Budi Pekerti dengan skema pemasarannya yang dikemas dengan apik berhasil melabuhkan langkah saya untuk duduk menikmati gemuruh hiburan di teater bioskop. Kala itu sedang asyik-asyiknya berjelajah di samudera digital, sampai akhirnya saya dibuat terpukau dengan satu video yang muncul di beranda Tiktok saya.
Melalui akun Tiktok-nya, Prilly Latuconsina merilis momen eksklusif dari balik layar film Budi Pekerti. Itulah momen ketika sang sutradara, Wregas Bhanuteja, memberikan pengarahan terperinci kepada Prilly untuk menghidupkan peran saat berlakon.
Air mata mengalir setelah menelan ludah, menghembuskan nafas, dan jika memungkinkan, air mata keluar melalui mata sebelah kiri. Beranjak dari rangkaian kata ini, bersemi rasa kagum yang kemudian membakar hasrat ketertarikan saya. Saya menikmati bagaimana Wregas sebagai seorang sutradara memproduksi sebuah karya yang berorientasi kepada detail dan perfeksi.
Melangkah dari klip tersebut, saya mendapati diri saya terlarut dalam sinopsis visual dari Budi Pekerti. Dalam cuplikan pendek yang disebarkan melalui Youtube, saya akhirnya menyadari tema yang diusung oleh film ini.
Budi Pekerti menyajikan alur kisah yang terkesan dekat dan menyentuh lapisan budaya masyarakat. Dimulai dari budaya pemopularitasan suatu hal di jagat maya, perundungan siber, hingga hoaks yang merajalela, beragam isu disajikan film ini, dibuat simpang siur dan kacau hingga mendorong tiap pelakon untuk sampai kepada batasnya masing-masing.
Tanpa ragu, saya memesan dua buah tiket bioskop untuk menikmati film ini bersama Ibu saya. Impresi awal saya: Budi Pekerti menjanjikan pengalaman sinematik yang merayu jiwa.
sumber: suara.com |
Lakon utamanya ialah Ibu Prani, seorang ibu dari dua anak yang bekerja sebagai guru konseling di suatu sekolah dasar. Ia bak hidup dalam realitas yang mencekik setiap nafasnya, saat ia diharuskan menjadi kepala keluarga bagi Pak Didit, suaminya yang mengidap bipolar, juga bagi Muklas dan Tita, kedua anaknya yang baru saja beranjak dewasa.
Penonton dibuat larut dalam sudut perspektif Ibu Prani, yang pada film ini dikarakterkan tangguh untuk melawan kerasnya dunia. Perangainya dibuat memancarkan kewibawaan yang kuat, suaranya mantap saat berbicara, pola pikirnya kritis dan gemilang.
Kisahnya bermula dari kue putu. Ibu Prani yang awalnya hanya berniat membelikan kue putu dari gerai putu populer dan melegenda, kini dihadapkan dengan badai masalah yang tak berkesudahan. Pribadinya yang selalu teguh pada prinsip hidup yang diyakininya membuat ia tidak dapat tinggal diam saat melihat ada seorang pria yang dengan cara curang menyerobot antrian kue putu.
Kata demi kata melayang, perdebatan dirinya dan pria tersebut memuncak dan menarik atensi orang-orang di sekelilingnya, ponsel kanan-kiri mulai merekam seluruhnya yang terjadi, hingga akhirnya Ibu Prani mengalah dan memilih untuk pergi tanpa sempat membeli kue putu. Satu yang tidak ia sadari, bahwa kata-kata yang sempat ia ucapkan sebelum pergi dari gerai putu akan membawanya pada satu titik popularitas negatif. Ah, suwi! Terdengar bak umpatan, namun kenyataannya ia adalah pribadi beretika yang jauh dari ujaran tanpa moralitas.
Dalam sekejap, cuplikan singkat berisikan dirinya yang diduga melontarkan kata-kata tersebut kepada sang penjual putu yang sudah lanjut usia pun viral di ranah digital. Ribuan orang menonton ulang, membagikan dari satu pada yang lain, bahkan sampai dibuatkan meme dan lagu re-mix.
Wajahnya memang tidak jelas tertutup masker, namun sebagian orang yang memang sudah mengenal Ibu Prani tentu dengan mudahnya mengidentifikasi orang di dalam cuplikan tersebut. Betapa tepat bila dijuluki warganet, sebab mereka, ribuan bahkan jutaan orang yang tidak mengenal Ibu Prani hanya mampu menyebarluaskan celaan dan makian hanya karena sepotong video berdurasi detik tanpa konteks yang sebenarnya.
Miris sejatinya. Inilah realitas yang menjadi pesta drama dalam panggung sosial kita saat ini. Tak semua, namun banyak warganet yang terbuai dan menelan mentah apa yang ada di jelajah maya, kemudian merdeka menyuarakan pendapat tanpa tata krama. Kultur dalam domain digital hancur semrawut, ketika orang-orang tunduk pada pandangan mayoritas tanpa mempertimbangkan validitasnya. Setelahnya, polanya berulang tanpa henti.
