Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

17 Tahun Aksi Kamisan Malah Dikecam: Apakah Generasi Kita Mulai Nirempati?

Aksi Kamisan bukan sekadar lambang keberanian bagi korban dan keluarga korban yang telah mengalami penderitaan dan luka akibat peristiwa ...

Beberapa orang mengatakan bahwa generasi muda kita kurang peka terhadap topik-topik berat karena sudah terlalu tenggelam dalam media sosial yang serba bebas. Dalam era media sosial kita bebas menyuarakan pendapat mengenai suatu unggahan pada kolom komentar yang telah tersedia. Majas ungkapan “mulutmu harimaumu” terkesan telah bergeser menjadi “ketikanmu harimaumu”.

Media sosial beberapa waktu lalu ramai dengan unggahan mengenai Aksi Kamisan yang digelar sehari setelah pelaksanaan Pemilu 2024. Unggahan tersebut berisi foto yang menampilkan Maria Catarina Sumarsih, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) Indonesia, mengacungkan kartu merah dalam Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/2/2024). Unggahan tersebut kemudian tersebar luas di berbagai platform media sosial seperti Tiktok, Twitter, Instagram dan platform-platform lainnya.

Di luar dugaan, bukannya mendapat respon positif dan empati, warganet justru menyerang dan mengecam Aksi Kamisan. Muncul anggapan bahwa aksi ini sengaja dilakukan untuk menggiring opini publik mengenai salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden karena masih dalam euphoria Pemilu 2024. Dalam salah satu unggahan di Tiktok oleh akun @abidin_xxi memperlihatkan beberapa komentar miring terhadap ibu Maria seperti “berapa isi amplop nya nek” dan “kemana aja selama ini buk” serta muncul pertanyaan mengenai esensi dari dilakukannya Aksi Kamisan.

Komentar-komentar tersebut menunjukkan ketidakpahaman dan kurangnya rasa empati para generasi muda pengguna media sosial mengenai konflik-konflik kemanusiaan. Padahal terhitung tanggal 18 Januari 2024 lalu, Aksi Kamisan tepat digelar selama 17 tahun sejak aksi damainya yang pertama yaitu pada Kamis, 18 Januari 2007 dan bukan aksi yang sengaja dilakuan setelah melihat hasil Pemilu 2024. Entah kurangnya sorotan media atau ketidakmahuan para pengguna media sosial mencari informasi sehingga timbul pertanyaan mengapa ada aksi ini setelah pemilu.

Aksi Kamisan sendiri adalah bentuk tuntutan dari para korban maupun keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia. Mereka adalah korban dari kejamnya rezim Indonesia sebelum masa reformasi seperti korban 1965-1966, korban Tragedi Trisakti dan Semanggi penculikan aktivis di tahun 1998, korban tragedi Rumpin, peristiwa Talangsari, Tanjung Priok, hingga pelanggaran HAM lainnya.

Aksi Kamisan bukanlah gerakan yang main-main dan bisa dikotori oleh komentar-komentar asal ketik di media sosial. Pelopor dari aksi ini ialah seorang aktivis HAM Maria Katarina Sumarsih dan Suciwati, serta Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Adapun Sumarsih adalah ibu dari Bernardus Realino Norma Irmawan atau Wawan yang meninggal usai ditembak aparat saat Tragedi Semanggi I pada 13 November 1998. Sementara Suciwati adalah istri Munir Said Thalib yang merupakan seorang pejuang HAM yang dihilangkan nyawanya dalam penerbangan menuju Belanda. 

Aksi Kamisan biasa diadakan setiap hari Kamis pukul 16.00-17.00 WIB. Selama satu jam, peserta akan berdiri mengheningkan cipta di depan Istana Kepresidenan dengan mengenakan pakaian serba hitam dan membawa payung hitam bertuliskan berbagai kasus pelanggaran HAM. Para penggerak aksi juga mengirimkan surat kepada presiden, menggelar spanduk, foto korban, dan membagikan selebaran untuk para pengguna jalan.

Aksi Kamisan Malah Dikecam

Namun ada yang berbeda pada Aksi Kamisan ke-805 pada Kamis 15 Februari 2024 lalu, para demonstran membunyikan peluit dan mengangkat kartu kuning, tetapi hanya Maria Catarina Sumarsih yang mengangkat kartu merah. Kartu merah ini diartikan bahwa orang yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus berdarah pelanggaran HAM yang diperjuangkan malah terpilih menjadi pemimpin, sehingga menggantungkan harapan para pejuang HAM untuk tuntasnya kasus ini.

Aksi Kamisan bukan sekadar lambang keberanian bagi korban dan keluarga korban yang telah mengalami penderitaan dan luka akibat peristiwa pelanggaran HAM. Aksi Kamisan juga mencerminkan konsistensi mereka yang tetap berdiri kokoh untuk menuntut keadilan. Aksi Kamisan bukan sekadar sebuah aksi untuk menuntut keadilan, tetapi sebuah pengingat yang berusaha menggambarkan kekejaman penguasa Tanah Air di masa lalu yang tidak boleh diabaikan.

Sejatinya, aksi ini merupakan sebuah perjalanan panjang di mana keadilan terus menjadi tuntutan bagi mereka yang telah kehilangan keluarga akibat tragedi pelanggaran HAM berat masa lalu. Tujuh belas tahun bukanlah rentang waktu yang pendek bagi para keluarga korban yang dengan penuh kesabaran terus menantikan kepastian dan keadilan atas pelaku pelanggaran HAM berat yang belum mendapatkan hukuman setimpal.

Sejatinya pula, aksi ini bukanlah dagangan politik setiap lima tahun menjelang pemilu, melainkan simbol perjuangan bagi para pencari keadilan di Tanah Air. Oleh karenanya, kecaman dan hujatan bukanlah respon yang seharusnya didapat oleh para demonstran, melainkan rasa empati kita sebagai manusia. Dalam lingkup sosial, rasa nirempati perlu dihilangkan agar tidak menggerus habis rasa kemanusiaan kita.

Generasi kita perlu menemukan cara untuk lebih berempati terhadap mereka--sesama manusia--yang sedang mengalami masa-masa sulit dan memberi lebih banyak dukungan. Kurangnya simpati dan kasih sayang ini bukanlah respons yang tepat terhadap topik-topik kemanusiaan dan kasus pelanggaran HAM berat. Penting bagi kita untuk tidak membawa humor terlalu jauh, terutama di media sosial.

Keisya Alifya

Biodata Penulis:

Keisya Alifya lahir pada tanggal 13 Desember 2004 di Klaten. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswi, jurusan Agribisnis, di UNS.

© Sepenuhnya. All rights reserved.