Adat Istiadat yang Mengikat Perempuan pada Cerpen "Pendurhaka" Karya Nh. Dini

Dalam judul "Dua Dunia" pun sangat jelas menggambarkan perbedaan bagaimana perlakuan untuk laki-laki dan perempuan. Laki-laki digambarkan untuk ...

Dalam buku kumpulan cerpennya "Dua Dunia" karya Nh. Dini ada sebuah cerpen yang berjudul "Pendurhaka" yang menggambarkan kekontrasan dua dunia antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang dibebaskan untuk menentukan jalan hidupnya, tidak terikat dengan peraturan-peraturan yang mengikat dengan dalih laki-laki akan menjadi kepala keluarga pasti memiliki pemikiran yang lebih baik dibandingkan perempuan.

Bagaimana perempuan harus mengikuti seluruh adat istiadat peraturan keluarga yang jelas perempuan akan dirugikan atas peraturan yang ada. Perempuan yang selalu dianggap tidak sepantasnya memilih jalan kehidupannya sendiri, kodratnya wanita adalah menjadi kepribadian yang nurut, tidak membantah, hidup di belakang bayang-bayang peraturan yang mengikat.

Perempuan yang memilih jalan hidupnya sendiri, perempuan yang mencoba mengubah peraturan menyesakkan itu, perempuan yang memperjuangkan haknya bahwa perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama, bahwa perempuan juga sama bebasnya untuk memilih jalan hidupnya dianggap sebagai perempuan yang durhaka.

“Kau anak yang tidak tahu budi. Kau tak tahu membalas jasa orang tua. Kau anak yang melangkahkan kaki dari adat. Ya, macam-macam lagi kata mereka. Ingat! Benar, Yati. Kau anak perempuan dalam keluarga kita. Kau mesti menurut segala aturan-aturan keluarga.” (Dini, 2014: 42)

Dalam kutipan di atas jelas perempuan dilahirkan dan dibesarkan untuk membalas jasa orang tua. Anak dijadikan investasi di hari tua untuk orang tuanya dengan dalih balas budi, semua yang sudah diberikan harus ada balasannya pun dengan hubungan orang tua dan anak.

Anak perempuan dijadikan boneka dalam keluarga. Mereka bilang orang tua tahu yang terbaik untuk anaknya, maka dari itu sudah sepatutnya anak selalu menuruti seluruh perintah orang tuanya, orang tua sudah jauh lebih lama hidup dibanding anak, sudah pastilah orang tua yang lebih paham tentang kehidupan duniawi.

Padahal, sebaik-baiknya orang tua mengetahui kepribadian sang anak jelas anak itu sendiri yang lebih memahami dirinya, anak lebih memahami apa kemauan untuk dirinya sendiri, memang mungkin bukan pilihan terbaik dalam keputusan sang anak, tetapi hidup di atas jalan yang dipilih sendiri, membuat kita bisa bernafas lebih lega dan memiliki sifat tanggung jawab sendiri.

“Kau perempuan, Yati. Tak sepatutnya bersendiri macam ini.” (Dini, 2014: 42)

Perempuan dianggap tidak mampu untuk hidup sendiri, perempuan dianggap lemah dan selalu membutuhkan pasangan dalam hidupnya. Karena seperti adat yang mengikat bahwa sudah seharusnya perempuan hidup di belakang lelaki, bahwa perempuan tidak diperbolehkan sederajat dengan lelaki.

Dua Dunia karya Nh. Dini

Memang kenapa jika hidup sendiri? Apakah hidup sendiri di atas jalan pilihan sendiri akan membuat hidup sengsara, hidup di atas kakinya sendiri tidak menjadikannya ia menjadi perempuan yang tidak sempurna dan semestinya.

Jika tidak ada peraturan yang mengikat pastilah sudah banyak perempuan yang berhasil mengupayakan keinginannya, berhasil menjadi pribadi yang diinginkan diri sendiri. Perempuan masih sama kuatnya dengan lelaki, yang mampu melakukan banyak hal sendirian.

