Bulan ramadhan menjadi bulan yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh umat muslim di dunia. Ini adalah bulan suci, setiap umat muslim melaksanakan ibadah puasa dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Bagi umat muslim, Ramadhan bukan hanya tentang menahan makan dan minum saja, tapi juga tentang pemurnian jiwa, meningkatkan keimanan, dan kebersamaan dalam kebaikan. Bulan ramadhan juga dipandang sebagai bulan yang penuh berkah karena setiap amalan baik yang dilakukan akan dilipatgandakan.
Sebagai seorang muslim saya ikut melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Namun tahun ini berbeda, tahun ini saya berada jauh dari keluarga karena harus berkuliah di luar kota. Merayakan Ramadhan jauh dari keluarga bukanlah hal yang mudah bagi mahasiswa yang merantau seperti saya. Saya harus bangun lebih awal dan menyiapkan makanan untuk sahur. Pernah suatu hari saya telat bangun untuk menyiapkan sahur. Alhasil saya sahur hanya dengan air putih dan satu potong martabak manis yang saya beli semalam.
Merayakan Ramadhan jauh dari rumah membawa tantangan tersendiri bagi mahasiswa. Bagi sebagian mahasiswa, Ramadhan di perantauan adalah momen yang penuh tantangan dan sangat menguji kemandirian. Kita akan dihadapkan pada suasana yang berbeda, terpisah dari keluarga dan lingkungan yang biasanya menjadi pendukung utama dalam menjalani ibadah puasa. Tidak ada kebersamaan saat berbuka dan sahur menjadi bagian dari tantangan emosional yang harus dihadapi. Dengan kegiatan perkuliahan yang padat, menjaga fokus adalah hal sulit. Ditambah lagi harus menghadapi rasa kantuk untuk menyiapkan makanan sahur yang akan menguji kemandirian.
Berbagai rutinitas sehari-hari akan dilakukan sendiri oleh mahasiswa di perantauan. Mulai dari bangun jam 3 pagi untuk sahur, berangkat kuliah, menghadapi dosen killer, dan kegiatan lainnya. Memikirkan menu buka puasa seharian juga menjadi rutinitas baru saat bulan Ramadhan. Setelah itu, mencari makanan untuk berbuka puasa sendirian di waktu sore menjadi hal yang biasa dilakukan. Sebagai mahasiswa juga harus bisa mengtur waktu untuk kegiatan akademik dan ibadah. Seperti tetap melaksanakan shalat tarawih di tengah gempuran tugas yang tidak ada habisnya.
Menjalankan ibadah puasa di kampung halaman dan di perantauan sangat berbeda. Di kampung halaman, Ramadhan biasanya diisi dengan tradisi khas dari masing-masing daerah, seperti tarawih berjamaah di masjid, buka puasa bersama keluarga, dan kegiatan keagamaan lainnya yang melibatkan masyarakat sekitar. Di perantauan, tradisi-tradisi ini mungkin tidak seintens di kampung halaman karena ada perbedaan budaya. Suasana ramai, hangat, dan bahagia yang dirasakan di kampung halaman tidak akan ditemukan lagi di perantauan. Kesepian dan kesendirian menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari seorang mahasiswa perantau karena jauh dari keluarga dan orang-orang dekat. Tak jarang mereka akan sahur dan berbuka puasa dengan lauk air mata.
Kesendirian di perantauan saat menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan menjadi pengalaman yang mendalam dalam mengajarkan kemandirian. Kesendirian mendorong mahasiswa perantau untuk menjadi orang yang lebih mandiri dalam melakukan segala hal. Selain itu, skill manajemen waktu yang baik juga akan terasah pada waktu ini. Kesendirian di perantauan saat bulan Ramadhan juga menyadarkan tentang arti penting sebuah kebersamaan. Jauh dari keluarga dan orang-orang terdekat menyadarkan bahwa momen-momen bersama yang sebelumnya mungkin dianggap remeh, seperti berbuka puasa bersama atau sahur di tengah kehangatan keluarga, ternyata memiliki nilai yang sangat berarti.
Momen kesendirian ini bisa menjadi kesempatan bagi mahasiswa perantau untuk lebih fokus dan konsentrasi dalam menjalankan ibadah. Mereka bisa lebih mendalami makna salat, memaknai ayat-ayat Al-Quran, dan merenungkan nilai-nilai spiritual lebih mendalam. Dalam kesendirian, mahasiswa perantau sering kali merasakan kehadiran Tuhan yang lebih kuat. Mereka belajar untuk mengandalkan iman dan keyakinan pribadi dalam menjalankan ibadah, tanpa bergantung sepenuhnya pada orang sekitar atau keluarga. Pengalaman ini akan memperbanyak rasa syukur atas nikmat akan kebersamaan.
Ramadhan di perantauan menjadi momen untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik. Jauh dari zona nyaman, memaksa mahasiswa perantau untuk bisa menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan sendiri. Walaupun sulit, hal ini akan membentuk kepribadian yang lebih dewasa dari sebelumnya. Momen ini menjadi sebuah perjalanan menemukan diri. Bertumbuh tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara personal. Mereka akan belajar tentang bertahan, berani, dan kekuatan hati yang akan membentuk karakter untuk kehidupan di masa depan.
Merenungkan arti Ramadhan, terlepas dimana kita berada, adalah hal penting untuk sepenuhnya memaknai bulan suci ini. Bukan sekadar rutinitas tahunan, tapi sebuah momen untuk belajar dan tumbuh menjadi orang yang lebih baik. Untuk mahasiswa perantau, ayo kita pelihara semangat Ramadhan walaupun berada jauh dari keluarga dan kampung halaman. Kesucian dan keberkahan bulan Ramadhan ini mengajarkan untuk tumbuh dan menemukan diri dalam kesendirian di perantauan. Ayo kita sambut bulan Ramadhan dengan hati yang lapang dan semangat yang tak pernah padam.
Biodata Penulis:
Anisa Nuraini (biasa dipanggil Anisa) lahir pada tanggal 15 Agustus 2005 di Magelang. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret.