Maraknya Bunuh Diri Karena Masalah Kesehatan Mental atau Tren Semata?

Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh media sosial menambah kompleksitas. Internet sebagai media pemberitaan kasus bunuh diri bagaikan pedang ...

Di Indonesia, kabar bunuh diri tak henti-hentinya mewarnai media sosial hingga penghujung tahun 2023. Fenomena hilangnya nyawa ini tidak dapat direduksi hanya sebagai sebuah tren. Kita harus mengakui bahwa penyebab utama bunuh diri tidak terlepas dari kesehatan mental sebagai akibat dari berbagai faktor yang amatlah kompleks dan tidak dapat dipahami sepenuhnya.

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena ini mengalami peningkatan yang tidak wajar. Tak hanya memandang angka peningkatan kasus, tetapi terdapat dua belas kasus bunuh diri dilakukan oleh anak pada tahun ini berdasarkan data Kemenkes. Masih belum mengejutkan? Satu dari dua belas kasus tersebut dilakukan usai bocah asal Pekalongan dilarang bermain HP oleh orang tuanya. Dari mana bocah yang duduk di bangku sekolah dasar tersebut mendapatkan ide semacam itu?

Lebih dari Tren, Tapi…

Tidak dapat disangkal bahwa pengaruh media sosial menambah kompleksitas isu ini. Internet sebagai media pemberitaan kasus bunuh diri bagaikan pedang bermata dua, menurunkan risiko bunuh diri atau justru meningkatkan potensi bunuh diri tiruan.

Dengan pendekatan yang tepat, pemberitaan bunuh diri dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat, menjadi upaya pencegahan, dan mendukung individu yang memerlukan bantuan. Sayangnya, pemberitaan bunuh diri di Indonesia masih dalam taraf menggetirkan. Pers masih berfokus pada menjabarkan identitas, motif, metode, hingga kronologi bunuh diri, bahkan memaparkan asumsi tertentu terkait bunuh diri yang merupakan hasil dari wawancara dengan orang-orang sekitar korban.

Pemberitaan tak luput dari dramatisasi yang dikemas secara emosional. Padahal, pemberitaan semacam ini dapat membahayakan kesehatan jiwa pembacanya, menggangu privasi pihak-pihak yang bersangkutan, memperparah trauma, rasa takut, dan malu yang dirasakan oleh keluarga korban.

Maraknya Bunuh Diri Karena Masalah Kesehatan Mental
sumber gambar: Unsplash @evablue

Di sisi lain, respons warganet tak kalah mirisnya. Banyak pihak tak bertanggung jawab yang menggunakan akun pribadi untuk menyiarkan ulang berita ini dengan memberikan opini yang sensasional untuk mendapatkan kepopuleran semata. Di kolom komentar, kita pasti pernah menemukan komentar yang mengglamorisasi tindakan bunuh diri. Komentar-komentar yang terlalu memvalidasi perasaan korban justru dapat mendorong individu lain untuk melakukan tindakan serupa.

Mungkin, jika keberadaan dan perasaan mereka tidak divalidasi selama hidup, mereka akan mendapatkan hal tersebut setelah kematian. Pihak-pihak yang memiliki kondisi serupa dengan korban bunuh diri pun dapat menjadikan motif bunuh diri orang lain sebagai pembenaran atas tindakan bunuh diri yang ingin mereka lakukan. Lagi-lagi hal ini akan memicu terciptanya bunuh diri lain.

Ini Masalah Bersama Menuju Indonesia Emas 2045

Bunuh diri mengalami tren peningkatan pada kalangan anak muda, terutama mahasiswa. Kehilangan anak muda dapat berarti bahwa kehilangan bonus demografi Indonesia Emas 2045 karena menurunnya penduduk usia produktif pada masa itu. Padahal, penduduk usia produktif inilah yang akan menerima estafet perjuangan menuju 100 tahun kemerdekaan Indonesia.

Potensi sumber daya manusia unggul untuk mendukung perkembangan dan kemajuan Indonesia akan tergerus akibat permasalahan ini. Maka dari itu, pencegahan kasus bunuh diri yang melibatkan upaya bersama dari berbagai sektor sangatlah penting untuk dilakukan.

Mulai dari Kita, Selamatkan Indonesia 

Sederhana saja, kita sebagai individu yang kerap mengarungi dunia maya memiliki peran krusial dalam aksi pencegahan bunuh diri.

Pertama, pemberitaan bunuh diri tidak sepatutnya kita sebarluaskan kepada siapapun. Fenomena bunuh diri adalah hal yang tidak terduga, bahkan sosok yang terlihat biasa saja, atau bahkan ceria dapat melakukan tindakan ini. Oleh sebab itu, kita sebaiknya tidak menyebarkan hal yang dapat memicu tindakan serupa.

Jika kita dalam keadaan yang menuntut untuk membagikan pemberitaan bunuh diri, kita harus memberikan trigger warning. Kita harus ingat bahwa tidak semua orang memiliki mental yang cukup untuk menangani informasi semacam ini.

Ketika kita menemukan pemberitaan bunuh diri di media sosial yang tidak tepat (mengandung konten sensitif yang memuat foto, suara, video dari lokasi kejadian dan identitas pribadi korban serta memuat motif korban serta ditulis secara sensasional dengan berfokus pada asumsi dan praduga berlebihan), kita dapat menggunakan fitur report pada aplikasi agar berita tersebut dapat diturunkan sehingga tidak menjangkau pihak lain.

Kita harus menghindari memberikan komentar negatif seperti hujatan dan makian. Tanggapan-tanggapan negatif semacam ini adalah hal yang tidak manusiawi terhadap korban bunuh diri dan orang-orang terdekat korban, bahkan dapat menambah stigma negatif yang sesungguhnya sudah tertanam di benak masyarakat Indonesia. Ini tidak akan memberikan solusi atas maraknya bunuh diri, justru menimbulkan keengganan bagi pihak terdampak untuk meminta bantuan dari pihak luar.

Stigma negatif juga dapat mempersulit proses pendataan karena keluarga korban yang menolak untuk melaporkan kasus bunuh diri, padahal data semacam ini sangatlah penting sebagai bahan pertimbangan untuk kebijakan selanjutnya. Pada akhirnya, tanggapan yang mengkriminalisasi tindak bunuh diri hanya akan menghambat pencegahan kasus ini.

Bukan berarti memberikan validasi dan pembenaran berlebihan atas tindakan ini adalah hal yang tepat. Perasaan yang dialami korban semasa hidupnya hingga memilih bunuh diri memang tidak dapat disepelekan, tapi bunuh diri tidak akan pernah menjadi hal yang benar.

Kita cukup memberikan tanggapan untuk orang-orang di luar sana bahwa selalu ada harapan dan dukungan. Berikanlah informasi yang tepat seputar bunuh diri dan cara-cara untuk menangani pikiran bunuh diri.

Yang terakhir, kita harus memiliki self-awareness terhadap diri kita sendiri. Terpapar informasi secara terus-menerus melalui internet adalah hal yang melelahkan. Jangan ragu untuk mencari bantuan ketika muncul pikiran-pikiran negatif yang mengarah pada bunuh diri.

Dengan demikian, sikap kita dalam menggunakan media sosial dapat memberikan kontribusi yang baik dalam perkembangan fenomena ini.

Arina Azka

Biodata Penulis:

Arina Azka lahir pada tanggal 7 Desember 2005. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.