Mengulas kembali Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso, sebuah film dokumenter kriminal (true-crime documenter film) hasil distribusi Netflix yang baru-baru ini mengangkat kembali sebuah kasus pembunuhan lama yang sempat menyita atensi publik pada tahun 2016, yakni kasus pembunuhan kopi sianida.
Film dokumenter yang dirilis pada tanggal 28 September 2023 ini disutradarai oleh Rob Sixsmith dengan berfokus kepada kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dan Jessica Kumala Wongso sebagai orang yang didakwa dan divonis sebagai pelaku pembunuhan tersebut.
Dengan Jessica yang sedang menjalankan masa hukumannya di penjara, film ini memfokuskan pembahasannya terhadap masing-masing individu yang terlibat dalam proses berjalannya kasus ini. Mulai dari keluarga Salihin hingga tim pembela Jessica, termasuk juga jaksa penuntut publik yang menangani proses persidangan, serta para saksi, ahli, dan jurnalis yang seluruhnya memegang peran penting dalam peristiwa tersebut.
Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso berhasil membangkitkan kembali perhatian masyarakat terhadap sebuah kasus yang seharusnya sudah lama selesai, diiringi oleh kemunculan berbagai kontroversi yang membagi masyarakat menjadi dua kelompok dengan pandangan berbeda.
Pada tahun 2016 silam, hampir seluruh opini publik didominasi oleh pandangan yang seakan-akan menyudutkan Jessica sebagai pelaku pembunuhan Mirna, sehingga situasi ini menciptakan citra negatif terhadapnya di mata masyarakat. Sirkumstansi yang kompleks tersebut diklarifikasi oleh pemilik akun @nanadianasari di platform Tiktok yang pada tanggal 4 Oktober lalu mengunggah video responsi terhadap kasus pembunuhan kopi sianida melalui sudut pandangnya sebagai seorang mahasiswa penyiaran yang terjun langsung ke lapangan pada saat kasus ini terjadi pada tahun 2016. Nadia mengungkapkan bahwa keadaan pada masa itu sangatlah berbeda dengan masa kini.
Media sosial pada masa itu pengaruhnya tidak sebesar sekarang, karena televisi dan koran masih berperan besar sebagai media informasi yang ‘menyetir’ opini publik. Ia juga menambahkan bahwa pada masa itu, ia, para penyiar, wartawan, serta penggiat dalam dunia jurnalistik lainnya seolah-olah dicekoki oleh seluruh pemikiran-pemikiran media.
Seluruh opini yang beredar mengarah kepada satu opini yang sama, yaitu opini yang menyudutkan Jessica sebagai pelaku kejahatan kasus tersebut bahkan sebelum ia ditetapkan menjadi tersangka. Ia berpandangan bahwa kala itu, rakyat telah digiring opininya tanpa sempat memilah informasi.
Tetapi yang menariknya, ketika kasus ini menjadi topik hangat dalam perbincangan publik seperti saat ini, hampir seluruh pandangan masyarakat kini berbalik untuk memberikan dukungan kepada Jessica. Publik mulai mempertanyakan kredibilitas kelompok penuntut yang menjatuhkan vonis hukuman 20 tahun penjara kepada Jessica. Hal ini berakar dari kejanggalan-kejanggalan yang terkuak melalui penayangan film berdurasi satu jam dua puluh enam menit tersebut.
Beragam pandangan kritis disampaikan oleh para pemengaruh (influencer) maupun figur publik di berbagai platform sosial yang berhasil mewakili suara masyarakat mengenai kasus ini. Apakah benar bahwa film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso hanya sekadar memberikan jawaban atas pertanyaan publik yang masih abu-abu, atau ada fakta yang berusaha diungkap melalui penayangannya?
Berbicara mengenai kasus yang sedang hangat-hangatnya disorot oleh publik, tepat pada momentum inilah simpang siur berita merajalela, yang membuat situasi yang pada awalnya sudah pelik menjadi kian bersengkarut.
Terlalu banyak berita bohong (hoaks) dan berita burung (isu dan rumor) bertebaran sana-sini yang membuat masyarakat awam tidak bisa membedakan mana berita yang benar, dan mana berita yang tidak sesuai dengan fakta yang ada. Bahkan, di dalam kasus ini, berita hoaks tidak hanya datang dari selentingan mulut ke mulut oleh masyarakat, namun dari orang-orang yang terlibat langsung di dalam kasus ini.
Semenjak kemunculan film dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso, tokoh-tokoh yang berperan besar bagi kedua pihak di dalam kasus ini seperti Otto Hasibuan selaku penasihat hukum dari Jessica, Dokter Djaja Surya Atmaja selaku saksi ahli di pihak Jessica, Edi Salihin selaku ayah dari mendiang Mirna, Profesor Eddy selaku saksi ahli dari pihak kejaksaan, hingga Shandi Handika yang menjadi salah satu jaksa penuntut umum diundang ke berbagai siniar di platform Youtube, seperti siniar Deddy Corbuzier, Denny Sumargo, hingga Dr. Richard.
