Meninjau kembali pemaknaan tema cinta dalam Cerita Cinta Enrico, Ayu Utami memperluas spektrum interpretasi struktur cinta dan percintaan melalui gagasan-gagasan yang ia berikan. Dalam Enrico dan proses pertumbuhannya menjadi manusia yang ideologis, saya berhasil menangkap berbagai makna kehidupan yang disisipkan oleh pengarang dalam novel yang cukup tebal ini. Tidak heran apabila isi novel ini terasa sangat nyata, sebab kisahnya berangkat dari peristiwa yang nyata terjadi. Novel ini sarat akan pergolakan revolusioner, konsepsi keimanan yang dibaurkan dengan perenungan logis, serta gagasan feminis yang berasal dari pandangan sang pengarang. Dibanding menyebutnya sebuah cerita fiksi, rasanya lebih tepat untuk menyebut novel ini sebagai media pengekspresian ideologi Ayu Utami.
Enrico sebagai tokoh utama terlahir di tengah kericuhan gerilya Pemberontakan PRRI, menjadikannya tumbuh sebagai saudara kembar seperjuangan revolusi Sumatra. Revolusi kaki kurus, begitu orang menyebutnya. Sebab, seluruh pihak yang bertalian pada saat itu yakin akan suatu hal: Revolusi pasti gagal.
Dalam proses penyajian ceritanya, pengarang memberikan latar suasana yang sangat kental akan situasi politis. Enrico dibuatnya menjalani masa muda dalam bentang transformasi yurisdiksi dari pemerintahan Sukarno sampai pemerintahan Soeharto. Di berbagai kesempatan, pengarang pun menyisipkan perspektifnya yang menampilkan keironian rezim pada masa itu, seperti pada kutipan sebagai berikut.
Hari itulah aku tahu bahwa zaman telah berganti. Presiden kami bukan lagi Ir. Sukarno, yang menumpas saudara kembarku si Revolusi berkaki kecil; yang melancarkan operasi Perebutan Irian Jaya, pertempuran yang berakhir bersama kematian kakakku dan menghasilkan pahlawan yang namanya menjadi nama sekolahku. Presiden kami sekarang adalah Soeharto, seorang jenderal. Zaman berganti. Jenderal Soeharto sedang melancarkan operasi lain, operasinya sendiri: operasi membersihkan segala pengaruh PKI dan Sukarno. (Utami, 2012: 98-99)
Namun bukan itu pesan yang ingin Utami sampaikan. Novel ini bukanlah novel bermuatkan kisah kepahlawanan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa, melainkan kisah entitas manusia yang berusaha memperoleh kemerdekaan atas prinsip hidupnya sendiri.
Cerita Cinta Enrico memberikan pemaparan atas perputaran siklus terminologi cinta dalam tiga babak: mencintai, patah hati, membenci. Dalam hal ini, pengarang menyuguhkan ketulusan cinta seorang anak lelaki terhadap ibunya yang penuh devosi.
Utami berupaya untuk menonjolkan dinamika hubungan yang terjadi antara Enrico dan sang ibu, Syrnie Marsimah, dengan ikatan yang tidak main-main. Enrico dimabuk cinta terhadap sosok ibunya yang menjadi panutan hidupnya, kekasih hatinya. Sang ibu yang jelita, anggun, dan berwibawa pun selalu mendambakan seorang anak lelaki yang mencintainya dirinya habis-habisan. Demikianlah babak pertama percintaan mereka dimulai.
Babak kedua: patah hati. Pengarang ingin pembacanya memercayai hal ini, bahwa fase patah hati juga merupakan bagian dari siklus percintaan. Di dalamnya terdapat berbagai variabel; trauma, emosi, perubahan. Syrnie kehilangan putrinya, Sanda, di usianya yang terbilang belia. Berangkat melalui trauma tersebut, kepribadiannya sedikit demi sedikit mulai berubah saat ia bertemu dengan pengabar Saksi Yehuwa—perhimpunan sekte yang memberikannya harapan akan Dunia Baru: harapan untuk sebuah pertemuan yang utuh dengan Sanda. Sejak itu, Enrico menamainya virus Hari Kiamat. Ibunya terus berubah menjadi sosok yang tidak dikenalnya; sosok yang menutup diri dari kenikmatan duniawi, sosok yang terus mewaspadai akan datangnya hari kiamat. Enrico patah hati, ia kehilangan sosok ibu yang selalu menjadi dambaannya. Kerinduannya akan pujian dan senyum manis ibunya membawanya kepada suatu perubahan terhadap dirinya sendiri. Enrico memasuki babak ketiga dalam percintaan: rasa benci.
Rasa benci yang dialaminya hanya menghantarkan ia untuk tumbuh menjadi seorang pembangkang. Dalam sebuah penelitian terhadap 1435 studi kasus, Pinquart (dalam Sumargi, Prasetyo, & Ardelia, 2020) mengutarakan bahwa pola asuh orang tua secara punitif seperti pendisiplinan keras (meliputi hukuman verbal dan fisik) dan kontrol psikologis (penginduksian rasa malu dan rasa bersalah pada anak) sangat memengaruhi permasalahan dalam kepribadian anak.
Dalam hal ini, Syrnie yang semakin hari menarik diri dari Enrico disertai dengan prinsip yang bertolak belakang mengakibatkan Enrico tumbuh menjadi seorang anak lelaki yang badung dan keras kepala. Enrico membentuk tujuan hidupnya: untuk mendapatkan kebebasan dari ibunya.
Pada babak ini, percintaan di antara keduanya masuk ke tahap yang paling kompleks; keduanya dapat saling menyakiti secara tidak sadar. Namun, perlu diingat bahwa Utami memaknai cinta dengan siklus yang berputar. Kemunculan tokoh wanita bernama A merupakan titik balik dari kisah percintaan antara Enrico dengan ibunya. Enrico menemukan sosok ibunya (yang saat itu sudah tiada) di dalam diri A.
Di saat yang sama aku juga tidak bisa menyangkal bahwa padanya aku menemukan perwujudan ibuku dalam masa-masa terindahnya. Kehadirannya membuat aku melihat luruhnya bukit kapur Hari Kiamat dan di dalamnya kutemukan kembali ibuku yang asli, yang berkaki kokoh dan memberikan padaku keajaiban-keajaiban yang ia buat sendiri. Ibuku yang hilang sejak aku kecil dan Sanda meninggal... (Utami, 2012: 214)
Eksistensi tokoh A memunculkan impresi yang cukup kuat bagi alur cerita secara keseluruhan di novel ini. Darinya, pengarang menyisipkan ideologinya terhadap lapisan sosial melalui sudut pandang feminis.
Sebelumnya, penggambaran karakter sang ibu saja sudah begitu kuat sebagai perwujudan yang feminis: wanita kompeten yang tangguh nan jelita. Namun, A membuat saya semakin menyadari pesan yang sedang Utami coba suarakan. Karakternya dengan gamblang menjabarkan sistem kebudayaan patriarkis yang selama ini berkembang di lingkungan kita: “Kenapa ia tidak mau menikah? Katanya karena selama ini perempuan terlalu ditekan oleh nilai, keluarga, dan masyarakat untuk menikah. Lagi pula, tambahnya, ia tidak setuju bahwa suami adalah dengan sendirinya pemimpin istri.” (Utami, 2012: 198). Ideologi yang dimilikinya seakan-akan merepresentasikan ideologi sang pengarang, Ayu Utami, yang pada saat itu memang dikenal sebagai seorang sastrawan wanita yang melawan budaya patriarkis dan menyebarkan paham feminisme melalui karya-karyanya.
Saya rasa, tokoh A yang merupakan satu-satunya tokoh yang tidak memiliki nama panjang di dalam novel ini merupakan tanda bahwa A adalah inisial dari Ayu Utami sendiri. Utami dalam bayang-bayang tokoh A, juga mengambil kesempatannya untuk menyerukan kesetaraan gender dalam lapisan masyarakat. “Semua yang kukritik menganai perkawinan bersumber dari satu hal. Yaitu, tidak setaranya relasi antara perempuan dan lelaki.” (Utami, 2012: 231). Ayu Utami selalu menyisipkan pemikiran hebatnya di setiap karya yang ia tulis semenjak novel pertamanya, Saman, terbit pada tahun 1998. Konsepsi feminisme dan kesetaraan gender tidak pernah lepas dari setiap karyanya, seakan-akan hal ini telah menjadi sentuhan tersendiri bagi karya-karya seorang Ayu Utami.
Di samping gagasan tersebut, ada satu bab yang begitu menarik perhatian saya: Tahun Angka Delapan. Pada bagian ini, Enrico bermonolog mengenai tahun-tahun yang paling bermakna di dalam hidupnya. Menariknya, seluruh tahun tersebut berakhiran angka delapan.
Tahun 1958 merupakan tahun kelahirannya yang bertepatan dengan kelahiran saudara kembarnya, Revolusi Berkaki Kurus. Tahun 1968 merupakan tahun kelahiran anak-anak anjing kesayangan Enrico, bertepatan pula dengan kelahiran sosok penting bagi kehidupan Enrico, A. “Jadi, 1968 adalah kelahiran bayi-bayi perubahan. Yang kakinya lebih kokoh.” (Utami, 2012: 226).
Tahun 1978 menjadi puncak pembangkangan Enrico, dimana ia memutuskan untuk pindah ke Bandung untuk menempuh perguruan tinggi di ITB. Tahun itu cukup ribut dengan pergolakan politis, di mana suara-suara kebebasan anak muda dibungkam sampai awal tahun ajaran baru dimundurkan dari Desember menjadi Juli.
Tahun 1988 adalah tahun dimana Enrico menemukan jati dirinya sebagai penggiat seni dan olahraga ekstrim; ia menggeluti bidang fotografi dan juga menjadi pemanjat tebing. Sepuluh tahun kemudian di tahun 1998, rezim otoriter Soeharto telah runtuh, di mana tahun tersebut akhirnya menjadi tahun reformasi bagi negeri dan bagi Enrico sendiri. Tahun tersebut adalah tahun pertamanya bertemu dengan kekasih hidupnya, A. Agaknya, bab ini menjadi bagian yang paling saya sukai dalam novel ini. Saya mengapresiasi kepiawaian sang pengarang dalam memadupadankan linimasa kisah fiktifnya dengan peristiwa konkret sehingga membuat novel ini terasa sangat nyata.
Pada konklusinya, Ayu Utami sukses menyajikan sebuah novel yang di dalamnya membahas beragam isu-isu krusial yang menurut saya wajib untuk diketahui dan dipahami oleh pembacanya; situasi revolusioner, terminologi cinta dalam tiga babak, dogma agamais, paham feminis, kesetaraan gender, dan lain-lainnya.
Pesan-pesan yang ia sisipkan dalam kelir tokoh dan penokohannya telah tersampaikan dengan baik, secara tersurat maupun tersirat: “Buku ini lebih merupakan usaha penceritaan dan pemaknaan atas perasaan dan gambaran jiwa seorang manusia dalam sejarah.” (Utami, 2012: 241). Melalui Cerita Cinta Enrico, Utami berhasil mengekspresikan gagasan mengenai ideologinya yang dengan kuat memersuasi pembacanya sekaligus mendorong kaum perempuan untuk memperjuangkan hak kesetaraannya.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.