Culture Shock Sebagai Mahasiswa Asing di Solo

Mayoritas mahasiswa asing saat ini lebih memilih untuk melanjutkan pendidikan mereka di Indonesia, salah satunya Surakarta. Surakarta atau dikenal sebagai Kota Solo merupakan sebuah kota yang penuh dengan sejarah dan keindahan budayanya.

Memilih untuk meninggalkan negara asal adalah pilihan yang sulit bagi sebagian orang, apalagi tidak terbiasa hidup sendiri dan berada di tempat baru yang jauh dari keluarga. Namun, beradaptasi dengan lingkungan baru adalah hal yang diwajibkan, terutama jika lingkungan tersebut sudah berbeda negara.

Salah satu contohnya adalah saya. Sebagai seorang mahasiswa asing, saya merasa dicengangkan oleh perbedaan budaya dan tradisi yang sangat berbeda dari negara asal saya ketika saya pertama kali tiba di Solo. Awalnya, saya merasa sangat antusias dengan kesempatan baru ini, tetapi seiring berjalannya waktu, saya mulai menyadari bahwa saya sedang mengalami apa yang dikenal sebagai “culture shock". Meskipun saya telah mempersiapkan diri untuk pengalaman baru ini, tetapi culture shock yang saya alami ternyata lebih kuat dari apa yang saya duga.

Culture shock atau gegar budaya merupakan perasaan keterkejutan dan kecemasan yang dialami individu karena perbedaan budaya dan perilaku yang begitu signifikan antara lingkungan yang lama dengan baru. Awalnya, mahasiswa asing akan memiliki tantangan tersendiri untuk dapat beradaptasi dengan budaya yang baru, dan lingkungan sosial baru. Perbedaan yang menjadi hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa asing di antaranya, perbedaan bahasa, perbedaan makanan, perbedaan lingkungan, perbedaan budaya dan tradisi serta perbedaan zona waktu dengan negara asal. Seluruh perbedaan tersebut mengakibatkan mahasiswa asing merasakan homesick karena hidup jauh dari keluarga, dan belum terbiasa dengan aturan yang ada di lingkungan setempat, terlebih lagi masalah komunikasi karena faktor bahasa.

Menjadi pendatang baru dari suatu negara ke negara lain dengan budaya dan tradisi yang berbeda, kemampuan untuk berkomunikasi menjadi salah satu faktor paling penting untuk beradaptasi. Namun, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh mahasiswa asing adalah bahasa. Meskipun mereka dituntut untuk mempelajari Bahasa Indonesia, tetapi menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari adalah pengalaman yang sangat berbeda.

Culture Shock Sebagai Mahasiswa Asing di Solo

Salah satu contoh pengalaman saya yaitu sering kali, saya merasa canggung ketika berkomunikasi dengan orang-orang lokal dan saya kesulitan untuk dipahami karena kosakata dan pengucapan saya yang kurang jelas.

Selain itu, mayoritas masyarakat di Solo menggunakan Bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari mereka. Hal tersebut membuat saya merasa canggung, asing, tidak nyaman, dan bingung ketika berkomunikasi dengan mereka. Faktanya, mahasiswa asing merasa sangat susah dalam penyesuaian bahasa mulai dari aksen dan logatnya, karena mereka sama sekali tidak bisa Bahasa Jawa. Bagi saya, Bahasa Jawa sangatlah “medhok”.

Tantangan lain yang dihadapi adalah makanan. Meskipun masakan Indonesia lezat dan kaya rasa, tetapi cita rasa bumbunya sangat berbeda dari makanan negara lain. Awalnya, mahasiswa asing kesulitan menyesuaikan diri dengan makanan lokal dan merindukan makanan dari rumah. Namun, berjalannya waktu mereka mulai menyukai berbagai jenis makanan Indonesia dan menemukan kesenangan dalam mencoba makanan baru, salah satunya Nasi Goreng.

Perbedaan lain yang dirasakan adalah perbedaan zona waktu. Hal tersebut terkadang menyebabkan mahasiswa asing mengalami jet lag atau gangguan tidur karena adanya perbedaan waktu tersebut. Namun, seiring berjalannya waktu mereka dapat menyesuaikan diri dengan zona waktu di Indonesia.

Mengenai lingkungan masyarakat, mahasiswa asing perlu beradaptasi dengan masyarakat sekitar karena adanya perbedaan tutur kata, sikap, dan perilaku. Mayoritas masyarakat Solo sangat ramah dan murah senyum ketika menyapa orang asing.

Pengalaman saya pribadi yang membuat saya terkejut yaitu di saat saya sedang berjalan ke kampus dan warga sekitar menyapa saya dengan senyuman yang begitu ramah dan mengucapkan “Selamat Pagi” dan “Apa Kabar”. Saya pribadi belum pernah menerima tata krama yang sebaik di sini.

Berasal dari negara yang tidak begitu ramah dalam menyapa orang asing membuat saya merasa bahwa saya perlu belajar dan menyesuaikan diri di lingkungan baru. Ditambah teman-teman di lingkungan perkuliahan yang selalu mendukung dan membantu saya untuk belajar Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa.

Mengenai culture shock lainnya yang dirasakan oleh mahasiswa asing adalah adanya variasi adat dan tradisi. Budaya di daerah Kota Solo mencerminkan bahwa Solo sangat melestarikan budayanya dengan baik.

Salah satu contoh tempat yaitu Balaikota, yang selalu mengedepankan kebudayaan Jawa sehingga menjadi salah satu pendorong program bisa berjalan. Selain itu, juga di Keraton Surakarta Hadiningrat, merupakan tempat wisata dengan arsitektur Istana Jawa yang menyimpan berbagai sejarah.

Hal lainnya yang membuat mayoritas mahasiswa asing yang merantau terkejut yaitu biaya kehidupan di Solo. Biaya hidup yang paling murah jika dibandingkan dengan kota lain. Salah satu contohnya adalah makanan yang dijual di angkringan dengan harga mulai dari 3 sampai 10 ribu saja tetapi sudah mendapatkan lauk lumayan banyak.

Dengan demikian, perjalanan mahasiswa asing di Solo tidak hanya tentang mengejar pendidikan, tetapi juga tentang pertumbuhan pribadi, dan pemahaman budaya. Meskipun culture shock adalah pengalaman yang sulit, tetapi pengalaman ini adalah bagian normal dari perjalanan bagi mahasiswa asing yang merantau di Solo.

Solusi bagi mahasiswa asing untuk mengatasi culture shock yaitu belajar beradaptasi di lingkungan baru dengan sabar, dan memanfaatkan waktu dengan sering bertanya dan belajar dari orang-orang sekitar.

Saya percaya pengalaman ini akan membentuk mahasiswa asing menjadi pribadi yang lebih kuat, terbuka, berpengetahuan luas, dan menjadi pribadi yang lebih percaya diri. Saya yakin bahwa dengan memanfaatkan peluang yang ada dan menjalani setiap tantangan dengan tekad yang kuat, mahasiswa asing akan berhasil dan menikmati pengalaman belajar mereka yang berharga selama berada di Solo. 

Biodata Penulis:
Silvania das Dores Tosa Pereira lahir pada tanggal 19 Februari 2004. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, S1 Ilmu Lingkungan, di Universitas Sebelas Maret.
© Sepenuhnya. All rights reserved.