Saman karya Ayu Utami menjadi Gebrakan Baru dalam Kesusastraan Indonesia

Novel Saman kaya akan nilai-nilai kehidupan, dari segi psikologis, kebudayaan, sosial, maupun politik. Dan merupakan salah satu karya yang berani ...

Dikutip dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, Novel Saman merupakan novel Ayu Utami yang pertama dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1998 oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG). Setelah terbit, novel ini mendapat banyak sambutan dari berbagai kalangan sehingga terjual sampai 100.000 eksemplar. Lalu, Saman dinobatkan sebagai pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 yang membuat nama Ayu Utami meroket di Kesusastraan Indonesia.

Novel ini pun mendapat banyak pujian dan sambutan dari berbagai kritikus karena Saman dianggap memberikan warna baru dalam Sastra Indonesia. Hal ini pun sejalan dengan pendapat dari Sapardi Djoko Damono pada halaman sampul buku ini yang menyatakan bahwa “Dahsyat… memamerkan teknik komposisi yang--sepanjang pengetahuan saya--belum pernah dicoba pengarang lain di Indonesia, bahkan mungkin di negeri lain.” Serta pendapat dari Faruk H.T yang mengatakan “… di dalam sejarah Sastra Indonesia tak ada novel yang sekaya novel ini…” 

Novel Saman ini adalah novel yang kaya akan nilai-nilai kehidupan, dari segi psikologis, kebudayaan, sosial, maupun politik. Dan merupakan salah satu karya yang berani melakukan penggambaran seksualitas perempuan dengan begitu jelas. Novel ini mengambil tema yang memperlihatkan sesksualitas dari perspektif perempuan.

Di buku ini terdapat empat wanita yang sudah bersahabat sejak di bangku sekolah dasar dan tetap bersama sampai mereka dewasa sehingga saling menjaga dan membantu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka.

Saman karya Ayu Utami
Buku Saman karya Ayu Utami bisa dipesan di Gramedia, sedang diskon 20%: Rp 35.000 Rp 28.000.

Ayu Utami dengan berani memperkenalkan karakter perempuan yang sedang mengeksplorasi hasrat dan identitas seksual mereka. Melalui tokoh-tokohnya, menurut saya Ayu Utami ingin mengemukakan pandangannya terhadap kaum laki-laki yang hanya memikirkan nafsunya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. “… sebab mereka menghianati wanita. Mereka cuman menginginkan keperawanan, dan akan pergi setelah si wanita menyerahkan kesucian.” (Utami, 2013:152) 

Keberanian yang Ayu Utami gambarkan mengenai seksualitas dalam buku ini, menurut saya karena ditulis oleh seorang perempuan. Maka, orang-orang dapat memahaminya dan melihatnya sebagai suatu kejujuran. Mungkin, jika buku ini ditulis oleh penulis pria, akan dianggap tulisannya menyinggung wanita.

… ibuku membuka rahasia besar: bahwa aku ini ternyata sebuah porselin cina. Patung, piring cangkir porselin boleh berwarna biru, hijau muda, maupun cokelat. Tapi mereka tak boleh retak, sebab orang-orang akan membuangnya ke tempat sampah… Keperawanan adalah persembahan seorang perempuan kepada suami. Dan kau cuma punya satu saja, seperti hidung. Karena itu, jangan pernah diberikan sebelum menikah, sebab kau akan menjadi barang pecah belah. Tapi sehari sebelum aku dibuang ke kota asing tempat aku tinggal saat ini, aku segera mengambil keputusah. Akan kuserahkan keperawananku pada raksasa yang kukasihi. (Utami, 2013:127). 

Selain hal-hal yang telah disebutkan di atas, Ayu Utami pun membahas mengenai isu-isu hak asasi manusia, politik, kepedulian terhadap sesama manusia, dan juga mengenai agama. Isu-isu tersebut disampaikan Ayu Utami melalui tokohnya, bernama Athanasius Wisanggeni yang merupakan seorang Pastor.

Sejak awal, Wisanggeni memiliki minat tinggi pada keadilan dan kemanusiaan khususnya di daerah-daerah yang masih terpelosok seperti Prabumulih, tempat Wisanggeni mengabdi menjadi Pastor. Namun, setelah bertahun-tahun ia mencurahkan segala isi pikiran, tenaga, dan modal untuk memajukan desa Lubukrantau, desa yang jaraknya tujuh puluh kilometer dari Perabumulih.

Terdapat berbagai kejadian yang mengenaskan terjadi di desa itu sebagai bentuk ancaman penguasa untuk menyerahkan kebun. Warga-warga setempat bersama dengan Wisanggeni berjuang untuk mempertahankan wilayah yang telah mereka upayakan menjadi lebih baik.

Kejadian itulah yang membuat Wisanggeni diinterogasi oleh aparat dengan berbagai siksaan agar ia menjawab sesuai keinginan para aparat ini. Lalu, digantilah namanya menjadi Saman. “Dan ia mengganti kartu identitasnya, sampai peristiwa itu selesai di pengadilan kira-kira dua tahun kemudian. Ia memilih nama: Saman,” (Utami, 2013:117).

Melalui tokohnya, Ayu Utami menunjukkan bahwa bahkan seseorang yang religius saja bisa mempertanyakan takdirnya kepada Tuhan di saat sedang mendapatkan musibah. “Ia seperti kota gurun yang terkepung, mata airnya telah dikuasai musuh. Tuhan, kau biarkan ini terjadi?” (Utami, 2013:96). Dan pada kutipan berikut menunjukkan kekecewaan Wisanggeni terhadap gerejanya “Dalam kelemahanku, Martin mengerti kekecewaanku pada Gereja.” (Utami, 2013:186).

Novel Saman yang lahir di tengah gejolak politik reformasi di Indonesia sehingga novel ini sarat akan tema para penguasa yang mementingkan keuntungannya sendiri di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara yang berkecamuk di era Soeharto. Sehingga, kisah Saman setelah menjadi seorang aktivis Indonesia dan bekerja untuk sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat yang memperjuangkan hak asasi manusia itu berhasil digambarkan dan ditunjukkan dengan sangat meyakinkan. Memperlihatkan kisah tragis, kehancuran serta kesengsaraan yang dirasakan masyarakat yang miskin di pedesaan dan wilayah pinggiran akibat eksploitasi di hadapan negara yang korup dan kejam. Perjuangan kelas antara pengusaha dan petani juga dengan jelas digambarkan melalui pandangan kritis Ayu Utami.

Di saat seseorang memiliki keberanian untuk menyuarakan pendapatnya mengenai pemerintahan yang bobrok, maka konsekuensi yang diambilnya adalah bui penjara atau pemecatan. Contohnya, Ayu Utami yang dipecat karena memperjuangkan kemerdekaan informasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Novel Saman karya Ayu Utami tidak hanya berani menuliskan suatu hal yang dianggap tabu saja, tetapi ia juga berani menggambarkan peristiwa tragis yang lazim terjadi pada masanya akibat keserakahan para penguasa.

Novel ini telah dicetak ulang berkali-kali dan telah diterjemahkan dalam delapan bahasa asing: Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, Prancis, Czech, Italia, dan Korea merupakan bukti nyata dari kesuksesan Novel Saman karya Ayu Utami.

Rahmadiani Zein

Biodata Singkat:

Rahmadiani Zein lahir pada tanggal 12 Desember 2003. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswi, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.