Di Toilet Istana
bahkan kertas tisu
harga sebulan susu anakku.
pukul empat sepuluh sore
dendang lagu membentak tembok tua
lampu kristal menggerutu,
siapa mengoyak wibawa sunyi?
"oo ... tuan rumah tengah bernyanyi ..."
wastafel ketus membeku
sabun cair celoteh tak tentu
dan peturasan menggerojok air
dengan wangi mantan pacarku
di dinding, cermin besar tertawa,
"berapa sudah orang besar
mematut plastik wajahnya
mengemas iblis ambisinya
di bening jidatku, tanpa tersipu"
aku tersenyum,
meraba air hangat
merasa lembutnya mimpi istriku
dan membasahi rambut
"laiknya menteri akan diganti,"
hahaha ... keramik impor terpingkal
cermin terbahak tawa
aku menyerapah sumpah
tapi senandung itu,
desibelnya menggetarkan
perempuan di kanvas sujoyono
dan kuda raden saleh memekik
menerobos lubang air
tempat ludah menyesali kedatanganku
aku meremas handuk hangat
seperti memeras rezeki keluarga
aku pamit pada air seniku
karena acara segera selesai
lagu mencari koda yang tak usai
toilet itu tersenyum
parfumnya menyengat, membuat
foto di dompetku cemburu
aku juga tertawa
tak mengira, 20 menit
aku berteater dengan toilet istana
panggung paling merangsang
sebab hati dan kepalanya terang
empat tigapuluh sore
kubelakangi pintu panggung itu
yang menutup tanpa debam
yang tersinggung tanpa dendam
cuma suara lagu terus mendengung
terpenjara dalam panggung
memantul antara cermin dan
peturasan, memberi hiburan
bagi orang besar, mana saja
yang segera masuk becermin
dan tak menyesali
kotorannya pergi
Sumber: Manusia Istana (2015)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Toilet Istana" karya Radhar Panca Dahana adalah sebuah karya yang mengeksplorasi konsep kebesaran dan ironi dalam konteks toilet, sebuah tempat yang biasanya dianggap sebagai tempat yang sederhana dan tersembunyi. Dalam puisi ini, penyair menggunakan bahasa yang kaya dan gambaran yang kuat untuk menyampaikan pesan-pesan yang dalam.
Ironi dalam Keagungan: Penyair menghadirkan sebuah ironi dengan menempatkan adegan ini di dalam toilet istana, tempat yang seharusnya mewah dan berkelas. Namun, dalam suasana tersebut, penyair menemukan keadaan yang jauh dari kemewahan. Hal ini menggambarkan kontras antara citra kebesaran dan realitas yang sebenarnya.
Kritik Sosial Tersembunyi: Melalui gambaran toilet istana yang terkesan kumuh dan tidak sesuai dengan citra yang diharapkan, penyair secara halus menyelipkan kritik sosial terhadap ketidaksempurnaan dan kedangkalan dunia elit atau yang berkuasa. Ini mungkin mencerminkan ketidakadilan sosial atau ketidakseimbangan kekuasaan dalam masyarakat.
Permainan Bahasa dan Gambaran Visual: Radhar menggunakan bahasa yang kaya dan gambaran visual yang kuat untuk mengekspresikan pengalaman di dalam toilet istana. Penggunaan kata-kata seperti "lampu kristal menggerutu" dan "sabun cair celoteh tak tentu" menciptakan suasana yang hidup dan memberikan dimensi yang lebih dalam pada puisi.
Perenungan pada Kehidupan: Meskipun suasana di dalam toilet istana terkesan kacau, penyair menemukan momen introspeksi dan refleksi tentang kehidupan. Ada kesadaran tentang sifat sementara dan ironi dalam kehidupan, yang tercermin melalui permainan kata-kata dan situasi yang dihadapi.
Penggunaan Metafora: Penyair menggunakan metafora untuk menyampaikan pesan-pesan yang lebih dalam. Misalnya, handuk hangat yang diremas seperti memeras rezeki keluarga merupakan gambaran tentang perjuangan hidup dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga.
Puisi "Di Toilet Istana" karya Radhar Panca Dahana adalah sebuah karya yang menggambarkan ironi dan kontras antara citra kebesaran dan realitas yang tersembunyi di dalam toilet istana. Dengan penggunaan bahasa yang kaya dan gambaran yang kuat, penyair menyampaikan kritik sosial yang halus, perenungan tentang kehidupan, dan pengalaman introspeksi dalam suasana yang tidak lazim. Ini adalah sebuah pengingat bahwa kebenaran dan keindahan seringkali dapat ditemukan di tempat-tempat yang paling tidak terduga.
Karya: Radhar Panca Dahana
Biodata Radhar Panca Dahana:
- Radhar Panca Dahana lahir pada tanggal 26 Maret 1965 di Jakarta.
- Radhar Panca Dahana meninggal dunia pada tanggal 22 April 2021 di Jakarta.
- Selain puisi, Radhar Panca Dahana juga menulis esai, cerpen, novelet, dan naskah drama.