Klarifikasi ‘pelaku’ bak langkah esensial yang tertulis di buku resep masak, seolah-olah bila tanpa hal itu, hidangan masakan akan kehilangan kesempurnaannya. Tak sedikit pula yang meraih peluang melalui celah kekacauan tersebut untuk kepentingan pribadi: kabar dusta (hoaks) merebak liar, sementara media menyulut opini miring hanya demi keuntungan materialis.
Maka sekali lagi, ini realitas kita. Bagai cambuk dalam keheningan, Budi Pekerti menyentak kesadaran masyarakat perihal urgensi kewaspadaan akan risiko yang mengintai di ranah digital.
Tiada kesempurnaan di dunia ini, sebab dalam begitu banyak keindahan yang diberikan oleh film ini, masih terasa kerumpangan alur kisah yang menciptakan ruang kosong yang terbuka. Dengan sorot pandang saya yang terfokus kepada perkembangan karakter Ibu Prani, karakter Pak Didit yang sejak awal diciptakan dengan unik terasa sia-sia. Karakter yang sudah saya tunggu-tunggu jalan kehidupannya ini, sayangnya tidak dipersembahkan dengan cukup baik oleh sang sutradara.
Sempat terbesit dalam pikiran, bagaimana kisah ini akan berjalan dengan hadirnya pelakon yang hidup dalam dualitas batin? Namun kenyataannya, tokoh Pak Didit seolah-olah hanya dibuat bipolar sebagai jalur pintas agar nantinya Ibu Prani dapat bertemu dengan Gora. Atau mungkin pula, tokoh ini diciptakan hanya semata-mata tambahan beban bagi Ibu Prani. Eksistensinya sepanjang penayangan film bahkan seakan tidak memiliki bobot sebanding dengan Gora yang wajahnya bahkan tidak tercantum di poster film.
Belum lagi, kendala-kendala yang disuguhkan di dalam film ini terasa seolah-olah dilemparkan semata hanya untuk menguji batas ketahanan para pelakon. Segala persoalan tiba tanpa henti seperti gelombang tak berujung, menghantam mereka tanpa henti.
Tepat rasanya diibaratkan sebagai gelombang, sebab persoalan tersebut seketika lenyap tanpa adanya jejak penyelesaian yang jelas. Sosok pria yang berusaha membawa masalah kue putu ke ranah hukum tidak pernah muncul kembali setelah terakhir ia menyerukan somasi kepada Ibu Prani.
Demikian pun dengan sosok nenek penjual kue putu yang kehadiran terakhirnya hanya pada saat Tita mengunjungi kediamannya, padahal solusi atas permasalahan ini sangat dinantikan.
Terakhir, saya masih merenungkan bagaimana Budi Pekerti berakhir dengan kekosongan menghiasi, bak angin yang menghembus tanpa arah di ranah terbuka. Muncul ruang tanya yang besar di dalam benak saya, mengapa kesudahan narasi ini terasa kurang memuaskan jiwa?
Memang benar, film ini tiada cela perihal sinematografis. Penyajian adegan film yang didominasi oleh warna biru dan kuning menghadirkan semiotika warna tersendiri. Kedua warna ini seakan mencitrakan dua elemen rasa yang berbeda, kuning menjadi representasi dari kebahagiaan, sedangkan biru simbol duka.
Di samping itu, penonton tidak lagi meragukan kepiawaian keempat bintang utama yang wajahnya terpampang jelas di poster film. Sebagai seorang aktor, popularitas Sha Ine, Dwi Sasono, Angga Yunanda, dan Prilly Latuconsina sudah menggaung luas di khalayak publik.
Namun, bila memosisikan diri sebagai seorang awam, aspek sinematografi hanyalah bumbu pelengkap dari sebuah film. Fokus penonton cenderung terarah kepada alur cerita yang sedang berkembang. Akhir yang dibuat mengambang, kepindahan Ibu Prani dan keluarga dari tempat asal mereka memunculkan banyak interpretasi. Apa benar, mereka kalah? Atau, memilih untuk mengalah? Mungkinkah jalan yang mereka tempuh nantinya akan mengarahkan mereka pada secercah harapan baru? Terlepas dari banyaknya interpretasi tersebut, banyak dari para penonton yang mengharapkan akhir yang membahagiakan dari film ini.
Terlihat bahwa sebagian besar film memanfaatkan eksistensi tiap-tiap lakon untuk menjadi satu dan menghidupkan alur kisah. Namun, Budi Pekerti menghadirkan sebuah kontras baru. Alur kisah film ini dikembangkan untuk memperkuat eksistensi karakter, utamanya Ibu Prani, dengan harap mampu meninggalkan kesan yang kuat di benak penonton. Hal ini tampak dari berbagai rangkaian persoalan yang seolah dengan sengaja hanya ditujukan untuk mewarnai kehidupan Ibu Prani, sehingga penonton dapat menyaksikan seberapa tangguh dan teguh prinsip hidupnya dalam mengatasi rintangan tersebut. Di titik ini, saya tercerahkan. Ibu Prani yang sosoknya begitu didorong untuk menjadi figur representasi adalah sentral dari judul film ini. Ialah budi pekerti itu sendiri.
Biodata Singkat:
Qhasdinna Syifa Alfiyanni (kerap disapa Syifa) lahir di Bandung pada tanggal 9 Oktober 2004. Ia merupakan seorang mahasiswa program sarjana Sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.