"Mulutmu adalah harimaumu. Oleh karena itu, hendaklah siapa pun menjaga lisannya agar mulutnya tak membunuh dirinya sendiri."
Pernyataan semacam ini sering sekali mondar-mandir dalam keseharian. Kalimat tersebut bermakna setiap ucapan yang kita ucapkan akan memiliki pengaruh terhadap diri kita sendiri.
Ibaratnya, apa yang ditanam, itulah yang dituai. Jika seseorang berbicara sesuatu yang buruk, buruklah dampaknya terhadap dirinya sendiri. Sebaliknya, segala perkataan yang baik juga akan memiliki dampak yang baik baginya.
Contoh konkret dari hal ini adalah seorang selebritas yang membicarakan hal yang menyinggung mantan istrinya sehingga ia dikecam banyak pihak dan dilaporkan oleh mantan istrinya atas pencemaran nama baik.
Contoh lainnya, seorang warga yang mengatakan ia akan membunuh presiden sehingga dirinya harus berurusan dengan polisi atas tindakannya tersebut.
Kasus tersebut menunjukan bahwa peribahasa "mulutmu adalah harimaumu" benar adanya. Namun, masih relevankah peribahasa tersebut pada zaman sekarang yang telah dirasuki media sosial secara masif?
Setiap perubahan dapat melahirkan perubahan yang lain. Kehadiran media sosial mengubah peribahasa "mulutmu adalah harimaumu" menjadi "jarimu adalah harimaumu".
Peneliti dan dosen Sastra Indonesia dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, Dr. Sailal Arimi, mengatakan bahwa peribahasa bersifat dinamis. Ia akan mengalami pergeseran atau penyesuaian sesuai peristiwa sosial berdasarkan waktu dan tempatnya. Perubahan peribahasa "mulutmu harimaumu" menjadi "jarimu harimaumu" merupakan bukti dari hal tersebut.
Abdul Muid Badrun dalam artikelnya yang berjudul "Jarimu, Harimaumu" mengungkapkan seiring dengan kemajuan teknologi, bentuk komunikasinya tidak lagi menggunakan mulut, tetapi jari-jemari. Mulut kita mungkin diam, tetapi jari-jari kita berkelana menulis status dan berkomentar pada media sosial.
Kemajuan teknologi khususnya media sosial bagaikan pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini memberikan manfaat yang sangat positif. Namun, di samping itu, medsos juga memiliki nilai yang negatif. Sisi negatif inilah yang memiliki kaitan erat dengan peribahasa "jarimu harimaumu".
Kita sering sekali tidak memiliki kontrol yang baik saat mengekspresikan sebuah gagasan. Hal ini dapat memicu hal-hal yang merugikan diri kita sendiri.
Sebagai contoh, ada seseorang yang mengkritik orang tua yang membekalkan anaknya makanan bergizi rendah dengan nada memaki dan kasar. Akibatnya, ia diserang oleh pengguna medsos lainnya dan justru ia balik dikritik oleh mereka.
Contoh lainnya, pada tahun 2019, muncul unggahan yang dibuat oleh seorang pengusaha yang memposting gambar mumi yang mirip dengan Presiden Joko Widodo dan mengunggah kata-kata yang menghina presiden. Akibatnya, ia harus berurusan dengan pihak berwajib akibat tindakannya tersebut.
Ada beberapa hal yang memengaruhi bagaimana sebuah ujaran negatif dalam medsos dapat mendatangkan petaka bagi pengunggahnya.
Pertama, mudahnya akses internet menyebabkan perkembangan interaksi masyarakat dunia mengarah kepada meningkatnya interaksi dunia maya pada masyarakat luas, lintas batas, lintas komunitas, dan lintas usia. Kemudahan akses ini mengakibatkan jumlah pengguna medsos sangat banyak.
Berdasarkan data, jumlah pengguna internet di Indonesia telah meningkat menjadi 196,7 juta jiwa hingga kuartal II 2020.
Kedua, medsos dapat menyebarkan suatu informasi secara cepat. Segala kejadian dapat dengan mudah diambil dan direkam lalu disebarkan. Oleh karena itu arus informasi menjadi berkali lipat lebih cepat tersebar dibanding era sebelumnya.
Media sosial yang pada awalnya berfungsi sebagai media komunikasi dan hiburan, seiring waktu beralih fungsi menjadi media informasi. Kombinasi kedua hal ini mengakibatkan suatu ujaran negatif dalam medsos mudah diketahui oleh banyak orang dan mengundang respon dari berbagai pihak.
Sudah menjadi hal umum bahwa banyak individu yang memberikan hujatan dengan kedok mengkritik. Seseorang berdalih menyampaikan suatu pesan untuk memperbaiki sesuatu yang dianggap salah dari individu yang dikritik.
Sayangnya, hal yang disebut kritik tersebut bahkan sudah tidak dapat dianggap membangun dan cenderung mengarah terhadap penghinaan. Hal ini tentunya memiliki berbagai konsekuensi bagi pengguna medsos tersebut.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, dalam tingkat yang rendah, seseorang tersebut akan mendapat serangan balik berupa kritik dari orang lain. Dalam tingkat yang lebih tinggi, seseorang tersebut bisa saja dibawa ke ranah hukum dan harus berurusan dengan pihak berwajib.
Tak seorang pun ingin dirinya harus menerima kerugian akibat perbuatannya sendiri. Oleh karena itu, penting bagi siapa pun untuk mengetahui etika dalam menggunakan media sosial.
Etika bermedsos yang perlu kita ketahui adalah memastikan konten yang akan diunggah tidak menyinggung orang lain dan jika benar-benar ingin mengkritik, kritiklah dengan sopan. Kedua, pahami konten yang akan diunggah agar tidak menyinggung orang lain atau hal-hal yang berkaitan dengan ras, agama, dan suku. Dengan demikian, jika hal-hal tersebut dilakukan, resiko dari terbunuhnya kita oleh jari kita sendiri dapat dihindari.
Sebuah perubahan tak dapat dimungkiri akan memengaruhi hal lainnya, termasuk kehadiran media sosial yang mengubah peribahasa "mulutmu harimaumu" menjadi "jarimu harimaumu". Kini, akibat dari media sosial berikut aspek-aspeknya yang menduduki zaman, mulut seseorang tidak lagi hal yang dapat merugikan dirinya sendiri, tetapi jari yang melakukannya. Dengan kata lain, kini mulut sudah terbunuh oleh sebuah jari.
Biodata Penulis:
Syahfina Nurul Zahrani lahir pada tanggal 27 Maret 2003. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa, S1 Sastra Indonesia, di Universitas Padjadjaran.