Puisi: Kota Lama Semarang, Suatu Siang (Karya Gunoto Saparie)

Puisi "Kota Lama Semarang, Suatu Siang" menciptakan gambaran yang mendalam tentang kota tua Semarang dan mengundang pembaca untuk merenungkan ...
Kota Lama Semarang,
Suatu Siang

ada gereja tua
gedung-gedung purba
mungkin dari abad-abad silam
mengisahkan kota yang kusam

haruskah matamu sayu 
memandang puing-puing sejarah
menatap arus lalu lintas riuh
merenungi bayang-bayang masa lalu

selamat siang, kota lama
aku tak tahu untuk apa kenangan
dan impian harus selalu ada
ketika riwayat dan silsilah berserakan

haruskah wajahmu masai
menyesali robohnya cagar-cagar budaya
haruskah senyummu getir dan sepi
ketika pada batas masa kelak kita tiada

2023

Analisis Puisi:
Puisi "Kota Lama Semarang, Suatu Siang" karya Gunoto Saparie membawa pembaca dalam sebuah perenungan tentang keberadaan dan masa lalu kota tua Semarang.

Gambaran Kota Lama: Dalam puisi ini, Gunoto Saparie menciptakan gambaran tentang Kota Lama Semarang yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan tua, seperti gereja-gereja dan gedung-gedung purba. Bangunan-bangunan ini mengisahkan masa lalu yang kusam dan memancarkan aura nostalgia dari abad-abad yang telah berlalu.

Penyesalan dan Refleksi: Puisi ini menghadirkan penyesalan dan refleksi atas keadaan kota tua yang kusam dan berdebu. Penyair menanyakan apakah mata harus menyedihkan diri saat melihat puing-puing sejarah dan menghadapi riuhnya lalu lintas kota modern. Hal ini mengundang pembaca untuk merenung tentang pentingnya menghargai dan merawat warisan budaya serta sejarah sebuah kota.

Pertanyaan tentang Kenangan dan Masa Depan: Penutup puisi membawa pembaca pada pertanyaan filosofis tentang keberadaan kenangan dan impian dalam konteks keruntuhan masa lalu. Haruskah kita menyimpan kenangan akan masa lalu yang hancur? Apakah impian harus tetap hidup meskipun riwayat dan silsilah sudah terlupakan? Pertanyaan-pertanyaan ini menggambarkan keraguan dan ketidakpastian tentang masa depan kota lama Semarang.

Puisi "Kota Lama Semarang, Suatu Siang" menciptakan gambaran yang mendalam tentang kota tua Semarang dan mengundang pembaca untuk merenungkan tentang pentingnya melestarikan sejarah dan budaya. Dengan bahasa yang sederhana namun penuh makna, puisi ini mengajak kita untuk memikirkan peran kita dalam menjaga warisan masa lalu demi masa depan yang lebih baik.

Gunoto Saparie
Puisi: Kota Lama Semarang, Suatu Siang
Karya: Gunoto Saparie

Biodata Gunoto Saparie:
Gunoto Saparie lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal yang ditempuh adalah Sekolah Dasar Negeri Kadilangu, Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Pertama Negeri Cepiring, Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Negeri Kendal, Akademi Uang dan Bank Yogyakarta, dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Sedangkan pendidikan nonformal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab, Gemuh, Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab, Gemuh, Kendal.

Selain menulis puisi, ia juga mencipta cerita pendek, kritik sastra, esai, kolom, dan artikel tentang kesenian, ekonomi, politik, dan agama, yang dimuat di sejumlah media cetak terbitan Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, Brunei Darussalam, Malaysia, Australia, dan Prancis. Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), Mendung, Kabut, dan Lain-Lain (Cerah Budaya Indonesia, Jakarta, 2019), dan Lirik (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2020).

Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004).

Novelnya Selamat Siang, Kekasih dimuat secara bersambung di Mingguan Bahari, Semarang (1978) dan Bau (Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal, 2019) yang menjadi nomine Penghargaan Prasidatama 2020 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Ia juga pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015). Sejumlah puisi, cerita pendek, dan esainya termuat dalam antologi bersama para penulis lain.

Puisinya juga masuk dalam buku Manuel D'Indonesien Volume I terbitan L'asiatheque, Paris, Prancis, Januari 2012. Ia juga menulis puisi berbahasa Jawa (geguritan) di Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Ia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta), Tanahku (Semarang), Delik Hukum Jateng (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang), Pemimpin Redaksi Radio Gaya FM (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Faktual (Semarang), Redaktur Pelaksana Tabloid Otobursa Plus (Semarang), dan Redaktur Legislatif (Jakarta). Kini ia masih aktif menjadi Redaktur Pelaksana Majalah Info Koperasi (Kendal), Majalah Justice News (Semarang), dan Majalah Opini Publik (Blora).

Saat ini Gunoto Saparie menjabat Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia ‘Satupena’ Jawa Tengah, dan Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah. Sebelumnya ia pernah menjabat Ketua Kelompok Studi Seni Remaja (KSSR) Kendal, Ketua Pelaksana Dewan Teater Kendal, Sekretaris Forum Komunikasi Studi Mahasiswa Kekaryaan (Fokusmaker) Jawa Tengah, Wakil Ketua Ormas MKGR Jawa Tengah, Fungsionaris DPD Partai Golkar Jawa Tengah, Sekretaris DPD Badan Informasi dan Kehumasan Partai Golkar Jawa Tengah, dan Sekretaris Bidang Kehumasan DPW Partai Nasdem Jawa Tengah.

Sejumlah penghargaan di bidang sastra, kebudayaan, dan jurnalistik telah diterimanya, antara lain dari Kepala Perwakilan PBB di Jakarta dan Nairobi, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, Menteri Perumahan Rakyat, Menteri Penerangan, Menteri Luar Negeri, Menteri Lingkungan Hidup, Pangdam IV/ Diponegoro, dan Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah.
© Sepenuhnya. All rights reserved.