Menginjak usia enam belas tahun adalah masa-masa labil yang penuh ambisi. Waktu itu, membuat aku harus bisa menjadi seperti Maudy Ayunda yang bisa mengenyam pendidikan di kampus terkenal dunia atau seperti teman kecilku yang bisa masuk SMA favorit. Sedangkan aku? Diterima di pilihan kedua.
Hal ini berlanjut saat hiruk-pikuk dalam memasuki dunia perkuliahan. Beberapa kali sempat ditolak perguruan tinggi negeri, lalu temanku itu, lagi dan lagi mendapat beasiswa untuk ke perguruan tinggi.
Iri? Tentu saja, tapi mau bagaimana lagi. Takdir manusia berbeda-beda. Perasaan iri ini hanya membuatku berhenti pada mimpi yang masih tinggi. Bak tertimpa bintang jatuh, malam itu tanpa sengaja aku mendengarkan kajian mengenai filosofi Stoikisme.
Satu hal yang membuatku terpana adalah para pemikir-pemikir hebat seperi Marcus Aurelius, Seneca, Epictetus atau bahkan pencetusnya seorang filsuf hebat pengikut setia Parmenides, siapa lagi kalau bukan Zeno mengenai perjalan dalam mencapai kebahagiaan dan kebajikan dalam hidup.
Mau bagaimanapun, tidak sehat jika rasa iri ini mengendalikan hidup. Apalagi mengganggu ketenteraman mental dan emosi. Oleh karena itu, penting adanya untuk belajar mengatasi rasa iri dengan memahami diri sendiri, dan mencari keseimbangan antara memanfaatkan emosi sebagai motivasi positif. Dan tidak membiarkan emosi menghambat kebahagiaan yang akan kita capai dalam hidup.
Filosofi ini tentang bagaimana mengubah cara pandang mengenai hal yang sudah kumiliki tapi terus merasa kurang. Tidak ada kata syukur. Hanya akan bahagia jika mendapatkan apa yang diinginkan.
Secara garis besar, Stoikisme mengajarkan kepadaku bahwa tidak semua hal yang ada di dunia ini bisa kita kendalikan. Dulu hingga sekarang, aku yang masih ber-title remaja labil ini tentu tak mudah menerima keadaan sekitar. Selalu kurang dan tidak tahu kapan akan merasa cukup. Saat temanku seperti ini, aku juga harus seperti itu.
Ditodong harapan oleh orang-orang sekitar membuat mental yang masih simpang siur ini semakin sulit untuk bisa menerima semua keadaan dengan lapang dada. Apalagi mereka, teman-temanku sudah punya banyak hal yang bisa dibanggakan.
Namun, sedikit demi sedikit, Stoikisme mengubah diriku untuk menerima hal-hal yang seharusnya terjadi. Mulai dari mengenali diri sendiri dan mengerti bahwa standar kecukupan setiap manusia itu berbeda. Toh, faktor penunjang dalam hidup setiap orang itu beda-beda, kan? Pun hasil yang didapat tentu akan berbeda pula.
Karena pada hakikatnya, dalam menghadapi cobaan hidup, Stoic memiliki hati yang tangguh dan tetap menyikapinya dalam koridor kebaikan. Kita bisa mengontrol faktor internal yang ada dalam diri kita sesuai pola, alam semesta memiliki pola termasuk manusia. Jika ingin kaya maka bekerjalah, jika ingin pintar maka belajarlah. Inginlah hal-hal yang seharusnya terjadi.
Aku teringat jelas setelah ditolak perguruan tinggi impian dan terus belajar hingga lolos seleksi, meski bukan pilihan pertama untuk kesekian kali. Stoikisme kembali mengajarkan untuk bisa kembali menerima. Dan apa yang orang lain katakan? "Kok nggak ikut temenmu di sana?" "Kok nggak ke sini aja?" dan pertanyaan khas ibu-ibu lainnya.
Pada akhirnya, orang lain tidak benar-benar 'memiliki' kita. Tiap-tiap manusia itu mempunyai otonomi dan kebebasan untuk memilih dan mengontrol hidup sendiri. Hal itu dapat kita wujudkan dengan memahami dan mengakui bahwa kita adalah manusia yang unik dengan nilai, tujuan, dan keinginan kita sendiri. Dan memiliki hak untuk membuat keputusan sendiri.
Dalam mencapai tujuan, kita tak selalu harus sepenuhnya terpengaruh oleh orang lain. Meskipun orang-orang di sekitar kita dapat mempengaruhi atau mendukung perjalanan hidup kita, pada akhirnya, kehidupan kita adalah tanggung jawab pribadi kita.
Marcus Aurelius dalam salah satu bukunya yang berjudul "Meditasions", mengatakan, "You have power over your mind – not outside events. Realize this, and you will find strength."
Dapat kita lihat bahwa Marcus menekankan pada kontrol diri, refleksi diri, dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan sebagai kunci untuk mengatasi rasa iri. Ia juga mendorong untuk memahami bahwa kebahagiaan sejati berasal dari dalam diri kita sendiri, bukan dari keadaan atau pencapaian orang lain.
Penerapan prinsip-prinsip Stoikisme dalam kehidupan sehari-hari dapat membantu kita menjadi manusia yang lebih bijaksana, kuat, dan berdaya tahan di tengah-tengah kompleksitas dunia modern. Ditambah dengan konsistensi, kesabaran, dan latihan terus-menerus akan membantu kita mengatasi tantangan dan menjalani hidup dengan bahagia.
Ada banyak hal penting yang sudah berlalu di hidup kita. Ada kalanya hidup manis, ada kalanya pahit, semua tergantung bagaimana kita memikirkannya.
Mengatasi rasa iri adalah jalan untuk kebebasan emosional dan kebahagiaan sejati. Rasa iri tidak akan membawa kita ke arah yang lebih baik, maka pusatkanlah energi pada peningkatan diri sendiri. Mengubah rasa iri menjadi inspirasi untuk tumbuh dan berkembang adalah salah satu kunci untuk mencapai potensi terbaik kita, ingat karena kita masih punya mimpi-mimpi yang juga tinggi.
Penulis: Lailatul Mufidah