Kesehatan pada manusia menjadi suatu permasalahan yang tidak pernah ada habisnya. Mulai dari kesehatan fisik maupun pada kesehatan rohani, seperti kesehatan mental. Kini kesehatan mental pada mahasiswa merupakan isu yang semakin menjadi perhatian pada beberapa tahun terakhir. Pada berbagai situs media sosial banyak menyampaikan beberapa istilah pada kesehatan mental yaitu anxiety atau depresi serta beberapa istilah lainnya.
Mahasiswa sering sekali mendapatkan tekanan yang tinggi baik dari tuntutan akademik, lingkungan sosial, dan perubahan hidup yang terbesar. Hal tersebut dapat menjadi dampak negatif terhadap kesehatan mental mahasiswa.
Tak jarang, banyak sekali yang hanya bermodalkan self diagnose dengan membaca artikel-artikel pada situs internet, padahal mereka tidak cukup memiliki pemahaman mengenai apa itu kesehatan mental, hal tersebut dapat berbahaya apabila dilihat dari banyaknya yang melakukan self diagnose dibandingkan dengan memeriksanya secara langsung oleh seseorang yang profesional.
Selain itu, masih banyak orang yang menganggap bahwa gangguan kesehatan mental hanya sekedar perasaan cemas yang berlebihan dan perubahan mood pada diri seseorang, hal ini disebabkan minimnya pemahaman yang dimiliki seseorang terhadap kesehatan mental. Namun, menurut Kemkes, gangguan mental (mental illnes) juga meliputi pada kondisi kesehatan yang dapat mempengaruhi pemikiran, perasaan, perilaku, suasana hati, atau kombinasi di antaranya. Kondisi tersebut dapat terjadi sesekali atau berlangsung cukup lama. Gangguan ini bisa ringan hingga parah, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kemampuan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk kesulitan dalam bersosialisasi.
Gangguan mental ini juga dapat muncul ketika seseorang memiliki pengalaman yang tidak menyenangkan, menakutkan, serta trauma di masa lampau.
Gejala pada mental illness seperti sering merasa sedih, kehilangan kemampuan berkonsentrasi, ketakutan dan kekhawatiran yang berlebihan, perubahan mood yang drastis, paranoid atau halusinasi, hingga yang paling membahayakan, berpikir untuk mengakhiri hidup.
Sebesar 6,2% remaja di antara usia 15 dan 24 tahun mengalami depresi. Individu yang mengalami depresi berat berisiko mengalami gangguan diri yang berbahaya, termasuk bunuh diri. Kecemasan dan depresi menyumbang 80–90% kasus bunuh diri.
Jumlah kasus bunuh diri di Indonesia saat ini mencapai 10.000, atau setara dengan satu kasus bunuh diri per jam. Menurut ahli sosiologi, 4,2% siswa Indonesia pernah berpikir untuk bunuh diri. Sementara itu, 6,9% dari mereka yang berniat untuk melakukan percobaan bunuh diri, dan 3% pernah melakukannya.
Gejala depresi, seperti stres dan kecemasan, dapat menyebabkan penurunan aktivitas dan kualitas fisik. Pengelolaan stres dapat dilakukan oleh setiap orang dengan cara yang berbeda. Seseorang mungkin mengelola stres dengan berpartisipasi dalam kegiatan yang mereka sukai, seperti hobi, liburan, mendekatkan diri dengan keagamaan mereka, atau berbagi cerita dengan orang yang mereka percaya, yang bertujuan untuk mengurangi beban.
Salah satu langkah yang tepat untuk diambil adalah mengunjungi dokter. Seseorang yang memiliki kesehatan jiwa yang terganggu dan memiliki keberanian untuk memberi tahu orang lain tentang kondisinya. Ini terlepas dari kemungkinan bahwa orang-orang di sekitarnya menentang mereka. Pada era digital yang semakin maju, seperti saat ini, banyak platform yang menawarkan layanan konsultasi online dengan biaya.
Pemahaman masyarakat Indonesia tentang kesehatan mental masih rendah. Hal ini telah dibuktikan dengan peningkatan jumlah pasung terhadap pengidap gangguan jiwa sebesar 14% di antara mereka yang masih hidup dan 31,5% di antara mereka yang dipasung dalam tiga bulan terakhir.
Selain itu, hanya 9% dari orang-orang di Indonesia yang pernah mengalami gangguan kesehatan jiwa dapat ditangani, dan 91% dari orang-orang tersebut tidak tertangani dengan baik.
Tidak tertangani dengan baik dapat menjadi tanda bahwa tidak ada fasilitas kesehatan mental atau pemahaman tentang kesehatan metal. Penderita gangguan mental atau jiwa sering dipandang negatif oleh orang-orang di lingkungan mereka, seperti mencela mereka, menganggap mereka sebagai aib, atau menganggap mereka gila.
Selain itu, masyarakat kurang memahami tanda-tanda gangguan mental seperti depresi, yang merupakan gangguan mental yang paling umum. Hal tersebut menyebabkan penderita terganggu dan cenderung tidak terbuka akan pengobatan serta merasa tertekan dengan padangan atau stigma masyarakat.
Hendaknya masyarakat lebih peka dan peduli akan gangguan kesehatan mental pada sekitarnya. Masyarakat dapat menjadi pendengar yang baik bagi orang yang sedang mengalami depresi maupun stres dan tidak memojokkan penderita, hal ini sebagai upaya meringankan beban mental penderita.
Biodata Penulis:
Juliana Wahyu N lahir pada tanggal 3 Juli 2004 di Grobogan. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.