Analisis Puisi:
Puisi "Pada Setiap Petang" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang singkat namun menggugah, yang menggambarkan perasaan sepi dan kesendirian pada saat-saat tertentu.
Gambaran Alam: Puisi ini menggambarkan suasana petang, saat matahari mulai tenggelam dan burung-burung kembali ke sarang mereka. Ini adalah gambaran alam yang menunjukkan perputaran alami kehidupan di alam semesta.
Kesendirian: Meskipun alam sekitarnya dipenuhi dengan aktivitas, pelukisan gambaran yang berbeda terhadap "kau" dalam puisi ini menunjukkan perasaan kesendirian atau terpisah dari kegiatan tersebut. Sementara burung-burung pulang ke sarang mereka, "kau" baru datang dan tidak membawa apa pun selain bayang-bayang.
Interpretasi Metaforis: Bayang-bayang yang dibawa oleh "kau" dalam puisi bisa diinterpretasikan secara metaforis. Mereka mungkin mewakili beban emosional atau kenangan yang dihadapi oleh individu tersebut. Kehadiran bayang-bayang tanpa kehadiran fisik yang sesungguhnya juga dapat mengisyaratkan perasaan kekosongan atau kesendirian.
Makna Filosofis: Puisi ini dapat dilihat sebagai refleksi tentang perjalanan hidup. Meskipun alam semesta terus berputar dan bergerak maju, individu tertentu mungkin merasa tertinggal atau terisolasi dari aliran peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Hal ini menyoroti perasaan kehilangan, kesepian, atau perasaan tidak berarti dalam konteks yang lebih luas.
Keterbatasan dan Kehadiran: Kehadiran "kau" yang baru datang pada setiap petang, tanpa membawa apa pun kecuali bayang-bayang, menunjukkan bahwa individu tersebut mungkin tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan atau dibagikan dengan dunia luar. Ini juga menggambarkan keterbatasan individu dalam menghadapi atau berinteraksi dengan dunia di sekitarnya.
Puisi "Pada Setiap Petang" karya Gunoto Saparie adalah sebuah karya yang menggambarkan perasaan kesendirian dan kekosongan dalam menghadapi perputaran alam dan aktivitas sehari-hari. Dengan gambaran alam yang hidup dan individu yang datang pada saat yang salah, puisi ini mengundang pembaca untuk merenungkan makna filosofis tentang kehadiran, kesendirian, dan keterbatasan dalam kehidupan manusia.
Karya: Gunoto Saparie
Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.
Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).
Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.
Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.
Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).
Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.
Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.