Muharram di Titik Utopia
Hadir menghempas udara panas.
Watak dan tubuh beringas meranggas
melecut rasa tak kuasa
tinggalkan bencana dalam tahta.
Panas kering hawa gurun pasir.
Oase menggiring kawanan unta
pada alun Bilal Bin Rabbah
menyerukan datangnya Sang waktu.
Hari merambah bulan
tahun mengunyah abad.
Kulihat geliatmu menyapa kelam
bangkitkan bencana dalam tahta.
Hari ini empat belas abad silam
jarak menjadi semakin berjarak
gua hiro tak sanggup hadirkan sunyi
pada langkah kaki yang repot sendiri.
Saat suara adzan silih berganti
tak berhenti dari satu gurun ke lain lembah.
Aurat tertutup balutan mode
perlahan hadirkan angkara.
Aku melihat ada pengingkaran nurani
kompromi tak berdasar sebagai apologi.
Gelontorkan trend tauhid beralas logika
aku tak mengerti bagaimana cara sembunyi.
Hari ini empat abad silam
aku merasa ada yang berlari melepas syahadat.
Agama-Mu diiyakan
tuntunan-Mu disublimkan
atas nama agama
atas nama budaya
atas nama politik
atas nama kesejahteraan.
Hari ini empat belas abad silam
agama menipu agama
budaya memperbudak budaya
politik menghasut politik
kesejahteraan kau kangkangi sendirian.
Hari ini empat belas abad silam
muharram semakin jelas jaraknya
muharram semakin utopis nampaknya.
Ya Allah ... harus bagaimana aku ini ...
astaghfirullahal'adzim ...
Tangerang, 1 Muharram 1435 H
Analisis Puisi:
Puisi "Muharram di Titik Utopia" karya Away Enawar menggambarkan perenungan mendalam tentang agama, budaya, politik, dan kondisi dunia saat ini.
Penggambaran Ketegangan dan Kegelisahan: Puisi ini dimulai dengan gambaran panasnya udara dan keberingasan tubuh yang mencerminkan ketegangan dan kegelisahan yang dirasakan oleh penulis. Ada perasaan tak kuasa dalam menghadapi bencana dan tantangan yang ada.
Pemanggilan Waktu dan Ruang: Dalam puisi ini, penulis menyebutkan Bilal Bin Rabbah, seorang sahabat Nabi Muhammad yang terkenal dengan panggilan adzan. Ini menciptakan suasana spiritual dan menyoroti pentingnya waktu dan tempat dalam konteks keagamaan.
Refleksi atas Waktu yang Berlalu: Penulis merenungkan perjalanan waktu dan mengaitkannya dengan kondisi saat ini. Dia merasa bahwa meskipun telah berlalu empat belas abad sejak peristiwa tertentu, masalah-masalah yang dihadapi masih sama, bahkan semakin kompleks.
Kritik Terhadap Penggunaan Agama, Budaya, Politik: Puisi ini menyampaikan kritik terhadap penggunaan agama, budaya, dan politik sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, seperti kekuasaan atau kendali atas orang lain. Penulis menunjukkan bagaimana hal ini dapat menyebabkan penyalahgunaan dan penipuan terhadap nilai-nilai yang seharusnya dijunjung tinggi.
Pertanyaan dan Penyesalan: Puisi ini diakhiri dengan serangkaian pertanyaan dan penyesalan pribadi penulis terhadap kondisi dunia yang kompleks. Dia merasa kebingungan dan terpukul dengan ketidaksempurnaan dunia yang tampaknya semakin jauh dari titik utopia yang diharapkan.
Puisi "Muharram di Titik Utopia" adalah sebuah refleksi yang dalam tentang ketegangan, kegelisahan, dan kritik terhadap kondisi dunia saat ini. Penulis menyoroti kompleksitas hubungan antara agama, budaya, politik, dan manusia, sambil merenungkan harapan dan kekecewaan terhadap perjalanan waktu dan ruang.
Karya: Away Enawar