Ada yang baru nih dari Songmont! Tas Elegan dengan Kualitas Terbaik

Terkuaknya Militerisme dalam Antologi Penembak Misterius Karya Seno Gumira Adjidarma

Mengapa pemerintah kerap kali mengubah fakta sejarah yang seharusnya disampaikan secara jujur dan terbuka kepada bangsanya sendiri? Pada ...

Sebagai salah satu bagian dari masyarakat Indonesia sudah sewajarnya bagi kita untuk memiliki rasa penasaran yang tinggi akan sejarah dan isu yang pernah dialami oleh bangsanya sendiri, bukan? Apalagi saya termasuk ke dalam generasi milenial yang hanya tahu asal-usul bangsa dari buku pelajaran SMP dan SMA saja. Itu pun tidak secara detail. Bahkan terkadang apa yang disampaikan oleh para guru di SMP dan SMA tidak sesuai dengan sejarah yang sebenarnya (tidak sesuai fakta).

Mengapa pemerintah kerap kali mengubah fakta sejarah yang seharusnya disampaikan secara jujur dan terbuka kepada bangsanya sendiri? Pada hakikatnya, kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki hak untuk tahu, bukan? Dengan mengetahui sejarah, kita dapat belajar dari pengalaman bangsa-bangsa terdahulu agar tidak terjerumus pada kesalahan yang serupa.

Salah satu contoh kebenaran yang pernah dibungkam oleh pemerintah adalah sejarah "Penembak(an) misterius" (petrus) yang berlangsung pada awal tahun 1983 hingga awal 1985.

Penembak Misterius
Foto: palembang.tribunnews.com

Dalam antologi Penembak Misterius (terkhusus pada triloginya yang terdiri dari “Keroncong Pembunuhan”, “Bunyi Hujan di Atas Genting”, dan “Grhhh!”), Seno Gumira Ajidarma berhasil menguak beberapa isu kelam yang pernah terjadi pada masa Orde Baru yang sempat dibungkam oleh pemerintah untuk berbagai kepentingannya.

Peristiwa kelam itu dimulai ketika meningkatnya angka kriminalitas akibat penurunan taraf ekonomi yang tajam. Kriminalitas yang terjadi pada masa itu sangatlah berdampak kepada masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan.

Berbagai kejahatan mulai terlihat dan meresahkan masyarakat. Oleh karena itulah eksistensi petrus pada masa tersebut sangat disambut baik oleh masyarakat.

Memang, masyarakat telah merasakan dampak positif dari adanya petrus sebab mereka berhasil menurunkan angka kejahatan dan lingkungan masyarakat juga mulai terasa aman kembali. Ungkapan tersebut sejalan dengan kutipan berikut.

"Sawitri merasa tetangga-tetangganya sudah terbiasa dengan mayat-mayat bertato itu. Malahan ia merasa tetangga-tetangganya itu bergembira setiap kali hujan reda dan mayat itu disemprot cahaya lampu merkuri yang kekuning-kuningan. Dari dalam rumahnya yang terletak di sudut gang itu Sawitri mendengar apa saja yang mereka percakapkan. Mereka berteriak-teriak sambal mengerumuni mayat yang tergeletak itu meskipun kadang-kadang hujan belum benar-benar selesai dan anak-anak berteriak hore-hore." (Ajidarma, 2007:19)

Akan tetapi, saya melihat Seno memiliki perspektif lain terhadap eksistensi petrus yang selalu dikagumi oleh masyarakat. Seno ingin menyampaikan bahwa penggunaan kekerasan dan keterlibatan militer dalam memberantas kejahatan itu bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan karena hal tersebut telah menentang asas-asas hukum.

Selain itu, dalam kacamata berbagai negara di luar Indonesia pun beranggapan bahwa kedatangan petrus merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang sangat brutal dan transparan.

Pada dasarnya, penumpasan kejahatan yang dilakukan oleh militer itu tidak memandang bulu. Dalam artian, mereka yang memiliki ciri-ciri seperti memiliki tato, berbadan besar, memiliki bekas luka dan lain sebagainya secara otomatis telah menjadi sasaran empuk bagi para militer.

Padahal belum tentu orang yang memiliki tato itu merupakan pelaku kejahatan atau bisa saja kebanyakan dari mereka telah bertobat. Tak hanya itu, kasus pembantaian para penjahat, orang yang disangka penjahat, bahkan para bekas penjahat ini juga telah mengakibatkan lingkaran kekerasan, seperti kekacauan dan keributan yang luar biasa terhadap masyarakat.

