Akhir tahun 2023 menuju awal tahun 2024 adalah tahun politik. Negara akan menggelar perhelatan besar, yaitu pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di kursi dewan perwakilan tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, tingkat pusat, dan perwakilan daerah.
Demikian juga memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, dilanjutkan dengan pemilihan kepala daerah secara serentak. Masing-masing partai politik mempersiapkan kader terbaiknya untuk bertarung di dalam kontestasi lima tahunan tersebut.
Isu yang sering muncul dan menjadi pembahasan antara yang setuju dan tidak setuju adalah perempuan menjadi pemimpin atau menduduki jabatan publik. Terdapat banyak perdebatan antara beberapa kelompok terkait boleh tidaknya seorang perempuan untuk menjadi pemimpin.
Kelompok yang setuju memandang boleh seorang perempuan menduduki jabatan publik dengan berbagai argumen yang mendasarinya. Begitu juga kelompok yang tidak setuju memandang bahwa perempuan dilarang menduduki jabatan publik dengan banyak argumen yang menjadi dasar pijaknya.
Kita telah mengetahui beberapa negara dipimpin oleh seorang perempuan. Misalnya, Presiden Kelima Republik Indonesia, Ibu Megawati Sukarnoputri, Benashir Bhuto pernah menjabat Perdana Menteri Pakistan, Begum Khalida Zia pernah menjabat Perdana Menteri Bangladesh.
Begitu juga pimpinan daerah provinsi ataupun kabupaten kota ada yang dijabat oleh perempuan. Begitu juga banyak jabatan publik lainnya, perempuan diberi amanah untuk menjadi pimpinannya dikarenakan kemampuan yang dimilikinya.
Pendapat Mengenai Boleh Tidaknya Seorang Perempuan Menjadi Pemimpin
Sudah sering kita ketahui menjelang pesta demokrasi lima tahunan adanya perdebatan boleh tidaknya seorang perempuan menjadi seorang pemimpin. Menurut saya sendiri, perempuan boleh menjadi pemimpin dengan beberapa alasan.
Yaitu, ketika seorang perempuan memiliki kualifikasi lebih baik dari seorang laki-laki. Bisa jadi ada perempuan yang lebih baik dari kaum laki-laki dan masyarakat mengenalnya sebagai sosok yang bisa kerja, sederhana, bertanggungjawab, dan juga baik perilakunya dibanding calon lain yang laki-laki.
Banyak sekali pendapat yang menentang kebolehan perempuan untuk menjadi pemimpin dikarenakan beberapa alasan. Alasan yang digunakan orang-orang yang menolak para perempuan untuk menjadi pemimpin, karena perempuan harus menghadapi kendala-kendala kodrati.
Misalnya, seperti datang bulan, hamil dengan kesulitannya, melahirkan dengan rasa sakitnya, menyusui dengan kesulitannya, dan keibuan dengan bebannya. Semua ini membuat fisik, psikis, dan pikirannya tidak mampu mengemban tugasnya sebagai seorang pemimpin.
Dapat kami katakan, ini semua benar dan memang tidak setiap perempuan layak mengemban tugas sebagai seorang pemimpin. Perempuan yang sibuk sebagai ibu dan segala tuntutannya tidak mungkin menerjunkan diri ke kancah politik, karena anaknya lebih layak untuk mendapatkan perhatiannya.
Seorang perempuan identik dengan sosok yang baperan, lemah, emosional, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki digambarkan sebagai sosok yang gagah, pemberani, bertanggungjawab, rasional, dan masih banyak kelebihan lain yang selaras dengan sosok pemimpin.
Penggambaran seperti inilah yang membuat makhluk tuhan yang disebut perempuan sebagai sosok yang seolah-olah harus dilindungi dan senantiasa bergantung pada laki-laki. Akibatnya, jarang sekali perempuan itu bisa tampil sebagai seorang pemimpin, karena mereka tersingkirkan oleh laki-laki.
Di masa sekarang, jumlah perempuan lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Oleh karena itu, banyak perempuan yang memiliki peran sebagai seorang pemimpin. Perempuan memiliki sifat suka musyawarah, partisipasi, dan mengungkapkan perasaan. Sifat itulah yang membuat perempuan memiliki nilai tambah untuk menjadi seorang pemimpin.
Kembali kepada pribadi masing-masing, tentu saja akan ada orang yang menerima dan menolak pendapat ini. Jika masih ada laki-laki yang layak, cakap, amanah, berilmu, bertanggungjawab, dan punya kapasitas, tentu itu yang lebih utama untuk dipilih dan diangkat menjadi pemimpin untuk menghindari perselisihan pendapat. Tapi, jika tidak ada, yang ada hanyalah perempuan yang lebih mampu, berani, bertanggungjawab, punya integritas, maka boleh-boleh saja perempuan sebagai seorang pemimpin.
Biodata Penulis:
Nashrulloh Fathi Fuadi saat ini aktif sebagai mahasiswa, program studi Pendidikan Matematika, di Universitas Sebelas Maret, Surakarta.