Melalui siniar Deddy Corbuzier, Otto Hasibuan-lah yang pertama kali muncul kembali ke media pada tanggal 6 Oktober 2023 untuk membagikan pandangannya terhadap kasus ini. Ia sekaligus ingin meluruskan berbagai berita yang masih berkelintaran di kalangan masyarakat. Otto mengungkapkan beberapa hal, seperti beredarnya foto mendiang Mirna yang pada awalnya kulitnya berwarna kebiruan, namun setelah Dokter Djaja mengungkapkan analisisnya mengenai reaksi tubuh manusia terhadap zat sianida, foto tersebut langsung berubah menjadi merah ceri.
Kemudian, ia juga mengungkapkan bahwa Jessica sempat dibawa oleh Polda untuk dihipnotis, namun berita ini tidak pernah sama sekali dirilis kepada publik. Tim ahli dari pihak Jessica juga membuat pernyataan baru bahwa hasil CCTV yang digunakan sebagai barang bukti di persidangan tahun 2016 silam adalah hasil rekayasa. Terdapat bagian yang diedit dan diulang berkali-kali untuk membuat Jessica seakan-akan menggosokkan tangannya ke celananya.
Sorotan terakhir yang membuat publik semakin gaduh ialah saat Otto melakukan demonstrasi ulang untuk menunjukkan adanya ketidakrelevanan antara daya tampung gelas dengan jumlah air kopi yang diminum mendiang Mirna. Dengan tegas ia menyatakan bahwa gelas yang diperiksa oleh laboratorium dan gelas yang dirilis di berita acara adalah barang yang berbeda.
Melalui poin-poin kontroversial ini saja, masyarakat mulai ramai menggemakan tagar #JusticeForJessica. Publik semakin merasa bahwa kasus ini merupakan kasus yang terjadi karena kelalaian proses hukum. Sistem hukum menjadi lahan konspirasi bagi kepentingan perseorangan maupun kelompok.
Bahkan, di dalam dokumenter Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso sendiri, Erasmus Napitupulu sebagai direktur eksekutif dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengutarakan pendapatnya bahwa kekuasaan yang dimiliki kejaksaan dan kepolisian begitu besar hingga membuat hakim tidak lagi menjadi penengah dalam menangani suatu kasus. Ia setuju bahwa tidak ada bukti keterlibatan Jessica secara langsung yang memberatkan Jessica untuk dituduh sebagai seorang pembunuh.
Hal selanjutnya akan terdengar kontroversial, namun Erasmus secara terang-terangan mengemukakan opininya bahwa Jessica, mungkin saja dinyatakan bersalah karena harus ada seseorang yang dihukum atas kematian seorang.
Menyinggung opini tersebut, opini serupa dikemukakan oleh Esther dalam akun TikTok pribadinya @estherlubis pada tanggal 29 September 2023, yang menambahkan bahwa hal tersebut harus dilakukan supaya salah satu instansi pemerintah dapat ‘terlihat’ bekerja dengan benar dan mendapatkan hasil yang baik.
Kasus ini menjadi sebuah bukti konkret yang menjadi pengingat bagi publik bahwa di era informasi digital, tidak semua hal yang tersebar luas di ranah digital, terutama di media sosial adalah hal yang benar. Bahkan, pernyataan yang disampaikan oleh tokoh-tokoh hukum yang memiliki peran besar dalam penegakkan keadilan dan kebenaran pun belum tentu dapat disahkan keabsahannya.
Bukan artinya kita sebagai seorang awam dapat dengan mudah mendiskreditkan putusan hukum, ataupun menganggap seluruh berita yang beredar adalah sebuah kebohongan belaka. Akan tetapi, peristiwa ini menggarisbawahi betapa pentingnya menumbuhkan pandangan kritis dan penyelidikan secara mendalam sebelum menerima sesuatu sebagai fakta yang tak terbantah.
Memetik esensi dari peristiwa Jessica dan mendiang Mirna, masyarakat harus lebih cermat dalam memilah informasi, baik itu isu yang beredar dari mulut ke mulut maupun isu yang terpampang di media sosial.
Dalam proses ini, masyarakat sebaiknya mempertimbangkan berbagai sudut pandang terbuka, tidak hanya melalui satu perspektif yang sempit dan terbatas. Tindakan ini perlu diambil untuk memastikan agar tidak ada lagi pihak yang mengalami kerugian, baik itu diri sendiri maupun individu lain yang terlibat dalam konteks permasalahan tersebut.
Dengan demikian, keadilan dan kebenaran dapat terwujud dalam bentuk dan porsi yang paling adil dan seimbang.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.