Pernah Dustaku Pernah
Satu kali akan pernah
Kau bersumpah menguyah sampah
Saat dulu berserak lalu berlimpah
Dalam botol hatimu pecah
Kini ia lahar ia tumpah
Menggenang sepenjuru
Mengambang tak tentu
Hingga dusun tiada sawah
Hingga harap tiada rindu
Dan kini senyap beradu tatap
Kurias lalu wajahku darah
Saat dagu matamu tengadah
Mulutmu anggur, racun dikunyah
Membadai kata konon sejarah
Di sini, katamu, sekali terlontar
Segala niscaya tak jadi apa
Terjadi sumpah terjadi sampah
Lalu sekejap, termangu, kau ujar
'begitu aku menyusun waktu'
Tanpa kilah, kau sirna, hati purna
Tak kata, tak jejak, tak kuasa
'tertinggal aku tersisa satu'
Ludah.
Paris, 22 Oktober 1997
Analisis Puisi:
Puisi "Pernah Dustaku Pernah" karya Radhar Panca Dahana merupakan sebuah karya yang menggambarkan kekecewaan, penyesalan, dan kehampaan melalui bahasa yang penuh dengan metafora dan simbolisme.
Tema dan Makna
Puisi ini mengangkat tema tentang kebohongan, penyesalan, dan kehilangan harapan. Penyair menggambarkan bagaimana kebohongan yang pernah diucapkan akhirnya membawa kehancuran dan kekosongan.
"Satu kali akan pernahKau bersumpah menguyah sampah"
Baris ini membuka puisi dengan pernyataan bahwa suatu saat kebohongan akan terungkap, dan penyesalan akan dirasakan. "Menguyah sampah" adalah metafora yang kuat untuk menunjukkan betapa menjijikkannya kebohongan itu ketika harus dihadapi kembali.
Penyesalan dan Kehancuran
Penyair menggunakan berbagai gambaran untuk menunjukkan bagaimana kebohongan membawa kehancuran pada perasaan dan kehidupan seseorang.
"Dalam botol hatimu pecahKini ia lahar ia tumpahMenggenang sepenjuruMengambang tak tentu"
Penggambaran hati sebagai botol yang pecah dan lahar yang tumpah menunjukkan bagaimana kebohongan yang terungkap menghancurkan stabilitas emosional. Lahar yang menggenang dan mengambang menggambarkan perasaan yang kacau dan tidak terarah.
Kehampaan dan Kehilangan Harapan
Puisi ini juga menyoroti hilangnya harapan dan rindu sebagai akibat dari kebohongan.
"Hingga dusun tiada sawahHingga harap tiada rindu"
Gambaran dusun tanpa sawah dan harapan tanpa rindu menunjukkan kekosongan dan kehilangan makna dalam hidup akibat kebohongan. Ini memperlihatkan betapa dalamnya dampak negatif dari tindakan tidak jujur.
Konfrontasi dan Kepergian
Dalam baris-baris selanjutnya, ada konfrontasi dan akhirnya kepergian yang tanpa jejak.
"Dan kini senyap beradu tatapKurias lalu wajahku darahSaat dagu matamu tengadahMulutmu anggur, racun dikunyah"
Tatapan yang senyap, wajah yang dirias dengan darah, dan mulut yang mengunyah racun menunjukkan intensitas dari perasaan yang terluka dan hancur. Gambaran ini menekankan konfrontasi yang penuh emosi dan kepedihan.
"Di sini, katamu, sekali terlontarSegala niscaya tak jadi apaTerjadi sumpah terjadi sampahLalu sekejap, termangu, kau ujar'begitu aku menyusun waktu'Tanpa kilah, kau sirna, hati purnaTak kata, tak jejak, tak kuasa"
Penulis menggambarkan bahwa setelah kebohongan diucapkan, segalanya berubah menjadi tak berarti. Kepergian yang tanpa jejak menunjukkan betapa hampa dan tanpa arah kehidupan setelah kebohongan terungkap.
Penutup dan Kesimpulan
Puisi ini diakhiri dengan satu kata yang mengandung makna mendalam.
"Ludah."
Kata ini menggambarkan penghinaan dan kebencian yang tersisa setelah kebohongan terungkap. Ini adalah simbol penolakan dan rasa jijik terhadap kebohongan yang pernah ada.
Gaya Bahasa dan Simbolisme
Radhar Panca Dahana menggunakan bahasa yang kaya dengan metafora dan simbolisme untuk menyampaikan pesan-pesan dalam puisinya. Penggunaan kata-kata seperti "lahar," "darah," "racun," dan "ludah" memberikan intensitas emosional dan visual yang kuat. Simbolisme dalam puisi ini membantu menggambarkan perasaan penyesalan, kehancuran, dan kehilangan harapan dengan cara yang sangat mendalam dan menggugah.
Puisi "Pernah Dustaku Pernah" adalah refleksi mendalam tentang dampak kebohongan pada kehidupan dan perasaan seseorang. Melalui penggunaan bahasa yang kuat dan simbolisme yang kaya, Radhar Panca Dahana berhasil menggambarkan betapa hancurnya hati dan harapan akibat kebohongan, serta penyesalan yang mendalam setelahnya. Puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan konsekuensi dari tindakan tidak jujur dan pentingnya kejujuran dalam kehidupan.
Karya: Radhar Panca Dahana
Biodata Radhar Panca Dahana:
- Radhar Panca Dahana lahir pada tanggal 26 Maret 1965 di Jakarta.
- Radhar Panca Dahana meninggal dunia pada tanggal 22 April 2021 di Jakarta.
- Selain puisi, Radhar Panca Dahana juga menulis esai, cerpen, novelet, dan naskah drama.