Penyebab banjir di Jakarta sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Banjir di Jakarta menjadi fenomena tahunan yang terus berulang tanpa pernah tuntas untuk menyelesaikan penyebab banjir di Jakarta. Hal ini mengakibatkan masyarakat yang ada sudah menjadi rutinitas untuk menghadapi banjir yang biasa dialami kota Jakarta.
Penyebab banjir di Jakarta mengakibatkan dampak besar bagi masyarakat, terutama menghambat aktivitas. Tak hanya menghambat aktivitas, banjir juga tentunya berimbas pada sektor perekonomian masyarakat Ibu Kota. Terlebih lagi, banyak moda transportasi umum yang terkendala untuk beroperasi.
Berkaca pada banjir Jakarta pada awal 2021, kita dapat melihat bahwa jaringan drainase kota sudah kewalahan menampung air hujan yang turun hingga menimbulkan genangan di berbagai lokasi. Namun, secara garis besar, selain drainase ada dua faktor utama yang kerap dianggap sebagai penyebab banjir di Jakarta yaitu curah hujan yang tinggi dan penurunan permukaan tanah.
Penyebab bajir di Jakarta yang paling utama ialah drainase atau kawasan resapan air. Minimnya kawasan resapan air sangat berpotensi terjadinya banjir apalagi di kota besar seperti Jakarta. Kurangnya Ruang Tebuka Hijau atau RTH membuat kawasan resapan air berkurang sehingga menyebabkan banjir. Tak hanya itu, pembangunan gedung dan hotel-hotel di wilayah Jakarta menyebabkan penggunaan air tanah secara berlebihan. Berdasarkan informasi yang berhasil didapatkan Jakarta mengalami penurunan muka tanah sebanyak 5-12 cm per tahun. Kondisi ini membuat potensi banjir semakin besar.
Selain dari kawasan resapan air, perlu kita ketahui bersama curah hujan yang tinggi di Jakarta sangat berpengaruh terhadap terjadinya banjir. Ibukota Jakarta telah dilanda hujan tinggi sejak tahun 2013 dan terus meningkat setiap tahunnya.
Menurut Peneliti Sains Atmosfer dengan Bidang Kepakaran Klimatologi dan Perubahan Iklim di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Erma Yulihastin mengungkapkan bahwa pada tahun 2020 lalu, telah dibuktikan secara statistik memiliki keterkaitan dengan hujan ekstrem yang selama ini memicu banjir-banjir besar di DKI Jakarta, seperti banjir Jakarta tahun 2002, 2004, 2007, 2008, 2013, dan 2014.
Penurunan permukaan tanah juga cukup berpengaruh terhadap terjadinya banjir di Jakarta. Menurut Takagi et al. (2015), penurunan permukaan tanah di Jakarta dapat mencapai rata-rata 12 cm/tahun, dan terjadi dengan lebih ekstrem di bagian pesisir utara Jakarta dengan laju penurunan hingga 25cm/tahun. Hal ini terjadi karena sebab bangunan di permukaan dan ekstraksi air tanah yang berlebih. Bahkan saat ini masih ada 35 persen, masyarakat Jakarta menggunakan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Akibatnya, tinggi muka air tanah di Jakarta semakin dangkal dan kapasitas simpan air menjadi lebih rendah.
Dalam hal ini pemerintah juga harus memikirkan apa yang harus dilakukan untuk menanggulangi terjadinya banjir di Jakarta. Banyak hal yang harus dibenahi. Contohnya membuat drainase vertikal, penambahan ruang terbuka hijau, dan lain-lain.
Sebagai langkah antisipasi kurangnya daerah resapan air hujan dan penurunan muka tanah, Pemprov DKI Jakarta secara masif membuat drainase vertikal untuk membantu penyerapan air ke tanah dan menampung cadangan air bersih. Sebagai informasi, drainase vertikal yang telah dibangun oleh Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta di tahun 2021 hingga bulan September sebanyak 6.967 titik, tersebar di 5 kota administrasi. Selain itu, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lainnya di lingkungan Pemprov DKI Jakarta, masyarakat umum, dan komunitas turut membangun drainase vertikal, sehingga total sudah terbangun 11.975 titik drainase vertikal di Jakarta.
Pemprov DKI Jakarta juga menambahkan ruang terbuka hijau yang turut menjadi kawasan serapan air hujan, yang mana tahun ini ditargetkan ada 12 taman baru untuk melengkapi 57 Taman Maju Bersama (TMB) yang sudah ada. Selain itu, ada pula Taman Grande, yakni merevitalisasi taman-taman yang sudah ada sehingga naik kelas, contohnya Taman Tebet yang saat ini sedang proses dikerjakan. Lalu, salah satu RTH lainnya adalah Hutan Mangrove di Jakarta Utara.
Terlepas dari semua ini entah salah pemerintah atau bukan, sebagai penduduk di Kota Jakarta hendaknya menjaga ketertiban kota agar terhindar dari Banjir. Dengan melakukan hal kecil, seperti tidak membuang sampah sembarang, tidak menebang pohon secara ilegal di hutan. Hal ini sudah cukup baik untuk mencegah banjir di Jakarta. Sudah sepatutnya sebagai penduduk di Jakarta juga ikut andil dalam membantu pemerintah dalam mencegah terjadinya banjir Jakarta dan jangan melulu menyalahkan pemerintah terkait terjadinya banjir di Jakarta.
Biodata Penulis:
Tomy Rizky Wahyu Akbar lahir pada tanggal 1 Mei 2005 di Surakarta.