Dari Isolasi menuju Depresi: Bagaimana Pandemi Menimbulkan Krisis Kesehatan Mental

Belajar mengenai kesehatan mental itu penting agar kita lebih bisa peduli dengan diri sendiri. Kita harus menjauhi hal-hal yang bisa membuat ....

Dua tahun lalu dunia telah dilanda sebuah wabah penyakit yang bahkan sampai merenggut banyak nyawa karena sebuah virus. Penyakit itu dinamakan covid-19. Dalam pandangan World Health Organization (WHO) (2023), Covid-19 merupakan suatu gangguan pernapasan yang diakibatkan oleh coronavirus SARS-CoV-2.

Pada tahun 2019 covid-19 muncul di Wuhan, China, namun semakin lama semakin mengglobal dan menjadi wabah. Dampak dari covid-19 sangat signifikan, menyebabkan banyak orang sakit, kematian, perubahan sosial, dan gangguan ekonomi.

Akibat penurunan aktivitas ekonomi, maka banyak karyawan yang di- PHK. Dewi Rani Cahyani (2020) menyatakan bahwa jumlah orang yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat dari virus corona atau Covid-19 telah mencapai 3,05 juta kasus (per 2 Juni 2020).

Pemutusan kerja yang tiba-tiba ini menjadi tekanan tersendiri, apalagi dengan keadaan pandemi yang membuat mantan karyawan tersebut makin sulit mencari pekerjaan pengganti. Mendekam dalam rumah, isolasi tanpa melakukan aktivitas yang berarti seperti biasanya.

Para pelajar pun terkena imbasnya, terbatas dalam sekolah, guru yang kesulitan mengajar, dan masih banyak masalah-masalah lain. Masalah-masalah ini menjadi tekanan tersendiri dan mempengaruhi kesehatan mental masyarakat.

Tidak disangka sangka, libur yang awalnya hanya 2 minggu ternyata terus memanjang hingga membuat sebagian orang merasa bosan tidak dapat pergi ke mana-mana. Kebosanan-kebosanan itu terus menumpuk sampai menyebabkan depresi pada sebagian orang.

Bagaimana Pandemi Menimbulkan Krisis Kesehatan Mental

Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak lepas dari berinteraksi dengan sesama manusia saat itu hanya bisa berinteraksi dan bertemu melalui layar gadget saja.

Anak-anak merasa terkekang karena peraturan-peraturan yang dibuat oleh orang tuanya. Para orang tua menganggap dengan banyaknya peraturan dapat membuat anak lebih baik, namun kenyataannya mereka tidak dapat mengekspresikan diri mereka secara bebas sehingga membuat anak stres atau depresi.

Depresi juga disebabkan karena terlalu lama menghabiskan waktu untuk media sosial, terutama di kalangan anak muda.

Febriansyah (2019) mengungkapkan bahwa menggunakan media sosial secara berlebihan, seperti Snapchatting atau Instagraming dapat menyebabkan depresi. Mereka terlalu membandingkan diri sendiri dengan orang yang mereka lihat di media sosial.

Menurut Administrator (2018), tekanan muncul pada remaja ketika standar-standar yang tercipta dari media sosial menuntut mereka untuk menampilkan diri sesuai dengan apa yang mereka lihat di platform tersebut.

Hal ini dapat menyebabkan kehilangan kepercayaan diri jika mereka tidak dapat memenuhi standar tersebut. Menganggap bahwa semua orang selalu bersenang-senang sedangkan dirinya selalu mendapat masalah. Padahal, kenyataannya semua orang pasti memiliki masalah, namun orang hanya mengunggah kebahagiaan yang mereka dapat saja. Mereka juga insecure dengan fisik yang mereka miliki karena dirasa kurang menarik untuk orang lain.

Hingga kini, banyak generasi muda yang masih menghadapi masalah depresi, bahkan setelah pandemi. Swastika Tiara Pertiwi et. al (2021) mengungkapkan bahwa sebanyak 32,15% remaja mengalami depresi dan 34,7% remaja mengalami tingkat stres selama pandemi Covid-19.

Prevalensi kondisi psikologis negatif seperti depresi, kecemasan, dan stres lebih banyak dialami oleh perempuan daripada laki-laki. Sampai-sampai ada anak yang terlalu mencari tahu tentang gangguan kesehatan mental, akhirnya banyak dari mereka yang mendiagnosis diri mereka sendiri bahwa mereka terkena gangguan kesehatan mental.

Siti Sadida (2021) menyatakan bahwa sebanyak 66.7% dari seratus remaja Generasi Z merasa terpengaruh oleh masalah kesehatan mental setelah mendapat informasi dari media sosial dan internet.

Ini sangat berbahaya, karena dapat mendoktrin pikiran anak sehingga anak akan merasa mentalnya terganggu dan melakukan apa yang menjadi ciri-ciri dari gangguan yang ia percayai agar meyakinkan orang lain bahwa dia benar-benar sedang sakit mental.

Berkiblat ilmu psikologi, fenomena ini disebut dengan Self Fullfilling Prophecy. Akibatnya banyak anak-anak yang terkena gangguan kesehatan mental bukan karena penyebab yang jelas tapi hanya karena merasa tertinggal tren atau FOMO (Fear of Missing Out).

Solusi yang dapat dilakukan untuk menghilangkan depresi di antaranya yaitu: Kita perlu lebih memilah konten yang kita lihat dan informasi yang kita terima. Jangan sampai semua yang kita lihat di sosial media kita tampung. Kita juga jangan sampai membandingkan diri sendiri dengan orang lain, karena pada dasarnya setiap orang memiliki keunggulan dan kelemahan yang berbeda. Jangan terlalu berfokus pada kekuranganmu, teruslah fokus pada apa yang kamu sukai dan kembangkan.

Orang tua seharusnya lebih mengerti tentang keinginan dan kelebihan anak. Mereka perlu membuka komunikasi dengan anak-anak mereka, mendengarkan apa yang mereka sukai dan tidak sukai, serta memberikan dukungan dan pengertian terhadap minat dan bakat anak.

Orang tua juga perlu memberikan ruang bagi anak untuk berekspresi dan mengajak anak untuk berbicara secara terbuka tentang apa yang mereka rasakan dan inginkan.

Kemudian sebagai anak-anak juga seharusnya dapat mengajak orang tua untuk saling berkomunikasi. Mereka perlu berani menyampaikan apa yang mereka sukai dan tidak sukai kepada orang tua, serta memberikan penjelasan mengenai minat dan bakat yang mereka miliki.

Anak juga perlu membuka diri untuk mendengarkan saran dan masukan dari orang tua, serta berusaha untuk memahami sudut pandang orang tua dalam mendukung dan membimbing mereka. Dengan demikian, komunikasi yang terbuka dan saling pemahaman antara orang tua dan anak dapat berkembang dengan baik.

Belajar mengenai kesehatan mental itu penting agar kita lebih bisa peduli dengan diri sendiri. Kita harus menjauhi hal-hal yang bisa membuat mental kita terganggu bukannya malah self diagnose dan akhirnya terpengaruh. Perlu diingat gangguan kesehatan mental adalah sebuah penyakit bukanlah sebuah tren.

Biodata Penulis:

Ardho Masiech Firdaus saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

© Sepenuhnya. All rights reserved.