Hal tersebut berhasil direpresentasikan oleh cerpen “Grhhh!”. Di antaranya berikut ini:

"Ibu kota seperti terlanda perang. Reruntuhan puing merata di mana-mana. Inilah akibat rudal yang diobral. Namun zombie terus bermunculan. Ulat-ulat merayap seperti wabah. Ulat ber-kruget-kruget di atas meja, kursi, jendela, WC, kamar mandi, kantong baju, sepatu, piring, gelas, dan botol-botol. Orang-orang sibuk menjentikkan ulat-ulat yang merayap dibajunya, rambutnya, lubang hidungnya, maupun yang bergantungan di kacamatanya." (Ajidarma, 2007:33)

Sebenarnya, sistem penumpasan petrus telah mendapat banyak sekali kecaman dari berbagai pihak, mulai dari praktisi hukum, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya komisi III, komisi yang berurusan dengan masalah hukum, bahkan ada pula kecaman yang berasal dari luar negeri (protes keras dari Pemerintah Amerika Serikat, Jerman Barat, Belanda, Kanada, Inggris, Vatikan, Australia, dll) dan lain sebagainya.

Menurut saya, melawan kejahatan menggunakan tindak kekerasan itu tidak akan menghasilkan output yang baik karena tindakan yang gunakan untuk memberantas kejahatannya pun bukanlah suatu tindakan yang mulia. Apalagi tindakan tersebut sangat bertentangan dengan asas-asas hukum. Menghilangkan nyawa seseorang itu bukan tugas kita dan sebagai sesama manusia kita tidak memiliki hak untuk melakukan hal tersebut.

Awalnya, masyarakat mungkin merasa senang dan aman ketika kejahatan diberantas dengan begitu singkat dan cepat. Namun sayang, masyarakat tidak melihat dampak jangka panjangnya terhadap lingkungan. Semakin banyak mayat yang tergeletak, semakin terlihat pula tindakan kekerasan yang sudah melawati batas-batas kewajaran.

Saya yakin, sebagian masyarakat pun ada yang menyadari akan hal itu sehingga dukungan yang diberikan oleh masyarakat berubah menjadi kecaman.

Memang benar, isu militerisme ini bagai pisau bermata dua yang tidak hanya menciptakan keamanan dalam sekejap tapi juga menimbulkan kekacauan dan ketidaknyamanan (aksi dan reaksi). Seno Gumira Ajidarma yang melihat kekacauan tersebut tidak hanya berdiam diri dan menonton saja, tetapi beliau juga bertekad untuk mengkritisi isu petrus yang terjadi pada masa Orde Baru. Terlebih selain menjadi seorang sastrawan, beliau juga merupakan seorang jurnalis yang kritis dan handal. Oleh sebab itu melalui kumpulan cerpennya, beliau berupaya untuk mengungkap kebenaran isu petrus yang pernah terjadi pada masyarakat Indonesia.

Mengingat pada Agustus 1983 pemerintah melarang pers untuk memperbincangkan isu tersebut, pelarangan ini ditujukkan agar isu petrus terhapus dalam perbincangan publik. Namun dalam dokumen pada antologi Penembak Misterius dijelaskan pula bahwa pelarangan tersebut tidak berjalan lancar.

Isu petrus tidak terhapus dan tetap menjadi perbincangan publik. Akan tetapi, tidak dalam bentuk laporan jurnalistik, wawancara, esai, surat pembaca, ataupun tajuk, melainkan dalam karya sastra, yakni cerita pendek (cerpen).

Dunia sastra merupakan alternatif bagi Seno untuk menguak dan merekam jejak kasus yang pernah hadir di Indonesia, tepatnya pada masa Orde Baru. Kekerasan demi kekerasan, kejahatan demi kejahatan, semua kekacauan tertuang dalam cerpen yang ditulis oleh seorang jurnalis apik, yakni Seno Gumira Ajidarma.

Melalui imajinasinya, kita bisa mengetahui apa saja peristiwa yang telah ditutup-tutupi oleh pemerintah. Melalui tulisannya juga, Seno Gumira Ajidarma menyampaikan betapa pentingnya bagi kita untuk bisa berlaku adil dan sentiasa dapat memperlakukan manusia selayaknya manusia biasa bukan sebagai penjahat ataupun yang lainnya.

Penembak Misterius
Buku Penembak Misterius karya Seno Gumira Adjidarma bisa dipesan di Gramedia, sedang diskon 10%: Rp 79.000 Rp 71.100.

Setelah membaca berbagai karya sastra serius, salah satunya antologi Penembak Misterius ini, saya menjadi paham bahwa sastra telah menjadi salah satu aspek penting bagi masyarakat Indonesia.

Selain dapat menuangkan gagasan atau ide, dengan karya sastra pula kita dapat menyampaikan segala keresahan akibat isu-isu permasalahan yang terjadi pada diri kita. Dengan kata lain, sastra juga dapat menjadi alat untuk mengungkap kebenaran saat jurnalisme dibungkam.

Daftar Pustaka:

  • Ajidarma, S. G. (2007). Penembak Misterius. Yogyakarta: Penerbit Galangpress.
  • Putra, E. (2012). Kekerasan Negara dalam Kumpulan Cerpen Penembak Misterius Karya Seno Gumira Ajidarma. Students e-journals, 1(1).

Biodata Singkat:

Tsanaa Mahara Haq lahir di Kab. Sukabumi, 25 Oktober 2004. Mahasiswa aktif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran.

© Sepenuhnya. All rights reserved.