“Aku malu punya saudara seperti kau. Sudah besar, bekerja jauh dari rumah dan mengabaikan hukum keluarga” (Dini, 2014: 46)

Kutipan di atas sangat jelas mengatakan bahwa mereka-mereka yang mengusahakan mimpi, perempuan yang memilih jalan hidupnya, perempuan yang memiliki pendiriannya sendiri justru dianggap memalukan atau aib. Perempuan haruslah berada dalam kekangan hukum keluarga, kodrat perempuan yang dibentuk oleh keluarga kolot.

Berbakti kepada keluarga, dan orang tua jelaslah keharusan yang setiap anak harus lakukan. Anak cukup tahu diri untuk tidak membangkang kepada keluarga, tetapi jika haknya dirampas, kehidupannya diatur sedemikan rupa sampai melupakan fakta bahwa diri perempuan adalah kepunyaannya sendiri yang jelas diperbolehkan untuk hidup sesuai keinginannya, perempuan sangat berhak menentukan jalan hidup untuk dirinya sendiri.

Tidak memalukan karena mengusahakan mimpinya sendiri adalah hal yang harus dibanggakan, pemikiran keluarga dan peraturan keluarga yang seperti ini haruslah segera dihilangkan agar tidak kehilangan anak-anak perempuan selanjutnya.

Anak adalah anak entah itu laki-laki atau perempuan, mereka tetaplah anak yang seharusnya memiliki perlakuan yang sama, tidak digaris-gariskan antara jalan hidup perempuan harus begini, jalan hidup laki-laki haruslah begitu.

Hal yang bisa saya ambil dalam cerpen Pendurhaka karya Nh. Dini adalah Dini ingin menceritakan kehidupan nyata yang masih sangat sering kita alami, bagaimana perempuan digambarkan seperti burung dalam sangkar dan lewat cerpennya ini Dini ingin memberikan gambaran bahwa hidup menyimpang dari aturan keluarga tidaklah buruk, tidaklah membuat kita dicap sebagai anak yang durhaka, karena lagi-lagi yang perlu diingat adalah kita sesama manusia berhak untuk menentukan jalan hidup sendiri.

Memberikan support moral kepada para perempuan di luar bahwa kita tetap masih bisa berdiri di kaki kita sendiri, bahwa tidak ada perempuan lemah, yang ada hanya perempuan takut, takut untuk mengusahakan mimpinya, takut dengan stereotype sekitar.

Tidak ada perempuan pembangkang dalam jalan mengusahakan mimpinya, yang ada adalah perempuan berani, berani melawan segala cemohan yang merendahkan, berani melawan ikatan peraturan keluarga demi masa depannya. Yang melanjutkan kehidupan masa depan adalah diri kita sendiri, bukan keluarga yang memerintah, sudah seharusnya kita mempertimbangkan rancangan masa depan di tangan kita sendiri.

Dalam judul "Dua Dunia" pun sangat jelas menggambarkan perbedaan bagaimana perlakuan untuk laki-laki dan perempuan. Laki-laki digambarkan untuk hidup dengan keras, laki-laki menjadi kepribadian yang kuat, kontras dengan perempuan yang diharuskan bertingkah laku seperti orang lemah, memiliki kasta yang di bawah lelaki. Lelaki yang selalu dianggap punya hak yang lebih bebas dibandingkan perempuan yang hidup diikat dengan peraturan.

Sumber Referensi:

  • Dini, Nh. (2014). Dua Dunia: Kumpulan Cerita Pendek. Bandung: Pustaka Jaya.

Whiwid Tias Anjani
Biodata Penulis:
Whiwid Tias Anjani (kerap disapa Jani) lahir di Jakarta pada tanggal 3 Juli 2003. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.
© Sepenuhnya. All rights reserved.