Feminisme dalam industri K-Pop telah menjadi sorotan dan memunculkan diskusi yang kontroversial. Feminisme merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah gerakan kesetaraan gender. Meskipun di satu sisi memberikan ruang untuk menyuarakan hak-hak perempuan hal tersebut juga telah menjadi pusat perdebatan di kalangan penggemar dan masyarakat.
Korea Selatan sendiri masih kental dengan budaya patriarki yang menganggap laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama serta mendominasi berbagai peran dibandingkan perempuan. Patriarki di Korea Selatan mencerminkan warisan budaya yang kuat dan masih terasa dalam berbagai aspek masyarakat. Pandangan terhadap feminisme di Korea Selatan sering kali mencerminkan perpecahan dalam masyarakat. Beberapa orang menyatakan ketidaksetujuan terhadap perubahan oleh gerakan feminis.
Mereka mungkin melihatnya sebagai benturan dengan norma sosial dan moral yang telah lama tertanam dalam budaya Korea Selatan. Mengingat tugas-tugas berat yang ditanggung oleh laki-laki seperti wajib militer. Pandangan ini dapat mencerminkan persepsi bahwa pria telah membawa beban berat dalam melindungi negara dan masyarakat, sehingga memberikan argumen bahwa perempuan seharusnya tidak memperjuangkan hak-hak yang dianggap tidak sebanding.
Dalam dunia K-Pop, feminisme semakin berkembang, beberapa idola ada yang memilih untuk membaca dan meresapi bacaan-bacaan feminisme dan menciptakan perubahan di dalam dan di luar industri K-Pop. Beberapa juga mencoba mengeksplorasi isu-isu kesetaraan gender.
Namun, respons terhadap feminisme dalam K-Pop tidak selalu positif. Beberapa penggemar mungkin merespons dengan negatif dan menganggapnya sebagai hal yang melanggar. Hal ini dapat menciptakan ketegangan antara idola dan sebagian penggemar, serta menimbulkan perdebatan tentang peran feminisme dalam dunia hiburan.
Terdapat beberapa insiden yang mencerminkan terhadap gerakan patriarki yang terus berkembang di Korea Selatan. Misalnya, Huh Yunjin dari Le Sserafim dan Irene dari Red Velvet. Huh Yunjin dari Le Sserafim dan Irene dari Red Velvet menjadi pusat perhatian hanya karena membaca buku-buku yang mengangkat isu-isu tabu seputar feminisme.
Huh Yunjin baru-baru ini menjadi sorotan karena membaca buku berjudul “Breast and Eggs” karya Mieko Kawakami. Buku tersebut berpusat pada tiga tokoh wanita yang mengangkat hal-hal tabu seperti keputusan wanita terhadap rahimnya, keinginan untuk operasi plastik karena merasa tubuhnya jelek setelah melahirkan anak pertamanya dan konflik antara ibu dan anak.
Huh Yunjin mendapat kebencian karena secara terbuka membagikan informasi tentang buku tersebut yang menyinggung isu-isu sensitif tersebut kepada publik. Mereka menyoroti Yunjin karena membicarakan isu-isu pribadi yang dianggap oleh beberapa orang sebagai hal yang seharusnya tidak diungkapkan secara terbuka.
Di forum lain yaitu Theqoo, respon dari Knetz berbeda. Banyak Knetz yang membela Yunjin, beberapa komentar Knetz seperti:
“Senang sekali melihat seseorang membaca banyak buku. Lebih keren lagi mereka membuat catatan sambil membaca.”
“Yunjin sangat keren. Begitu pintar”
“Wah, bahkan untuk rata-rata orang berusia 20-an pun, jarang sekali yang membaca buku setingkat itu, dan saat ini semakin jarang karena orang lebih menyukai bacaan yang mudah dan sentimental. Ini sangat mengesankan.”
Ketidaksetujuan dan pembelaan terhadap Yunjin menunjukkan perbedaan pandangan di antara komunitas online Korea Selatan. Perbedaan opini di kalangan pengguna internet Korea Selatan mencerminkan pemahaman dan pandangan yang berbeda melalui isu-isu kontroversial yang muncul dalam ruang publik.
Irene dari Red Velvet sebelumnya juga terlibat dalam kontroversi ketika dia berbagi pengalamannya membaca buku “Kim Ji Young, Born 1982” karya Cho Nam Joo. Buku ini menggambarkan penderitaan tokoh utama, Ji-Yeong, yang mengalami depresi setelah melahirkan dan merawat anak, mencerminkan peran perempuan dalam budaya patriarki yang masih kental di Korea Selatan.
Namun, reaksi penggemar ini tidak seluruhnya positif. Sejumlah penggemar merespons dengan komentar negatif, menganggap bahwa Irene adalah feminis dan menciptakan kontroversi yang tidak diinginkan. Tidak hanya menerima komentar negatif bahkan penggemar membakar dan memotong foto Irene. Beberapa juga mendukung dan langsung memberikan pembelaan kepada Irene. Mereka mengatakan bahwa Irene memang tidak sepantasnya mempunyai penggemar pria seperti mereka.
Kontroversi ini menunjukkan bahwa gerakan patriarki di Korea Selatan masih menjadi tantangan, bahkan di industri hiburan yang cenderung modern. Isu-isu yang berkaitan dengan keputusan wanita terhadap tubuhnya dan norma-norma sosial terkait peran gender masih menjadi titik sensitif. Meskipun kemajuan dalam beberapa aspek kehidupan, perjuangan melawan norma patriarki masih terus berlanjut di berbagai lapisan masyarakat.
Dalam industri K-Pop perbedaan pandangan terhadap feminisme dapat menciptakan perubahan nilai budaya dimasyarakat. Meskipun ada kritik dari sebagian Knetz dan dukungan yang menunjukkan adanya perubahan dalam persepsi terhadap isu-isu feminisme.
Hal ini mencerminkan perubahan budaya di Korea Selatan, di mana feminisme menjadi bagian penting dari perbincangan publik. Pemahaman terhadap isu-isu ini menciptakan lingkungan di mana idola K-Pop dapat menjadi subjek kontroversi, memperlihatkan pergeseran nilai dan norma dalam masyarakat. Ketidaksetujuan dan protes terhadap perempuan yang membuka wawasan terhadap isu-isu gender menciptakan ruang untuk perubahan sosial yang masih diperlukan di Korea Selatan.
Biodata Penulis:
Farelysa Zulfa Fadhila lahir pada tanggal 7 Februari 2005 di Grobogan.