Jika berbicara mengenai karya Ayu Utami kita pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah feminisme, patriarki dan kebebasan. Seperti dalam novelnya yang saya analisis kali ini, yaitu Si Parasit Lajang. Dalam sekali membaca saja, sudah diketahui bahwa novel ini menceritakan mengenai kehidupannya sendiri dan dijadikan sebuah cerita yang disebut sebagai karya autobiografi (Subitmele: 2023).
Ayu Utami menuangkan pemikirannya sebagai seorang perempuan muda urban dan melihat masalah dengan sangat kritis di setiap keadaan di dalam novel ini.
Sebetulnya, isu yang dibahas di dalam novel ini sangat kompleks dan banyak, seperti bagaimana pendapat Ayu Utami tentang perkawinan, peran ganda wanita, kodrat, seks, budaya patriarki, feminisme, hingga moral dan juga agama.
Hal yang paling menonjol dalam novel ini yaitu mengenai citra perempuan yang digambarkan tokoh 'saya' oleh Ayu Utami, yaitu tentang dirinya sendiri.
Citra perempuan dalam novel ini digambarkan dengan bebas, tidak terikat aturan, tetapi cerdik dan juga kritis dalam berbagai situasi yang dihadapinya. Seperti pada halaman awal buku ini yang membahas tentang glorifikasi perkawinan, pemikiran Ayu Utami terkait perkawinan yang menurutnya hanyalah jebakan untuk perempuan ke dalam ketergantungan laki-laki. Lagi-lagi, Ayu Utami menyinggung terkait patriarki. Ia berpendapat bahwa, pada umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. (Utami, 2013: xiv)
Dalam dominasi pria atas wanita tersebut, hal yang paling membuat jengkel dalam pandangan Ayu Utami adalah poligami. Saya sependapat pada poin ketika Ayu Utami tidak setuju atas poligami.
Memang benar, bahwasanya poligami terjadi karena beberapa sebab. Seperti contohnya ketika perempuan tidak bisa mengandung, namun pihak keluarga ingin mempunyai keturunan, maka dilakukanlah poligami. Tetapi pada poin ini, saya sama tidak setujunya dengan Ayu Utami ketika poligami dijadikan alasan masyarakat patriarkal bahwa laki-laki merupakan superior sehingga perempuan dianggap tidak bisa apa-apa dan selalu bergantung pada seorang laki-laki. Pandangan tersebut dapat dibuktikan pada kutipan berikut.
"Saya anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di balik kawin-ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seorang perempuan tak memiliki pelindung. (Yang kerap terjadi: masyarakat patriarkal membikin agar perempuan terus-menerus bergantung pada lelaki.)" (Utami, 2013: xv)
Selain pada kebebasannya untuk memilih tidak terlalu mementingkan pernikahan, tokoh 'saya' juga menyatakan pendapatnya terkait peran ganda wanita. Ia memandang bahwa wanita bak dewi yang bertangan banyak sehingga dapat memegang kendali atas urusan rumah dan karirnya.
Menurutnya, hal tersebut terlalu menuntut perempuan untuk melakukan segala hal yang mereka bisa sedangkan laki-laki tidak demikian. Pandangannya ia tuliskan pada kutipan berikut.
"Belakangan, para feminis menyerang pengagungan superwoman ini karena menjebak wanita dalam idealisasi yang tak mungkin terpenuhi. Padahal, menjadi superman bagi kaum pria amat mudah: tinggal pakai celana dalam merah di luar. Dan inilah problem wanita karir: tuntutan berperan ganda." (Utami, 2013: 26)
Penjelasan mengenai peran ganda ini menyangkut pada pendapat sebelumnya terkait perkawinan. Di dalam perkawinan, perempuan selalu harus memilih apa yang harus diprioritaskan antara menjadi ibu rumah tangga atau memilih menjadi wanita karir yang mandiri.
Belum lagi ketika perempuan dituding tidak bisa melakukan apapun tanpa laki-laki. Padahal dari peran ganda itu saja peran perempuan dianggap serba bisa.
Keresahan-keresahan itulah yang membuat Ayu Utami sebagai seorang perempuan berusaha untuk mengangkat kesetaraan gender yang selama ini dianggap tabu bagi masyarakat.
Sebagai seorang feminis, ia menjelaskan bahwa perempuan bebas untuk berekspresi dan bebas untuk memilih pilihan hidupnya seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki. Ia ingin mematahkan stereotip bahwa laki-laki merupakan superior sedangkan perempuan harus selalu berlindung di balik punggung laki-laki karena dianggap lemah dan tidak bisa apa-apa.
Novel Si Parasit Lajang ini merupakan buah pemikiran Ayu Utami sebagai perempuan modern yang kritis dalam menghadapi masalah sosial, dalam hal ini feminisme dan patriarki di lingkungan sekitarnya. Ia ingin mengangkat citra perempuan yang dalam masyarakat patriarkal selalu diberi tuntutan yang tidak bebas.
Ayu Utami ingin masyarakat, khususnya perempuan memiliki pemikiran yang bebas dan tidak terkungkung oleh patriarki yang mengikat haknya.
Seperti menurut Ali dalam jurnalnya yang berjudul "Citra Wanita dalam Novel Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami" tahun 2020 wanita yang bebas berekspresi dan melakukan apa yang dilakukan oleh lelaki, namun sering berbenturan dengan kebudayaan patriarki yang terlalu menyanjung kesuperheroan seorang lelaki. Tokoh 'saya' dalam novel ini membuat saya belajar bahwa untuk menjadi perempuan yang memiliki kebebasan memilih kita harus berani, kritis, dan cerdik dalam bersikap. Seperti pesan dalam buku ini yaitu:
"Di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan." (Utami, 2013: xii)
Daftar Pustaka:
- Utami, Ayu. (2013). Si Parasit Lajang. Jakarta: PT Gramedia.
- Ali, A. H. (2020). Citra Wanita dalam Novel Si Parasit Lajang Karya Ayu Utami. Jambura Journal of Linguistics and Literature, 1(1), 14-22.
- Subitmele, S. E. (2023). Autobiografi Adalah Karya Sastra, Ketahui Ciri-Ciri, Tujuan dan Contohnya. Diakses pada tanggal 6 Juni 2023, pada https://www.liputan6.com/hot/read/5237778/autobiografi-adalah-karya-sastra-ketahui-ciri-ciri-tujuan-dan-contohnya.
Biodata Penulis:
Diah Dwi Ayu Ni'matulmaula lahir di Majalengka pada 27 Desember 2003. Saat ini menjadi mahasiswa aktif di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran. Ia senang menulis dan membaca tulisan.