat.

Pada novel "Gadis Pantai", terdapat dua tokoh yang sangat kontras, yakni Gadis Pantai yang berasal dari kampung nelayan, miskin, tidak tahu agama, dan tidak terdidik. Lain lagi Bendoro yaitu seorang priyayi yang kaya raya dan disegani. Hal tersebut sangat menggambarkan ketidaksetaraan kelas sosial.

Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak dari bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidupnya... (Toer, 2011:12).

Ketidaksetaraan lain digambarkan pada kutipan di atas bahwa pernikahan Gadis Pantai dan Bendoro tidak seperti pernikahan lain. Pada pernikahannya, Bendoro tidak datang, tetapi mengutus seseorang dengan sebilah keris. Hal itu juga merupakan suatu sindiran terhadap kebudayaan feodal Jawa, yaitu penyimpangan pernikahan yang dilakukan oleh priyayi Jawa. Sebagai pengantin laki-laki, hal tersebut sangat tidak pantas, tidak menghargai, dan termasuk perbuatan yang semena-mena terhadap kaum bawah dan perempuan.

Di novel ini, Bendoro merupakan representasi dari kaum penindas. Dialog “Nasib kitalah memang, nak. Nasib kita. Seganas-ganas laut, dia lebih pemurah dari hati priyayi.” (Toer, 2011: 266) adalah penegas penyamarataan para kaum priyayi yang tidak memiliki hati sehingga semena-mena terhadap kaum kecil seperti Gadis Pantai dan keluarganya. Terdapat perbandingan antara Bendoro dan laut. Laut terkenal akan ganas ombaknya, namun masih memberi mereka makan dan tidak menghilangkan atau mengurangi harga diri mereka. Sedangkan, Bendoro yang pembawaannya tenang malah berbuat kejam, semena-mena, dan keras hati kepada sesama manusia. Sangat tega membuang istrinya setelah melahirkan anak perempuan.

Novel Gadis Pantai
Novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer bisa dipesan di Gramedia, dengan harga: Rp 75.000.

Bentuk penindasan atau semena-mena juga terlihat pada saat uang Gadis Pantai hilang. Sudah jelas yang mencuri adalah salah satu dari para agus, tetapi tidak ada yang mau mengaku. Bujang tua yang menuduh para agus untuk membela Gadis Pantai harus diusir karena menurut Bendoro, meskipun ada salah satu agus yang salah, tidak sepatutnya menuduh mereka.

Gadis Pantai merupakan representasi dari orang yang menerima ketidakadilan yang harus diperjuangkan hak-haknya. Di novel ini, Pramoedya memfokuskan perhatiannya kepada ketidakadilan gender pada feodalisme Jawa. Bagi kaum perempuan Jawa yang kodratnya sebagai istri harus patuh terhadap laki-laki atau suami yang sebagai kepala keluarga. Budaya patriarki membuat seorang perempuan tidak diperkenankan berperan lebih dominan dibandingkan laki-laki.

“Perempuan ini diciptakan ke bumi, Mas Nganten, barangkali memang buat dipukul lelaki. Karena itu jangan bicarakan itu, Mas Nganten. Pukulan itu apalah artinya kalau dibandingkan dengan segala usahanya buat bininya, buat anak-anaknya.” (Toer, 2011: 95)

Pada kutipan di atas, bujang tua menjelaskan kedudukan wanita yang sangat rendah dalam pernikahan Jawa. Perlakuan yang tidak adil dirasanya sebagai hal yang wajar karena laki-laki mempunyai tugas mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga.

Kemudian, dalam kutipan tersebut juga tersirat bahwa Gadis Pantai dituntut untuk bersikap selayaknya wanita Jawa yang nrimo ing pandum. Nrima ing pandum pada masyarakat Jawa memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang diterima memang sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa. Padahal, ketidakadilan yang dirasakan perempuan, atau Gadis Pantai pada novel ini, bukanlah sesuatu yang mutlak ditakdirkan Tuhan. Seharusnya, dengan adanya ketidakadilan tersebut kita berusaha untuk melepaskan diri dari tradisi kuno tersebut. Jangan seperti bujang tua yang sudah tahu tradisi tersebut sangat merugikan perempuan, tetapi tradisi tersebut sangat dipatuhi bahkan diturunkan ke generasi yang lebih muda.

“Kau milikku. Aku yang menentukan apa yang kau boleh dan tidak boleh, harus dan mesti dikerjakan. Diamlah kau sekarang. Malam semakin larut, lalu seperti ada yang terlupa: Tapi kau belum punya persiapan.” (Toer, 2011: 136)

Kutipan tersebut merupakan gambaran bahwa Bendoro memiliki hak untuk memerintah ataupun menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan Gadis Pantai. Gadis Pantai di sini bersikap pasrah sebagaimana yang dilakukan wanita Jawa sebagai bentuk pengabdian seorang hamba kepada tuannya. Sikap pasrah dan pengabdian yang menuntut untuk ikhlas, menuruti kehendak, dan tidak bertanya meskipun sering kali bertentangan dengan keinginannya.

Dari novel ini bisa dilihat posisi perempuan di zaman feodalisme. Kaum perempuan dianggap rendah oleh laki-laki, bahkan suaminya sendiri. Ditambah lagi kenyataan bahwa Gadis Pantai hanyalah seorang gadis dari pinggiran. Sebagai perempuan dan ditambah asal-usulnya dari kaum kecil, Gadis Pantai sangat tidak dihormati dan tidak dihargai.

Novel ini menunjukkan juga bahwa perempuan itu seperti barang yang bisa diambil dan dibuang kapan saja. Tradisi patriarki pada zaman feodalisme sangat digambarkan dengan jelas sebagai kritikan atas tradisi saat itu.

Referensi:

  • Toer, P. A. 2011. Gadis Pantai. Jakarta: Lentera Dipantara.

Puput Pebriana

Biodata Penulis:

Puput Pebriana (kerap dipanggil Puput) merupakan seorang mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran yang lahir pada 1 Februari 2003.

© Sepenuhnya. All rights reserved.