Roman yang berjudul Larasati karya Pramoedya Ananta Toer merupakan roman yang berlatar waktu pada saat masa revolusi Indonesia. Di dalam roman ini, Pramoedya menunjukkan pandangannya yang mengkritik pemerintah serta penjajahan melalui tokoh utamanya yang bernama Larasati saat terjadinya Revolusi Indonesia pascaproklamasi.
Pramoedya menunjukkan bahwa yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan bukan hanya prajurit laki-laki dan kaum muda saja, tetapi kaum perempuan pun turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan caranya masing-masing.
Perjuangan kaum perempuan memang tidak berbentuk mengarahkan dan menembakkan senjata pada musuh, namun dengan semangat di dalam jiwa dan raga, semangat untuk mempertahankan kemerdekaan, dan memilih untuk tidak tunduk takut kepada bangsa penjajah merupakan salah satu bentuk perjuangan kaum perempuan. Sehingga Pramoedya ingin pembaca sadar bahwa yang berjuang pada masa revolusi saat itu bukan hanya pria-pria saja tetapi wanita pun ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan caranya masing-masing.
1. “Revolusi dia adalah guru. Dia adalah penderitaan. Tetapi dia pun harapan. Jangan khianati Revolusi!” (Toer, 2010:78). Sebagai bukti semangat dan kepercayaan Larasati untuk tetap berjuang saat masa Revolusi.
Di dalam buku ini, Pramoedya menunjukkan bahwa untuk meraih kemerdekaan dan usaha untuk lepas dari campur tangan bangsa asing yakni bangsa penjajah merupakan perjuangan yang penuh dengan tumpah darah, diiringi dengan keberanian, dan tekad yang kuat. Kelakuan para kaum munafik yang egois, pemimpin yang banyak omong namun tidak ada artinya bagi rakyat-rakyat, dan sepenggal kisah cinta mewarnai cerita ini.
Pramoedya menunjukkan betapa sulitnya kehidupan rakyat-rakyat masa itu, berpindah dari satu kota ke kota lain sama saja dengan perjalanan yang penuh dengan suasana mencekam dan menantang maut.
Di samping perjuangan perempuan, Pramoedya juga menceritakan perjuangan revolusi dari sudut pandang kaum muda. Kaum muda yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk melawan musuh.
Pramoedya menunjukkan bahwa ketika tanah air sedang diserang dan ditindas, kita sebagai warga negara jangan diam saja menerima penindasan itu, namun kita harus maju, berani memperjuangkan kehidupan yang bebas dari penjajahan dan campur tangan Belanda.
Meski negara ini sudah merdeka, namun tetap saja yang berkuasa di tanah air pada saat itu malah bangsa Belanda dan sekutunya. Rakyat-rakyat pada masa itu harus hidup dengan penuh ketakutan, ketegangan, kelaparan, dan tidak pernah merasa tenang sehingga tidur setiap malam pun tidak bisa karena harus terus waspada akan kedatangan pasukan Belanda yang membombardir tempat dan kehidupan mereka.
Melalui tokoh yang bernama Mardjohan, Pramoedya memperlihatkan bagaimana contoh seseorang yang memiliki tingkat keegoisannya tinggi. Sehingga dengan bangga mengakui ia seorang pengkhianat bagi bangsa nya sendiri. Ia berkhianat untuk kepentingannya sendiri dan memilih untuk memihak pada penjajah karena ia tidak ingin kalah dan tersiksa seperti pribumi lainnya.
2. “Dengar! Kalau setiap orang seperti kau. Revolusi tidak bakal ada.” “Revolusi bukan tidak bakal ada, Ara, tetapi tidak ada!” (Toer, 2010:54)
3. “Setelah kau dapat kedudukan dari ayahnya kau bakal dapat wanita manapun juga yang kau suka, selain si nona, selain aku. Dan besok atau lusa kalau berpihak pada Revolusi, bukan karena kau telah sadar, tetapi karena mau ikut mendapatkan kemenangan.” (Toer, 2010:55)
Pada buku ini diperlihatkan bahwa seorang perempuan yang dikenal sebagai manusia yang lemah sehingga tidak diperbolehkan untuk ikut bertempur. Meskipun Larasati telah membuktikan bahwa ia mampu dan bisa bertempur bersama para prajurit laki-laki lainnya.
