Andai aja ada cara yang mudah untuk menyapa walau nggak ada topik apa-apa ya? Kenapa orang lain bisa semudah itu ngobrol sama dia? Bagaimana cara mendapatkan keuntungan itu, aku cuma mau bilang "hai", mau basa-basi, aku mau lihat kamu lagi lihat aku, mau dengar ocehanmu yang nggak banyak itu, mau dengar cerita hari kamu yang itu-itu saja, mau ditanya lagi ada film bagus apa? Aku mau kamu sekali lagi.
Tentang manusia hebat yang aku temui pada tahun 2020. Aku berkenalan dengannya lewat media sosial, saat itu kami saling mention-mention di Twitter. Ia berasal dari Surabaya, pertama kali aku lihat dia waktu itu karena ada meet besar di Yogyakarta. Kepribadian dia yang sangat positif vibes membuat semua orang yang ada di sekitarnya merasa aman. Dan dari situ aku berkenalan langsung sama dia, aku suka dia yang selalu ceria, ada aja hal-hal random yang diceritakan pada saat itu. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa penasaranku terhadapnya.
Di tengah acara dia mengajakku bicara, bicara tentang hal-hal yang belum pernah aku dapatkan sebelumnya. Waktu itu aku SMA dan dia sudah berkuliah, dia membuka obrolan tentang bagaimana mengatur peluang untuk masuk ke PTN hingga ke hal-hal yang sebelumnya memang nggak terlalu penting untuk dibahas.
Hari itu berlalu dengan cepat, aku juga belum mengucapkan selamat tinggal kepadanya sebelum ia kembali ke Surabaya. Aku juga belum mengucapkan terimakasih kepadanya bahwa aku senang bertemu dengannya, aku suka mengobrol dengannya, aku suka cara dia saat menjelaskan tentang hal-hal yang dia ketahui.
Pada akhirnya kenangan pada waktu itu yang cuma sebentar, tetapi sekarang masih terekam dengan jelas di ingatanku. Entah aku yang terlalu senang karena semesta telah mengizinkan aku bertemu dengannya yang mungkin saja berbeda dengan orang yang aku temui selama ini. Semesta bisa semenarik itu, ya? Kali ini aku berterimakasih kepada semesta karena telah mengirim manusia hebat seperti dirinya pada waktu itu.
2024, dan pada saat ini pun aku masih mengkhayal kalau kami akan bertemu lagi nanti. Mungkin iya, entah itu kapan tapi aku selalu menyakinkan pada diriku sendiri kalau kami akan bertemu nanti; apakah di tempat yang sama? Bulan yang sama? Entahlah aku juga bingung mengapa aku bisa seyakin itu.
Sering kali muncul pertanyaan di dalam benak: apakah kita benar-benar memiliki kesempatan untuk mencapai itu semua? Aku memilih cerita ini karena aku cukup sering jadi orang yang memulai duluan. Pasti kedengarannya seperti ke-pede-an banget, kamu nggak takut dia ilfeel apa? Justru karena aku takut dia ilfeel. Jadi, menurut aku setiap orang itu punya titik insecure masing-masing buat dekat sama orang, aku juga nggak selalu dapat jawaban "iya", aku sering juga ditolak, tapi nggak tahu kenapa aku lebih memilih kemungkinan ditolak daripada aku cuma menjawab rasa penasaranku dengan ketidakmungkinan, walaupun dia nggak suka sama aku, tapi aku cuma mau dia tahu kalau aku suka sama dia. Perasaanku berhak dianggap ada.
Tentang kebetulan yang akan menjebakku untuk kembali kepadanya. Dia adalah dia dan itu selalu jadi alasan untuk semua perasaanku terhadapnya. Sekarang dia apa kabar, ya? Sekarang dia cerita ke siapa ya? Sekarang dia kasih kabar ke siapa ya? Sekarang dia masih suka main game sampai larut malam nggak, ya? Kalau saja dulu aku lebih mau bersabar lebih lama pasti kami masih di sini, tapi nggak apa, karena dia, aku lebih ambisius untuk mengubah tiap bagian buruk yang ada di diriku. Berterimakasih untuk bahagia yang pernah kita rasakan bareng-bareng. Rasa ini masih aku simpan walau kamu bukan lagi milikku, tapi memori itu selamanya akan tetap jadi milikku.
Bahkan sampai sekarang aku tahu aku akan selalu menunggunya lagi dan lagi. Memang nggak segampang itu. Sejauh apapun kita menyangkal dalam pikiran kita, kisah itu ternyata kekal.
Biodata Penulis:
Shifa Najwa Apriliana lahir pada tanggal 27 April 2023 di Sukoharjo. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, program studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.