Dalam era digital yang semakin maju, aplikasi peta digital seperti Google Maps telah menjadi pilihan dalam navigasi sehari-hari. Namun, meskipun teknologi ini telah merajalela, masih ada kesenjangan yang signifikan dalam penggunaannya, terutama terkait dengan gender. Di antara berbagai tantangan yang dihadapi dalam penggunaan teknologi ini, salah satunya adalah persepsi bahwa perempuan memiliki kesulitan dalam membaca Google Maps.
Faktanya, studi menunjukkan bahwa kesenjangan gender dalam akses dan pemanfaatan teknologi masih menjadi permasalahan yang relevan di berbagai belahan dunia. Beberapa faktor yang memengaruhi kemampuan perempuan dalam menggunakan Google Maps termasuk perbedaan preferensi penggunaan teknologi, keterbatasan akses terhadap pendidikan digital, serta aspek sosial dan budaya yang memengaruhi kepercayaan diri dan kemandirian dalam menggunakan aplikasi tersebut.
Kamu pasti sudah tidak asing lagi dengan perspektif jika perempuan kesulitan dalam membaca Google Maps bukan? memang benar adanya bahwa perempuan lebih sulit membaca google maps jika dibandingkan dengan laki-laki. Tetapi tentu tidak berlaku pada semua perempuan, namun anggapan tersebut sudah terlanjur melekat. Kecenderungan perempuan sulit membaca Google Maps banyak dianggap terkait dengan kemampuan navigasi spasial.
Perempuan dan laki-laki memiliki kemampuan navigasi spasial yang berbeda. Menurut riset, laki-laki memang memiliki kemampuan spasial yang lebih tinggi. Jadi, kemampuan spasial tersebut yang membuat kita lebih mudah memahami hubungan antara objek dan ruang (atau tempat) dengan lebih baik. Hal ini juga dipengaruhi oleh faktor hormonal. Tingkat hormon testosteron laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan sehingga membuatnya lebih unggul dalam navigasi. Hipotesis ini telah diadakan penelitian lanjutan dimana perempuan yang diberi tambahan hormon testosteron meningkat kemampuan navigasinya.
Menurut Carl Pintzka, peneliti di Norwegian University of Science and Technology (NTNU), cara kerja otak laki-laki lebih fokus pada proses navigasi ke tempat tujuan berdasarkan arah jalan atau arah mata angin. Sedangkan kebanyakan cara kerja otak perempuan dalam navigasi yaitu melihat tempat tujuan dengan menghafal rute. Menurut Pintzka, melihat arah mata angin dalam mencapai tujuan akan lebih efektif dibanding menghafalnya.
Gambar MRI otak memperlihatkan bahwa laki-laki dan perempuan menggunakan area otak yang luas ketika mereka bernavigasi, tetapi dengan area berbeda. Mayoritas laki-laki menggunakan hippocampus, sedangkan perempuan menggunakan area frontal. "Misalnya, peneliti lain telah mendokumentasikan bahwa perempuan lebih baik dalam menemukan objek secara lokal daripada laki-laki," jelasnya. "Secara sederhana, perempuan lebih cepat dalam menemukan sesuatu di rumah, dan laki-laki lebih cepat menemukan rumah itu," lanjutnya.
Hal ini pun dapat saya rasakan sebagai seorang perempuan. Beberapa kali tersesat saat teman mempercayakan Google Maps pada saya. Terlebih lagi saat pergi sendirian, itu sangat menguras otak dan tenaga. Bahkan berkendara menjadi tidak fokus dan muncul rasa takut serta tidak percaya diri.
Tetapi kita tidak perlu khawatir lagi karena hal ini dapat dilatih secara perlahan. Menambah banyak pengalaman dengan sering melintasi rute-rute jalan atau tempat serta melewati jalan pintas dapat membuat lebih ahli dalam bernavigasi.
Kesimpulannya, meskipun mungkin ada mitos yang menyatakan bahwa perempuan sulit membaca Google Maps, penting untuk memahami bahwa kemampuan navigasi tidaklah bergantung pada jenis kelamin. Dengan aksesibilitas teknologi dan pelatihan yang tepat, siapa pun dapat menguasai penggunaan Google Maps dengan lancar dan efektif, membuktikan bahwa kemampuan membaca peta tidak terbatas oleh faktor gender.
Biodata Penulis:
Amellya Kusuma lahir pada tanggal 8 Juni 2005 di Surakarta.