Pramoedya juga menampilkan pandangan dari mayoritas yang menganggap bahwa yang pekerjaannya bukan di ranah politik dan pemerintahan tidak mempunyai hak untuk memihak dan membela diri.
4. “Kau seniman. Seniman mesti netral kalau ada sengketa politik atau militer. Seni selamanya untuk seni.” (Toer, 2010:38)
5. “Begitulah seniman. Tapi kalau perasaannya dapat ditundukkan, orangnya hanya membuntut di belakang,” Mardjohan menghibur mereka. (Toer, 2010:66)
Menurut saya, penulisan suasana yang mencekam dan menakutkan dilengkapi dengan pertumpahan darah ditulis oleh Pramoedya secara detail merupakan salah satu tujuan nya ketika menulis roman ini, yakni ingin menunjukkan kepada pembaca yang kemungkinan karyanya ini akan dibaca dari berbagai kalangan dan berbagai generasi di masa yang akan datang. Sehingga, pembaca dapat mengetahui dan membayangkan suasana yang dihadapi para pejuang di masa-masa itu dan menjadikan kita sebagai pembaca dapat lebih menghargai serta menikmati kemerdekaan ini dengan menjadi penerus bangsa yang dapat mengharumkan Indonesia.
6. “Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada, keadilan.” (Toer, 2010:59)
7. “Tidak, tidak mungkin Revolusi kalah, dengan pemuda-pemuda semacam itu, pemuda sekeras itu. Kalau Revolusi kalah, bukan karena mereka kurang berjuang. Kalau Revolusi kalah pasti karena para penguasanya yang berkhianat!” (Toer, 2010:108)
Dari kutipan-kutipan nomor 6 dan 7 di atas, dapat disimpulkan bahwa buku ini berisi kritikan tajam Pramoedya terhadap pemerintah, para pemimpin, petinggi tentara, dan orang-orang yang berkuasa di negeri ini yang menyebabkan semangat revolusi yang membara itu sempat meredup dan bangsa Belanda semakin berkuasa di tanah air.
Penyebab Revolusi ini meredup adalah para pemimpin, petinggi negara, dan orang-orang yang berkuasa di negeri ini sangat murahan, tergiur dengan sejumlah kecil yang diberikan oleh pimpinan musuh.
Semua pidato di atas mimbar dari orang-orang yang ingin memimpin perang gerilya ini sekarang malah mereka yang kabur dan semua pidato itu hanyalah omong kosong. Pemimpin dan orang-orang yang berkuasalah yang menyebabkan negara ini terjajah, diporak-porandakan, tersiksa, ditindas, dan hidup penuh kewaspadaan dan kelaparan. Perkumpulan dari negara asing yang datang ke tanah air ini tidak jauh berbeda dari pengemis yang miskin dan hanya ingin meraup harta kekayaan yang ada di negeri ini.
Perjuangan kaum muda, kaum perempuan, kaum laki-laki, prajurit, dan semua yang turut berjuang dari masa penjajahan sampai pada masa revolusi pascaproklamasi semata-mata hanya ingin meraih sebuah kemenangan, terlepas dari penderitaan serta campur tangan bangsa asing dan mempertahankan kemerdekaan ini. Sehingga, manusia-manusia yang lahir di masa yang akan datang tidak perlu merasakan penderitaan ditindas oleh bangsa asing di negeri sendiri dan dapat menikmati kemenangan.
Perjuangan yang dilakukan para pejuang di masa itu sebagai tonggak kebangkitan dan keberanian agar bangsa asing tidak seenaknya menjajah negeri ini.
Biodata Singkat:
Rahmadiani Zein lahir pada tanggal 12 Desember 2003. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswi, Fakultas Ilmu Budaya, di Universitas Padjadjaran.